Delicate, Delightful, Delicious
~A Blog

Sunday, June 04, 2006

私のしょうらいの考え

ラドン.デリカ、2006年三月十一日

どもの、しょらいのことをすと、すぐ「パイロットになる」っていつもそういました。まあ、じつははそんなことをったえはありませんが、そのことはからきました。やっぱり、3、4どもにしょらいになりたいってくと、多分えらずに「いしゃになりたい」や「やきゅうチームにりたい」のえしかからないといます。

そして、きくなった、パイロットになるえもとつぜんからなくなりました。あの中学生は、たちとって、めずらしく教師になりたかったです。あのめて数学先生がある問題説明しているえました。もし、その先生説明のおかげで、クラスじゅがある問題のことをかって、それがみんなのしょらいのためにつとすると、先生はそのどんなにうれしいとうのかなってはそうえました。

で、その教師になりたい気持ちはもまだわりません。いつかはぜったいにだれかをっているかをえたいとそういます。もし、そのいがかなえない場合、せめて、自分どもたちのいい教師になってもそれでじゅうぶんです。

でも、はやっぱりしょらいりっぱな大人にだけはぜったいになりたいといます。「りっぱ」って言葉によって意味いますが、えには、どもたちにとっていいおさんで、つまにとっていい主人で、社会人間になって、そんな人間立派大人ばれる資格があるといます。

Labels:

Kaleidoskop

Hari ini Sabtu, 14 Mei 2005. Rasanya baru sebulan yang lalu tahun baru 2005, sekarang sudah hampir pertengahan tahun. Rasanya baru setahun yang lalu Jerman dikandaskan Brazil di final Piala Dunia 2002, sekarang sudah setahun menjelang Piala Dunia 2006.

Mengingat masa lalu itu menyenangkan lo. Kadang bikin senyum-senyum sendiri, kadang memberi energi. Tepat setahun yang lalu, tepat di tanggal segini, kita lagi ngapain ya? Ada yang inget? Kalau kita buka-buka lagi memori kita, sebenarnya persis 365 hari yang lalu adalah hari terakhir UN. Di hari itu juga Indonesia kalah sama Denmark di Thomas Cup 2-3. Cina yang menang di final. Entah setelah itu sampai sekarang 14 Mei 2005, waktu berjalan—mungkin lebih cocok disebut berlari—tanpa kita benar-benar sadari.

31 Mei 2004; Pengumuman UM-UGM, ada lebih dari 30 anak Smansa yang keterima. 12 Juni 2004; Portugal sebagai tuan rumah dipermak 2-1 di pertandingan pembukaan EURO sama Yunani. 15 Juni 2004; Perpisahan angkatan 2004 di sekolah. Penampilan Sos 1, penampilan kuartet Hadian-Satrio-Gunjay-Wahyu, penampilan band-band, Persix, salaman perpisahan sama guru-guru, pengalungan tanda lulus. 5 Juli 2004; Pemilu Presiden putaran 1. Wiranto, Mega, Amin, SBY, Hamzah. Dan 14-15 Juli 2004; SPMB ! Wah, itu semua udah hampir setahun yang lalu ya?

Cepet kan? Bener-bener rasanya baru sebentar, tapi masa setahun yang lalu sudah hampir lewat. Apalagi kalo dibandingin dengan waktu-waktu yang lebih lama lagi. Maka yang namanya usia 18, 19 tahun ini kayak nggak ada rasanya apa-apa. Rasanya baru kapan dengan sekeping 100-an bisa dapet 4 permen Sugus, sekarang bahkan ada yang 1 permen Rp 200,00. Sugus pun mulai hilang dari peredaran (ada yang pernah lihat lagi?). Rasanya baru kapan masuk SMP 3 dengan bangga, sekarang udah hampir 19 tahun. Rasanya baru kapan Joshua nyanyi “diobok-obok airnya diobok-obok ...”, sekarang udah nggak lucu lagi. Rasanya baru kapan nyanyi “met siang meneer mevrouw yang cakep-cakep, kenalin dulu aye anak baru ...”, sekarang udah lupa sama sekali. Rasanya baru kapan Beckham masih 25 tahun, sekarang anaknya udah 3 dan udah hampir waktunya buat pensiun.

Hh, ternyata kita udah tua ya? Ya, jadi tua itu pasti, tapi menjadi dewasa itu pilihan; sering kita mendengar kata bijak seperti itu.

19 tahun hidup di dunia ini, sudah 18 kali Ramadhan, sudah 5 kali Pemilu di Indonesia (walaupun kita nyoblosnya baru sekali), Amerika sudah 4 kali ganti presiden, Yugoslavia sudah nggak ada lagi di peta dunia, tragedi 11 September, Amerika menginvasi Afganistan, Irak, tsunami di Aceh, Ketua OSIS Smansa udah ganti 18 kali (yang ini nggak penting), ... hmm apalagi ya. Tapi, bukankah itu semua sudah cukup bagi kita untuk bisa cerita nanti ke anak cucu kita—eh bukan, maksudnya udah cukup sebagai bukti bahwa kita udah cukup tua.

Ditambah lagi, berapa orangkah yang sudah mendahului kita selama 19 tahun ini? Pasti ada di antara kita yang kakeknya sudah mendahului, atau neneknya, om, tante, atau bahkan bapak dan atau ibunya. Dan yang jelas Dono, Kasino, Munir, ZA Maulani, Harry Roesli, Ibu Tien, Ahmad Yassin, Paus Paulus II, Yasser Arafat, Mahasiswa Trisakti, Cholil Bisri, Jimmy Carter, Ayrton Senna, Ibu Lailina, Susi, Pak Haeruman Sandy (guru Basa Sunda SMP 3) dan ada jutaan orang lainnya sudah mendahului kita. Di saat yang bersamaan jutaan bayi lahir menggantikan tempat mereka semua. Ya, hidup itu kayak gitu. Nanti kita semua juga akan seperti itu. Hanya saja, nggak ada jaminan kalo yang lebih tua yang akan pergi lebih dulu.

Lagi, menjadi tua itu pasti, tapi menjadi dewasa itu pilihan.

Saya ingat waktu SD dulu pas ngerjain PR PPKn (dulu namanya masih PMP—red), ada pertanyaan yang nggak bisa saya cari jawabannya di buku. “Mengapa kita harus menghormati orang yang lebih dewasa?” What do you think? Hehe, bahkan sekarang juga kalo dipikir-pikir, pertanyaan itu susah untuk dijawab. Nah, waktu itu orang tua saya bilang, “soalnya orang dewasa itu lebih banyak pengalamannya.” Well, dulu akhirnya langsung aja ditulis jawaban itu. Again, what do you think?

Bulan yang lalu saya main ke flat seorang senior yang anaknya udah 3. Di situ aku memperhatikan anaknya—sebut saja Fatah—yang 4 tahun main-main dengan kipas angin listrik. Dia merobek-robek tissue menjadi sobekan kecil-kecil dan memasukkan itu ke kipas angin yang lagi berputar. Jelas, ada tissue yang “terperangkap” di dalam kipas, juga ada yang terbang ke luar. Tissue yang di dalam membuat suara yang cukup mengganggu dan memberi alasan yang cukup bagi bapaknya untuk menghentikan Fatah. Yah, emang agak bahaya kalo dilihat dari kacamata kita. “Kalo tangannya kena kipas gimana?” dan sebagainya.

Apa yang menarik? Entah kenapa, tiba-tiba saja saat itu saya langsung berpikir, “kenapa anak-anak kecil tertarik sama hal-hal kayak begitu ya? Sedangkan orang dewasa nggak?” Yah, barangkali banyak yang akan bilang, “Namanya juga anak-anak” atau jawaban-jawaban lainnya. Tapi teman saya yang kebetulan ada di situ juga bilang begini, “soalnya kita udah tahu hasilnya, makanya males untuk nyoba-nyoba kayak gitu.” Ini sebuah jawaban yang membuat saya berpikir panjang setelahnya. Udah tahu hasilnya? Tapi banyak juga orang-orang yang udah tahu hasilnya buruk tapi masih aja begitu. Hmm, barangkali ini bedanya “dewasa” sama “tua”.

Makanya “menjadi tua itu pasti; menjadi dewasa itu pilihan” mungkin bisa dielaborasikan jadi “menjadi berpengalaman itu pasti; tapi menjadi orang yang bisa belajar dari pengalaman itu pilihan.” Bukankah begitu? Rasanya jelas banget kalo orang nggak belajar, maka kemungkinan dapet nilai bagusnya nggak akan lebih dari orang yang belajarnya lebih. Insya Allah. Semua orang tua (baca: termasuk kita—red) mengerti hal itu dari pengalaman sepanjang hidup. Tapi walau ngerti dengan sepenuh hati tentang hal itu, ada aja yang mengharapkan hasil lebih di ujian tanpa belajar. Rasanya itu bisa disebut belum dewasa.

Seorang bintang yang kaya raya pun suatu saat sinarnya akan meredup dan dilupakan orang, sebuah klub seperti Fiorentina yang dulu disegani bisa degradasi, seorang yang percaya diri pun suatu hari pernah dapet 3.4 di ulangan Fisika, orang yang arogan seperti Presiden US sekarang efeknya pasti dibenci oleh jutaan orang bahkan oleh negara-negara sekutunya, orang yang dikenang seperti Thomas Alfa Edison nggak serta-merta jadi orang, dan orang besar seperti Nabi Muhammad pun besar setelah melewati hal-hal yang berat. Itu common sense. Semua orang tahu. Tapi lagi-lagi, apakah common sense itu mau kita pelajari atau nggak, itu pilihan.

Cukuplah sesekali kita melihat kaleidoskop kehidupan kita untuk meyakinkan diri kita bahwa udah bukan waktunya lagi untuk berpikiran dengan mindset anak-anak seperti yang biasa kita lakukan. Karena kita ini orang dewasa. Jiwa dan semangat harus tetap muda, tapi pikiran harus semakin tua, semakin dewasa. Atau kalo mau lebih dahsyat lagi, ingatlah tentang kematian, tentang orang-orang yang mendahului kita, tentang waktu yang berlalu begitu cepat, juga tentang waktu yang mungkin masih tersisa bagi kita. Soalnya bagi Muslim, cukuplah kematian sebagai pengingat kita—pengingat supaya siap untuk dipanggil sewaktu-waktu.

Singapore,
Sabtu pagi, 14 Mei 2005

Comment: Ini tulisan saya setahun lalu. Bedanya setahun lalu dengan sekarang: kalo sekarang, Piala Dunia tinggal 5 hari lagi!

Rahasia Kebahagiaan: Sebuah Kisah

Diceritakan bahwa dahulu ada seorang pemuda yang ingin sekali mencari tahu rahasia kebahagiaan. Ia bertanya pada pada orang sekelilingnya. Sampai bapaknya menyarankan dia untuk menemui seorang holyman.

Tanpa berpikir panjang, berangkatlah sang pemuda itu. Keinginannya untuk mengetahui rahasia kebahagiaan mengalahkan rintangan-rintangan yang harus dilaluinya sepanjang perjalanan, termasuk jarak jauh selama 40 hari 40 malam yang harus dilauinya untuk bisa tiba di tempat sang holyman itu.

Betapa terkejutnya ia ketika berdiri di muka sebuah istana megah nan luas. Di hadapannya kini terbentang bangunan besar yang begitu mewah dengan halaman luas yang memisahkannya dari pagar depan. Ia hampir tak percaya pada apa yang dilihatnya sampai orang-orang yang ditemuinya meyakinkan bahwa holyman yang dimaksud bapaknya itu memang tinggal di dalam istana itu. Hal ini tentunya nggak lepas dari bayangan yang sudah terlanjur terpatri di kepalanya bahwa seorang holyman itu pasti seorang tua yang jauh dari suasana hingar bingar kemewahan kehidupan, tinggal di gunung, dengan penampilan yang jauh dari kata rapi.

Sang pemuda menghabiskan waktu yang cukup lama untuk mengantri demi bisa bertemu dengan sang holyman. Rupanya begitu banyak orang yang punya urusan dengan holyman itu. Keterkejutan sang pemuda makin bertambah saat ia melangkah masuk ke istana itu dan menemui sang holyman. Ternyata penampilannya jauh dari apa yang ia bayangkan. Holyman di hadapannya ini tampil bak seorang raja. Pakaiannya cerah bersinar, raut wajahnya terang cemerlang, rambutnya rapi tertata. Yang lebih penting, umurnya pun masih muda.

Bertanyalah sang pemuda itu, “wahai holyman, aku datang jauh berjalan 40 hari 40 malam menemuimu karena aku mendengar kabar bahwa engkau mengetahui rahasia kebahagiaan.”

“Apa katamu, anak muda?” sang holyman menimpali, “kebahagiaan ?”

Ia menghela napas. Raut wajahnya menyatakan keengganan. “Ketahuilah, anak muda, waktuku terlalu berharga untuk dipakai menjawab pertanyaan sesederhana itu. Setelah ini aku masih harus menghadiri rapat bisnis dengan kolega. Setelahnya ada undangan makan dengan partner project dari negeri sebelah.”

Sang holyman tampak berpikir. “Baiklah. Sebagai penghargaan atas usahamu yang luar biasa untuk bisa datang ke sini, kuberikan kamu kesempatan.” Sang pemuda tampak sumringah. “Hmm, karena kamu baru datang, mungkin ada baiknya kalo kamu saya kasih kesempatan buat melihat-lihat istanaku dulu. Cobalah nikmati semua yang ada di istanaku. Tapi ada satu syarat: selagi kamu menegelilingi istanaku, kamu harus memegang sendok yang aku tetesi 2 tetes minyak. Tetesan minyak itu nggak boleh jatuh saat nanti kamu kembali.”

“Saya akan kembali 2 jam lagi, “ ujar sang holyman sebelum pergi meninggalkan sang pemuda itu dengan sendok yang ia maksud.

Sang pemuda senang luar biasa. Ia berpikir, jarak dirinya dengan rahasia kebahagiaan yang selama ini dicari-cari hanya tinggal dibatasi tabis tipis. Ia pun berjalan-jalan dik istana itu. Ia datangi perpustakaan yang ada di lantai dasar. Ia datangi pula kebun-kebunnya yang tampak hijau dengan buah-buahan yang ranum. Tak ketinggalan ruang tengah yang megah, koridor-koridor yang tampak tak berujung, beberapa ruangan yang dibiarkan terbuka ia sambangi juga. Tapi ia tetap menjaga tetesan minyak yang ada di sendoknya tidak jatuh sesuai aturan yang diberikan holyman itu tadi.

Dua jam berlalu, dan ia kini menghadap sang holyman kembali. “Apa yang kamu lihat dalam 2 jam ini ?” tanya sang holyman.

“Aku pergi ke perpustakaanmu yang megah demi melihat berbagai koleksi bukumu yang begitu lengkap. Kebunmu yang hijau dan luas pun aku kunjungi, “ ujar sang pemuda.

“Bagaimana menurutmu perpustakaanku ? Apa yang paling kamu suka dari situ? Apakah kamu melihat koleksi-koleksi buku lama milikku ?”

Sang pemuda tersentak. Ia baru tersadar bahwa selama dua jam ini ia hanya berjalan dan menyaksikan isi istana tanpa benar-benar mengamati atau menikmatinya demi menjaga tetesan minyak di tangannya tidak jatuh.

Holyman mengamati pemuda di hadapannya itu. “Baiklah. Aku mengerti. Sekarang aku kasih 2 jam lagi, dan sekarang cobalah nikmati isi istanaku.”

Kali ini sang pemuda benar-benar mencoba menikmati setiap jengkal yang ada di istana itu. Di perpustakaan, ia mencoba membaca buku-buku kuno yang dari dulu ia cari-cari. Bahkan ia pun sampai hapal warna karpet perpustakaan yang lembut. Di kebun, ia mencoba buah-buahan yang memang dihidangkan di situ. Ia duduk di kursi taman sembari menikmati rindangnya pepohonan di kebun.

Dua jam kemudian, ia kembali menghadap sang holyman. Kali ini, pertanyaan sang holyman membuatnya pucat pasi, “di mana sendok dan tetesan minyak itu ?” Ya, gara-gara terlalu konsentrasi untuk menikmati apa yang ada, ia lupa pada syarat awal yang diberikan itu.

* * *

Konon kisah ini diambil dari sebuah novel “The Alchemist” karya Paulo Coelho. Saya nggak tahu persis kebenarannya, karena ketika dicek di Google, versi asli cerita di novel itu jauh lebih panjang dibanding kisah di atas.

Bagaimanapun, kisah tersebut seharusnya cukup menginspirasi. Pelajarannya sederhana. Kita di-encourage untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya, “menjelajahi” dunia dan isinya, mencari pengalaman-pengalaman yang membangun, mengenal banyak orang dan menjalin network—tapi tetap dengan syarat menjaga hal-hal yang menjadi landasan personal value yang kita miliki, 2 tetes minyak itu. Al-Quran dan hadits. Itu intisari kebahagiaan. Ini yang membedakan kita dengan orientalis, kita dengan orang-orang atheis, kita dengan orang-orang agama lain.

Singapore, 14 Mei 2006
Terinspirasi dari kisah yang diangkat oleh Dr. Zulkieflimansyah
Re-narrated by Radon Dhelika

Labels: ,

Gempa di Jogja: Kisah dari Seorang Sahabat

Akhirnya. Tyas Junaidianto, sahabat SMA saya yang sekarang di UGM cerita tentang pengalamannya pas gempa Jogja 27 Mei lalu. Dia nulis cukup panjang di milis angkatan. Saya coba kutip cerita dia di sini, tapi dengan editing di sana-sini, tentunya tanpa mengubah intisari cerita:

Here is the story

Tanggal 26 Mei
TJ (emang begitu dia biasa dipanggil—red) dan teman-teman JMP (Rohisnya fakultas) lagi ngadain dauroh/training. Kita berangkat jam 18.00 dari kampus naik truk, transit dulu di masjid kira-kira jam 20.00. Perjalanan dilanjutkan jam 21.00 on foot ke bukit Mangunan, kira-kira 15 km dari tempat transit. Sampai di atas kira-kira jam 1 pagi.

Tanggal 27 Mei dini hari
Malam yang dingin dan khusyuk dengan alunan tilawah plus qiyamullail. Meski cuma tidur 2-3 jam, kita masih diizinkan-Nya 'curhat'. Khusyuk sekali, seakan besok akan berjalan seperti biasanya.

Tanggal 27 Mei pukul 4-6
Adzan Subuh sudah dikumandangkan. Kita solat berjamaah dalam aula. Sekali lagi, khusyuk sekali pagi itu. Aktivitas dilanjutkan dengan tilawah dan al'ma'tsurat-an. Menjelang fajar terbit, beberapa akhwat udah mulai menggelar alat-alat masak, ikhwan-ikhwannya mencari kayu untuk dibakar. Beberapa panitia ikhwan yang semalam nggak tidur untuk berjaga-jaga, istirahat dalam tenda. Aktivitas kami terus berlangsung. Seorang ikhwan turun ke bawah untuk buang air ke rumah salah seorang warga, seorang lagi turun gunung menjemput pembicara. Saya sendiri sedang berdiskusi dengan teman.

Tiba-tiba bumi bergejolak. Saat itu TJ dan seorang teman diskusi yg sedari tadi bersandar di dinding aula, tiba-tiba terlempar, karena dinding aula benar-benar bergoyang seperti daun-daun ditiup angin. Semua akhwat yang lagi masak di teras spontan teriak-teriak lari dari teras aula.

Selang beberapa detik setelah kami semua lari ke tengah lapangan, semua genteng berjatuhan diikuti plafon dan eternit aula yang juga ikut berjatuhan. Subhanallah... kami masih diberi kesempatan hidup!! Mungkin 3-5 detik saja kami nggak pergi, tentu udah tertimpa.

Suasana tambah kacau saat aula terus berguncang dan tanah di lapangan retak terbelah dua! Sekali lagi, kami masih diberi kesempatan, nggak ada satu pun yang berada tepat di retakan tanah. Selama kurang lebih 1 menit, bumi berguncang. Kami panik. Selang 3 menit kemudian, bumi kembali berguncang. Gempa susulan dengan selang 1-10 menit terus menerus datang bahkan hingga sore hari pukul 17.

Seorang bapak tempat teman buang air tadi mendatangi kami seraya berkata, "kalau saja tadi masnya nggak bangunin kami sekeluarga minta diantar ke kamar kecil, tentunya kami sudah tewas tertimbun rumah kami yang roboh !!"

Tanggal 27 jam 7-11
Kita segera sepakat untuk menghentikan kegiatan. Setelah keadaan mulai tenang, semua makanan yang telah dimasak kami makan, kemudian bersiap turun gunung. Beberapa warga mendatangi kami, mereka bilang kalo rumah-rumah di bawah hancur total.

bersambung....duit habis n dateng panggilan untuk kembali berjuang.... afwan.

Comment:
Subhanallah. Saya makin terkejut saat mencari tahu letak bukit Mangunan yang dia maksud. Menurut google, bukit itu ada di Bantul—yang berarti saat gempa terjadi, teman saya yang satu ini persis ada di episentrum gempa! Terus, dengan mengingat besarnya gempa yang mencapai angka 5.9 skala Richter (ANTARA news), saya jadi bener-bener mengerti dengan perasaan gimana dia ngomong “Subhanallah... kami masih diberi kesempatan hidup!!”

Padahal UGM-nya sendiri agak jauh dari Bantul, dan menurut beberapa berita di detik.com, kerusakannya nggak parah. Paling cuma genteng yang berjatuhan atau bangunan yang retak. Makanya dengan asumsi seperti itu, waktu itu saya berharap semua teman-teman di Jogja baik-baik aja.

Alhamdulillahirabbil ‘alamin. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

4 Juni 2006

Labels: ,

Kisah 2 Orang Jenius


Ini kisah perbandingan 2 orang yang berkontribusi buat manusia. Thomas Edison (1847-1931) dan Nikola Tesla (1856-1943). Keduanya hidup di zaman yang sama.

Tentunya sudah nggak ada yang nggak kenal Edison dengan berbagai macam paten dan ciptaannya, terutama bohlam. Bahkan menurut Wikipedia, dia punya 1093 paten atas namanya.

Sedangkan Tesla juga bukan orang sembarangan. Walaupun lahir 9 tahun lebih muda dibandingkan Edison, pengaruh karena penemuannya luar biasa. Kelahiran Serbia ini bahkan namanya diabadikan jadi satuan untuk medan magnet. Untuk yang mengerti tentang listrik dan teknik elektro, tentunya nggak asing dengan arus bolak-balik (AC). Dia yang pertama kali mengembangkan ide itu. Sedangkan untuk power engineering, kontribusinya ada dalam polyphase transmission system. Kontribusinya bukan cuma di situ. Tapi juga di bidang robotics, nuclear physics, theoretical physics, juga di computer science. Menurut Wikipedia pula, dia dianggap sebagai America’s greatest electrical engineer.

Lalu, siapa yang lebih jenius? Edison atau Tesla?

Mari kita bandingkan sedikit lebih jauh. Edison nggak lulus SD, sedangkan Tesla lulusan pasca sarjana di bidang physics dari University of Prague. Dia juga mendapatkan honorary doctoral degrees dari setidaknya 13 universitas berbeda. Salah satunya Yale University.

Dikisahkan, dalam menemukan komponen yang tepat buat filamen bohlamnya, Edison sampai mencoba 60.000 kali percobaan dengan material-material yang berbeda. Bahkan ada kisah bahwa suatu kali saking stresnya, dia mencoba melinting daun dan ditaburi serbuk grafit yang bersifat konduktor. Apa yang terjadi? Yang terjadi malah ledakan yang menghancurkan labnya. Jadi, bisa dikatakan kalau sebenarnya Edison menggunakan brute force dalam percobaannya. Kalau saja dia dulu mengerti tentang ilmu material, mungkin jumlah percobaan gagalnya bisa dikurangi sampai ratusan kali lebih sedikit. Sedangkan Tesla dikisahkan hanya butuh sekali percobaan sampai dia bisa mendapatkan temuannya berupa arus bolak-balik (AC).

Lalu, di discovery channel juga pernah diceritakan tentang kejeniusan Tesla. Dia rupanya dulu pernah menemukan sebuah cara untuk mentransmisikan listrik tanpa kabel. Tapi dia khawatir bahwa temuannya itu bisa disalahgunakan untuk kepentingan perang. Makanya dia membakar semua temuan beserta berkas-berkasnya saat itu. Bayangkan saja kalau seandainya temuannya dia itu dulu dipublikasikan. Bisa jadi kita sekarang melihat perkembangan dan revolusi luar biasa di dunia electrical engineering. Dia juga konon menemukan cara untuk membunuh orang dengan suara. Tapi penemuan itu juga dimusnahkan dengan alasan yang sama.

Jadi, siapa yang lebih jenius?

Nanti dulu. Ada fakta yang menarik bahwa saat itu Tesla bekerja di perusahaan milik Edison, Edison Machine Works. Tesla hanya digaji $10 per minggu. Sedangkan setiap ada paten, uang yang selalu mampir ke kantong Edison ada di kisaran $30,000.

Fakta menarik lainnya adalah legenda “war of currents” yang terjadi saat itu yang mengacu pada 2 konsep transmisi listrik, AC dan DC. Yang AC diusung oleh Tesla, sedangkan DC oleh Edison. Mereka berbeda pendapat soal mana yang lebih efisien dalam power transmission. Di kemudian hari, ternyata memang terbukti AC jauh lebih bisa melakukannya dengan efisien. Apalagi kalau menggunakan teknik 3-phase yang juga dikembangkan oleh Tesla. Tapi saat itu, Edison berhasil melakukan propaganda ke masyarakat dengan menyebarkan bukti bahwa AC bahaya dan mematikan. Memang untuk sesaat DC menjadi favorit saat itu, tetapi sejarah membuktikan bahwa akhirnya AC yang menjadi standar internasional untuk power transmission. Konon gara-gara perseteruan itulah Tesla didepak dari perusahaan Edison. Sekitar tahun 1916, Tesla bangkrut karena tumpukan pajaknya. Ia meninggal pada 1946 dalam kemiskinan dan dengan utangnya yang menggunung. Sedangkan Edison saat hidupnya bisa membeli rumah di atas area 5,5 hektar di New Jersey hanya sekedar untuk hadiah pernikahan dengan istri keduanya.

Jadi, siapa yang lebih jenius?


7 April 2006

dari berbagai sumber

Labels: