Delicate, Delightful, Delicious
~A Blog

Thursday, August 31, 2006

A Blogaholic Day

Aku Ivan. Sekarang sedang kuliah teknik elektro di luar negeri. Entah bagaimana ceritanya, aku lagi ketagihan sama makhluk bernama blog. Temanku saja ada yang bilang kalau Ivan itu full-time blogger, part-time student. Wah.

Semalam baru saja aku nonton trilogi The Godfather yang terkenal itu. Tapi entah kenapa, di tengah-tengah film yang kedua, aku serasa mendengar Godfather disebut sebagai blogfather. “Blogfather … blogfather,” begitu. Ah, kayaknya kuping agak nggak beres nih, pikirku. Aku pun akhirnya langsung merebahkan diri dan tidur. Mungkin kecapekan karena kebanyakan ngeblog.

Dan pagi ini sudah segar lagi rasanya. Sudah siap untuk hari baru, aktivitas baru, kuliah lagi. Ok, aku pun bangkit dari tempat tidur. Kutarik napasku dalam-dalam. Ah, memang bangun pagi-pagi itu segar. Apalagi di asrama ini kebanyakan isinya orang asing yang mayoritasnya bangun siang. Kurapihkan sebentar meja belajar di kamarku yang semalam masih dibiarkan berantakan. Aku memungut bungkus VCD The Godfather yang kupinjam dari teman. Kuletakkan di tumpukan buku. Lalu, sebenarnya masih ada lagi film menarik rekomendasi temanku yang jadwalnya mau aku tonton malam ini. Kucari-cari di bawah tumpukan brosur-brosur. Nah, ini dia. Lho, kok aneh, pikirku. Alisku terangkat dan mencoba melihat dari dekat bungkus VCD film yang satu ini. Tulisannya agak aneh: “Batman Blogins”. Aku menghela napas. Kuusap-usap mataku, berharap ini hanya karena capek. Tapi tulisannya masih seperti itu.

Baiklah. Mungkin yang ini benar-benar salah cetak. Akhirnya setelah semuanya beres, aku pun memutuskan untuk berangkat ke kampus. Menurut jadwal, ada kuliah jam 8.30 ini. Kulihat jam tanganku. Masih jam 8 lewat sedikit. Akhirnya kuputuskan untuk mampir ke kantin dan sarapan dulu. Aku melihat deretan meja-meja kantin dan berharap akan bertemu seorang atau dua orang anak Indonesia, dan tampaknya ada Daus di meja ujung. Jambulnya itu yang membuat dia gampang dikenali, bahkan dari jauh sekali pun.

“Eh, ada kuliah pagi-pagi gini?” sapaku.

“Nggak sih. Mau main-main dulu aja di library,” ia menjawab tanpa memalingkan mukanya ke aku. Tampaknya sangat sibuk dengan cheese prata-nya sambil konsentrasi mendengarkan musik lewat earphone-nya. Penasaran, aku langsung menyerobot saja. Kutarik satu buah yang ada di telingan kanannya, dan kupasang di telingaku. Hmm, lagu lama.

“Gimana? Blogstreet Boys tuh. Yah, udah agak lama sih, tapi masih lumayan ...”

“Eh apa?” aku langsung menyahut. “Tadi ngomong apa?”

“Blogstreet Boys?” Daus tampak heran.

“Backstreet Boys!”

“Iya, Blogstreet Boys. Kamu kenapa sih?”

Hh, aku benar-benar nggak habis pikir. Kayaknya benar-benar kupingku yang bermasalah.

Tiba-tiba, seorang anak yang duduk di samping kiri Daus ikut buka mulut, “tapi kalau ngomong-ngomong soal boyband lama, saya sih lebih suka New Kids on the Blog ...”

“Oh ya, belum kenal kan? Ini Angga. Anak baru. Ngambil teknik sipil di sini,” Daus mengenalkan.

Aku masih geleng-geleng kepala nggak percaya. Tadi Blogstreet Boys, sekarang New Kids on The Blog? Yah, walau bagaimana pun aku tetap mengulurkan tangan ke Angga, “Ivan.” Aku melanjutkan basa-basi, “dari mana asalnya?”

“Dari Blogor.”

Kerutan di dahiku rasanya semakin banyak saja. “Oh iya, katanya sebelum pindah ke Blogor, Angga ini dulu tinggal di deket terminal Blog M situ lo. Deket rumah kamu, kan?”

Melihat aku nggak bereaksi apa-apa, si Daus malah melanjutkan dengan sesi tutorial pagi buat si Angga, “iya, jadi kamu yang rajinlah kuliah di luar negeri ini, bla bla bla, walaupun di sini teknobloginya lebih maju, jangan terlena. Justru kita belajar, dan jangan lupa nanti buat pulang ke Indonesia, bla bla bla. Oh iya, tapi jangan belajar terus. Kamu juga harus bloganisasi, bla bla bla, mungkin enak jadi blogistic aja kalau masih tahun pertama, bla bla bla, tapi harus seimbang, jangan sampai nilai kamu jeblog.”

Aku sudah semakin pusing. Omongan si Daus yang seperti kereta api itu bagiku seperti terdengar “blogblogblog karena blogblog, sehingga blogblog. Daripada blogblog blogblog, mendingan blogblog. Blogblogblogblogblog.” Cukup!

Ah, akhirnya aku memutuskan untuk langsung menuju ke lecture theatre. Mungkin di sana lebih tenang, dan aku bisa lepas dari semua ini.

Aku menunggu lift bersama beberapa orang yang juga tampaknya ingin pergi kuliah ke tempat yang sama. Saking banyaknya hal yang jadi pikiran di kepalaku, aku sampai nggak sadar kalau aku menghalangi jalan. Dan, benar saja. Hal yang ditakutkan terjadi lagi. “Excuse me, you are blogking my way.”

Aku jadi tersadar dari lamunan. “Aah, ee, did you just say blog?” Tapi sayang, orang itu sudah jauh.

Di lecture theatre pun ternyata sama saja. Aku mengambil tempat duduk di baris nomor dua dari depan. Tiba-tiba temanku, Peng Ho mengambil tempat di sebelahku. Wajahnya tampak agak memelas.

“Ivan, have you submitted your report to the blogfessor already?”

“Sorry?” lagi-lagi! Tapi tampaknya dia nggak mendengar dan malah melanjutkan, “I’m blogging you, Ivan. Please, lend me your report only for today. And I’ll return it to you by 6. Ok, I promise—this is the last time. I’ll do it myself next time. You know that I’m no good in Java blogramming, rite?”

Huh, kali ini si Peng Ho yang minta report project Java pekan kemarin. “But Peng Ho, you know best that bloginality—oops, I mean originality—counts, don’t you?” Aah, kali ini malah lidahku yang keseleo.

“Ya, I promise. Indeed, I respect bloginality as I’m against piracy to all kinds. You must know it very well. So, I will change and rephrase it accordingly.” Tampaknya Peng Ho benar-benar belum ngerti tentang orisinalitas.

Aku langsung menyuruh Peng Ho untuk diam, karena dosen Communication Principles sudah datang. Ah, lega, pikirku. Kalau kuliah, nggak mungkin ada “blog” yang nyasar.

Tapi lagi-lagi tebakanku salah. “So, you need to take the blogarithm of this ratio, and use the unit of dB. This is what we call SNR—Signal-to-Noise Ratio.”

Aaaaaaaaaaaaah, tidak. Rasanya kepala ini mau pecah. Selesai kelas itu, aku langsung mendinginkan kepala di library. Harusnya di sini sudah nggak ada “blog”. Minimal istirahat dulu sebentar. Aku mengambil tempat di sofa di lantai dasar, dekat dengan tempat tumpukan koran-koran hari ini. Ada Kompas di situ. Kulihat lembar per lembar. Siapa tahu dengan baca koran, pikiran jadi tenang, pikirku.

Tapi yang ada di headline malah “Negara Rugi Rp30 Triliun Akibat ‘Illegal Blogging’”. Di halaman lain ada lagi “Akbar Tandjung Sebaiknya Jujur Soal ‘Bloggate’” dan “Gubernur Tolak Blogalisasi Judi.” Masih dengan pikiran ruwet, ada orang berkaos Chelsea lewat. Aku memerhatikan nama punggungnya: Blogba! Didier Blogba?

Ini sudah batasnya. Ada apa dengan hari ini? Kenapa semuanya jadi “blog”? Aaaaaaaaah. Aku berharap ini semua mimpi. Kucubit pipi kiri. Belum cukup, pipi kanan juga. Aduh, sakit. Lalu, kucoba menggoyang-goyangkan kepala. Ayo, kalau ini mimpi, sadar Ivan! Nggak sengaja, aku malah jatuh dari sofa. Gedeblog! Aah, bahkan suara orang jatuh saja ada “blog”-nya!

* * *

Aku terbangun. Kaget, dan nafas masih tersengal-sengal. Tiga detik aku terdiam sampai aku sadar bahwa aku masih di tempat tidur. Ah, alhamdulillah. Ternyata mimpi. Berarti, ini karena aku benar-benar terlalu banyak ngeblog. Ok deh, insaf.

Aku kemudian bersiap-siap untuk bangun ketika HP berdering. Dari Daus rupanya. “Ya, halo. Kenapa Us?

“Eh, jadi nonton Blogback Mountain gak malem ini?”

Singapore,
Kamis pagi, 31 Agustus 2006

Disclaimer:
1. Kisah ini hanya fiksi sebenar-benar fiksi. Kebanyakan pencarian kata-katanya hanya dipas-pasin sama the magical word—blog. Apabila ada kesamaan nama atau tempat, maka hanya kebetulan saja.

2. Terima kasih buat Enda Nasution dan semua orang yang sudah memberi komentar di artikel “Blogging Glossary” yang menjadi sumber inspirasi tulisan ini.

3. Tulisan ini hanya selingan, terutama buat seorang teman yang merasa bosan dengan tulisan saya yang selalu bernada serius.

Labels: ,

Wednesday, August 30, 2006

Yang Berawal Dari Kebiasaan

Sering terpikir oleh saya tentang gagasan menciptakan hobi atau karakter. Hal ini terinspirasi dari pernyataan Stephen Covey dalam bukunya, The 7 Habits of Highly Effective People, “taburlah gagasan, petiklah perbuatan. Taburlah perbuatan, petiklah kebiasaan. Taburlah kebiasaan, petiklah karakter. Taburlah karakter, petiklah nasib".

Berarti, Stephen Covey secara jelas mengindikasikan bahwa karakter itu berbeda sifat dengan energi. Nggak ada yang namanya hukum kekekalan karakter, “karakter tidak bisa diciptakan dan dimusnahkan, melainkan hanya bisa diubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya.” Nggak ada itu.

Bagaimana dengan hobi? Ini hanya gagasan tambahan dari saya saja. Hobi juga sebenarnya hasil taburan kebiasaan seperti yang diungkapkan Covey. Hanya saja, tergantung dari jenis kebiasaan yang ditabur. Jika kebiasaannya bersifat pemikiran atau cara berpikir, maka yang tumbuh adalah karakter. Seperti kalau menabur kebiasaan membuang sampah di tong sampah sejak kecil, maka yang akan dipetik adalah karakter itu. Sedangkan kalau kebiasaannya bersifat kegiatan-kegiatan spesifik, maka yang dihasilkan adalah hobi. Seperti kebiasaan membaca yang akan menjadi hobi membaca.

Baru akhir-akhir ini saya merasakan kebenaran teori itu, bahwa hobi bisa diciptakan. Sekarang saya agak berbeda kalau ditanya tentang hobi. Biasanya jawabannya nggak jauh-jauh dari membaca, main bola, nonton bola, merenung. Tapi kini secara pasti sudah berani untuk menambah satu hal lagi: menulis.

Nah, bagaimana dengan gagasan memusnahkan karakter atau hobi? Sama saja. Sudah banyak kisah di sekitar kita tentang orang-orang yang tiba-tiba saja punya hobi baru dan meninggalkan hobi lamanya. Contohnya orang-orang yang meninggalkan hobi merokoknya. Kebanyakan dari mereka melakukannya dengan terapi permen karet. Begitu juga karakter. Teman seangkatan saya ada yang dulu di SMA selalu diejek ketika berbicara di depan kelas. Entah karena merasa kurang percaya diri atau bagaimana, ketika berbicara jadi terdengar seperti sedang menangis. Di situlah diejeknya. Tapi kini Anda sudah nggak bisa menemukan teman saya yang dulu lagi. Sekarang dia sudah menjadi seorang pembicara yang berkualitas, dan memegang 4 kelompok pengajian kelas di SMA-SMA Depok.

Ini sebuah ide yang menarik tentunya, kalau kita percaya bahwa karakter dan hobi bisa diciptakan dan dimusnahkan. Berarti kita bisa menciptakan karakter dan hobi yang positif bagi diri kita atau orang lain, dan membuang yang negatif ke tong sampah. Seperti menciptakan hobi membaca Quran, hobi membaca, hobi pemrograman komputer, hobi utak-atik peralatan elektronik, dan juga karakter yang tegas, cekatan, gampang menolong orang.

Ada setidaknya 3 jalur penerapan bagi teori penaburan kebiasaan ini. Yang paling sederhana adalah tentunya penaburan kepada diri sendiri. Bukan mustahil kita menciptakan hobi-hobi baru buat kita sendiri, dan menciptakan karakter-karakter yang kita inginkan. Modalnya satu: harus yakin bahwa nggak ada yang namanya hukum kekekalan hobi dan karakter.

Yang kedua dan yang lebih menarik adalah orang tua yang menabur kebiasaan ke anak-anaknya. Seperti menuliskan sesuatu ke kertas yang masih putih. Peluang untuk ini sangat terbuka ketika anak-anak masih kecil. Ketika kecil, semua gampang untuk dimasukkan ke memori anak-anak. Anak-anak Indonesia yang dibesarkan di Amerika, karena sehari-harinya mendengarkan bahasa Inggris, maka ketika besar akan fasih bahasa Inggrisnya, walaupun nggak pernah mendapatkan pelajaran bahasa secara formal dan hanya tahu dari TV, misalnya.

Nah, kalau bahasa saja bisa cepat diserap, apalagi kalau menciptakan kebiasaan buat anak. Sepupu saya dari kecil sudah dikasih komponen-komponen elektronik, mulai dari baterai, kabel, resistor, dan lain-lain. Di awal SD, anak itu sudah mulai menyolder. Sekitar kelas 3 SD sudah bisa memperbaiki remote TV yang rusak. Kelas 6 SD sudah mendapat pesanan dari orang—walaupun masih keluarga sendiri—untuk dibuatkan suatu alat tertentu. Agak mirip dengan kisah masa kecil Sehat Sutardja, lulusan University of California, Berkeley yang kini punya perusahaan semikonduktor papan atas, Marvell.

Itu baru hobi yang biasa. Bagaimana dengan hobi yang lain dari yang lain, seperti hobi membaca Quran dan menghafal Quran? Ada kisah dari Durottul Muqoffa yang hafal Quran pada usia 6 tahun. “Ya, kami biasakan kalau bermain-main bersama teman lainnya sambil menghafal surat-surat pendek. Mau tidur menghafal lagi, bangun tidur menghafal lagi. Jalan-jalan, sehari-hari tidak berhenti berhadapan dengan Quran,” kata ibu kandungnya, Mundasah, seperti dikutip dari Suara Merdeka.

Memang, selagi masih kecil, anak bisa diajarkan apa saja. Begitu fitrahnya. Teman saya dulu di SMA ada yang sudah hafal 7 juz Quran. SD dan SMP dia dihabiskan di Nurul Fikri (NF), sebuah sekolah Islam terpadu yang cukup populer di Depok. Ketika saya tanya, ternyata memang rahasianya di kurikulum sekolahnya. Lulus dari SD NF, sebagian besar lulusannya sudah hafal 6 juz. Lalu, ditambah lagi 3 juz di SMP.

Yang lebih hebat lagi adalah kalau bisa menumbuhkan karakter unggulan. Saya sedikit terkejut ketika membaca sebuah artikel tentang anak-anak dari Yusuf Qaradawi, ulama internasional yang sekarang berdomisili di Qatar. Anak beliau total ada 7—3 putra dan 4 putri. Tiga dari empat putrinya memiliki gelar PhD dari universitas-universitas di Inggris—di bidang fisika nuklir, kimia organik, dan botani. Sedangkan putri keempatnya bergelar Master di bidang Biologi dari University of Texas. Putranya, Mohamed, mendapat PhD di bidang teknik mesin dari University of Central Florida di Orlando. Dua putra lainnya sedang mengejar gelar Master di bisnis. Dan hanya satu orang saja putranya yang mengikuti jejak bapaknya untuk belajar ilmu Islam di tingkat yang lebih tinggi. Tentunya ada suatu karakter yang berhasil ditanamkan orang tuanya sehingga anak-anaknya bisa seperti itu. Karakter untuk selalu menjadi ranking satu? Mungkin saja.

Jalur ketiga, dan yang paling hebat, adalah kalau penaburan kebiasaan ini dilakukan pemerintah kepada rakyatnya. Selain akan menghasilkan karakter bagi lebih banyak orang, proses ini juga bisa menciptakan karakter suatu bangsa. Seperti pemerintah Jepang yang menciptakan karakter kebersihan dan kerapihan bagi orang Jepang.

Singapore,
Selasa malam, 29 Agustus 2006

Labels: ,

Sunday, August 27, 2006

Pengokot: Bukti Kekuatan Duet Blog-Milis

Apakah Anda juga salah seorang korban penerima email “pengokot”—yang dibuat tertawa terbahak-bahak, atau setidaknya mengurai senyum membaca tulisan itu? Tenang saja, saya juga salah satu korbannya. Sekitar bulan Februari lalu saya mendapat email yang cukup fenomenal itu dari beberapa milis yang saya ikuti. Gaya tulisannya jenaka, menghibur, dan yang paling perlu diacungi jempol adalah idenya yang kreatif. Dari sebuah tulisan di surat pembaca di majalah Tempo, bisa disulap menjadi sebuah tulisan yang sangat cepat beredar di jagad milis saat itu.

Secara kebetulan, selain berkesempatan membaca email itu, saya juga berkesempatan mengetahui orang yang membuat tulisan itu. Bukan, bukan bertemu secara fisik, tapi mengetahui sumber tulisan itu, yang nggak lain nggak bukan berasal dari sebuah blog. Pemiliknya bernama Agung yang menggunakan nickname Mbot.

Itu salah satu kisah dari dunia blog Indonesia. Sejak ada situs blogger.com secara resmi pada 1999, jumlah pemiliknya pun semakin bertambah. Itu juga didukung oleh semakin banyaknya situs-situs penyedia layanan pembuatan blog semacam Multiply dan Wordpress. Teman saya menyebut blog sebagai sarana pemenuhan kebutuhan kelima dalam teori hirarki Abraham Maslow. Yang lebih menarik lagi adalah ungkapan Enda Nasution, Bapak Blog Indonesia, yang komentar-komentarnya sering dikutip Kompas, “jika saat ini Rene Descartes bangkit dari kubur, maka ia mungkin akan berkata: saya ngeblog, karenanya saya ada.”

Tapi, penyebaran tulisan Agung itu memerlukan satu komponen lagi: milis. Yang ini pun memiliki fenomenanya sendiri di Indonesia. Sejatinya bernama mailing list. Tapi entah bagaimana ceritanya, lidah orang Indonesia lebih cocok dengan kata “milis”.

Dari dulu sampai sekarang, bisa kita katakan milis adalah salah satu sumber berita yang berpengaruh, terutama di kalangan terpelajar yang mengenal internet. Tentunya ini terlepas dari fakta banyaknya hoax-hoax yang muncul. Tetapi, justru dengan mengamati betapa hoax-hoax bisa cepat menyebar dari milis yang satu ke milis yang lainnya, kita jadi tahu betapa berpengaruhnya milis. Anda mendapat kabar tentang planet Mars yang akan bersinar terang pada 26 Agustus kemarin? Itu ternyata sebuah hoax. Saya sendiri pun tadinya percaya mentah-mentah, sampai membaca banyak analisis tentang itu di internet.

Jadi, sudah percaya bahwa milis itu begitu berpengaruh? Bayangkan saja berapa banyak orang yang meneruskan email tentang Mars itu ke semua orang yang dikenalnya. Saya pikir, begitu berpengaruhnya milis dipengaruhi oleh 2 faktor. Yang pertama, tentunya kebiasaan orang Indonesia yang senang meneruskan email-email yang menarik bagi mereka tanpa mengecek kebenarannya. Yang kedua adalah jaringan yang dimiliki oleh milis itu sendiri. Saya sendiri, sampai dengan hari ini terdaftar sebagai anggota pada 29 kelompok milis di Yahoo! Groups. Itu belum termasuk yang terdaftar di Google Groups. Ini nggak aneh mengingat brgitu mudahnya membuat milis. Ikut organisasi ini, bikin milis. Bahkan di dalam divisinya pun terkadang membuat milis sendiri. Lulus dari SMA, bikin milis. Bertemu dengan orang yang satu hobi, bikin milis. Kalau Anda mencoba menjelajah Yahoo! Groups, Anda akan dibuat kaget dengan daftar milisnya. Hampir semua ada, mulai dari topik yang aneh, sampai yang paling aneh. Ada milis orang Sukoharjo, milis pencinta Nokia Communicator, dan ada juga milis pencinta Tintin yang suka bernostalgia dengan kisah-kisah di komik Tintin yang kini menghilang dari pasaran.

Menurut beberapa literatur di dunia maya, milis mulai dikenal di Indonesia sejak tahun 98-99. Sejak kemunculannya hingga sekarang, milis nggak pernah mati. Hal ini agak sedikit berbeda dengan blog. Walaupun situs blogger sudah ada sejak 1999, tetapi blog baru benar-benar dikenal luas oleh orang Indonesia sejak sekitar tahun 2005. Kompas saja baru menulis artikel resmi tentang blog pada Juni 2005. Berarti, boleh dibilang blog telat booming di Indonesia dibandingkan milis.

Di atas itu semua, saya melihat sebuah kekuatan yang luar biasa dari kombinasi fenomena milis dan fenomena blog. Mungkin seperti duet Cole-Yorke atau Crespo-Chiesa di masa jayanya. Masing-masing punya kemampuan individu yang hebat, tetapi menjadi semakin hebat ketika disatukan. Mungkin juga seperti duet semikonduktor tipe n dan tipe p yang kemudian bisa membentuk pn-junction yang banyak menginspirasi penemuan-penemuan di bidang elektronik. Blog dalam hal ini berperan sebagai penyuplai tulisan, dan di posisi lain ada milis yang menjadi kurirnya. Milis seperti menemukan teman lamanya yang hilang.

Seperti tulisan tentang pengokot itu, banyak tulisan-tulisan lain yang sudah menyebar cepat di milis, yang bisa menyebarkan gagasan ke orang banyak. Masih menurut Agung, yang menyebut milis memiliki efek domino, total ada 4 tulisan hasil karyanya yang mengalami efek domino seperti itu. Asalnya hanya dari seorang yang membaca blognya dia, tertarik, dan kemudian meneruskannya ke milis-milis.

Intinya, menyebarkan gagasan lewat duet blog-milis bukan hal yang mustahil, karena sudah ada buktinya. Berarti, seharusnya nggak susah juga untuk menyebarkan gagasan tentang kebaikan kepada orang lain lewat media ini. Misalnya tentang mengapa kita harus mendukung Palestina. Asal nggak terjebak dan bisa sedikit berhati-hati terhadap hoax, lomba the best entry bertema “antara Lebanon, Palestina, dan kita” oleh komunitas Indonesian Muslim Blogger bisa menjadi sangat berpengaruh. Bayangkan saja bila ada artikel yang benar-benar bagus, dan kemudian satu orang meneruskannya ke beberapa milis, yang dilanjutkan ratusan orang lainnya. Entah akan ada berapa puluh atau berapa ratus orang yang akan ikut tergugah—atau minimal dari apatis menjadi tahu akan apa yang terjadi beribu-ribu kilometer di tanah Arab sana.

Priyadi menyebut dalam bannernya, “changing the world, one person at a time...” Bukan mustahil menurut saya. Walaupun bukan anggota DPR yang punya kuasa mengatur UU, orang biasa seperti kita pun bisa mengikuti prinsip Priyadi. Menyampaikan gagasan kita lewat keyboard—syukur-syukur bisa merubah orang.

Kalau begitu, dari mana semuanya berasal? Dari blog? Bukan, melainkan dari kita. Seperti kata Aa Gym, “mulailah dari hal yang kecil, mulailah dari diri sendiri, dan mulailah dari sekarang.” Ya, Insya Allah.

Singapore,
Ahad siang, 27 Agustus 2006

Labels: ,

Wednesday, August 23, 2006

Jadi, Buanglah Sampah Pada Tong Sampah

Kita semua tahu Jepang. Kalau bicara masalah kebersihan, negara mana pun di dunia ini berhak disebut sombong kalau enggan belajar dari Jepang. Saya bukan bicara sistem penanganan sampahnya, tapi bicara masalah kebiasaan masyarakatnya.

Pernah ada cerita dari salah seorang Indonesia yang bersekolah di Jepang. Pertama kali ia melihat sampah-sampah berserakan ialah di tempat yang paling berbau aroma Indonesia: SRIT (Sekolah Republik Indonesia Tokyo). Sebabnya adalah karena SRIT biasanya selalu menjadi tempat berkumpul orang-orang Indonesia di Jepang ketika lebaran, 17 Agustusan, dan lain-lain. Padahal, perilaku orang Jepang sangat luar biasa sampai ke batas yang sangat sulit dipercaya oleh orang Indonesia kebanyakan. Misalnya saat mereka makan permen karet. Ketika sudah harus dibuang, tapi nggak ada tempat sampah di sekitarnya, maka yang dilakukan adalah membungkusnya dulu dengan bungkus permen karetnya, dan disimpan di saku. Begitu ada tempat sampah, baru dibuangnya.

Ada lagi cerita orang Jepang yang berkunjung ke UI. Dia diberi tempat menginap di guest house PSJ (Pusat Studi Jepang). Begitu kaget dan paniknya ia saat tahu di kamarnya hanya ada satu buah keranjang sampah. Anda bingung dengan reaksinya? Soalnya dia sudah biasa membuang sampah ke tempat sampah sesuai jenisnya; sampah yang bisa dibakar, yang tak bisa dibakar, dan sampah berupa botol plastik dan kaleng. Saat diberi tahu kalau begitulah prosedur di Indonesia, maka ia baru tenang.

Baiklah, sekarang mari kita menjelajah ke Singapore, kira-kira 7 jam perjalanan dengan pesawat kalau dari Jepang. Sekali lagi saya menegaskan bahwa saya nggak membahas tentang sistem penanganan dan pengolahan sampah, melainkan hanya kebiasaan masyarakatnya. Lalu, kalau Anda berharap akan menemukan kisah yang sama di Singapore, maka Anda salah besar.

Memang, Singapore terkenal sangat bersih. Tapi saya menyebutnya, Singapore bersih karena dibersihkan. Kita bisa bilang bahwa Singapore ialah kota yang bersih, tapi kita nggak bisa bilang bahwa orang Singapore juga bersih. Itu dua hal yang sangat berlainan. Faktanya, NEA (National Environment Agency) menghabiskan dana S$ 110 juta setiap tahunnya untuk membersihkan sampah di seluruh penjuru Singapore.

Harian The Straits Times Ahad lalu, 20 Agustus 2006 membuktikan hal itu. Di situ ada headline yang ditulis besar-besar: “Warning: We’re Becoming a Garbage City.” Artikel itu sangat jelas maksudnya. Ada indikasi bahwa orang Singapore semakin jorok. Permasalahan sampah disebutkan memburuk di hawker centre, bus interchange, dan di pusat-pusat perbelanjaan.

Dan secara khusus The Straits Times mengamati sampah-sampah di apartemen-apartemen HDB. Selalu para pembersih yang datang pagi-pagi disambut oleh tumpukan sampah. Dikisahkan di situ bahwa wartawan The Straits Times mengadakan observasi di daerah Eunos Crescent pada jam 5.30 pagi, saat para pembersih apartemen belum datang. Daerah-daerah di setiap blok, terutama di lahan kosong di lantai satu (void deck), dan di lobi lift dipenuhi oleh sampah-sampah seperti kertas surat, kotak rokok yang kosong, dan kertas koran. Daerah yang paling kotor adalah di belakang blok, yang menghadap jendela. Sampah-sampah yang ada lebih meriah lagi: kertas tissue, kulit jeruk, kulit telur, kantong plastik, kotak minuman, dan lain-lain. Rupanya itu dibuang langsung dari jendela oleh penghuni kamar-kamar di lantai atas.

Begitu juga yang saya saksikan di asrama-asrama di NTU. Sama saja—toilet, lorong-lorong, dapur, semuanya tampak bersih karena dibersihkan rutin setiap paginya. Setiap pagi sekitar jam 7, para pembersih sudah datang. Tapi masa kerja mereka hanya sampai hari Sabtu siang. Jadi, mereka libur satu setengah hari tiap pekannya. Nah, di sinilah yang perlu diamati. Ada waktu sebanyak satu setengah hari sisa—setengah hari Sabtu dan satu hari Ahad—yang nggak dibersihkan kecuali menunggu Senin pagi. Dan seperti yang bisa Anda tebak; keadaan dapur, toilet, tempat sampah di ujung-ujung lorong sangat kotor dan berantakan saat hari Senin. Kalau Anda pergi dari Jakarta ke asrama saya pada pukul 5 pagi hari Senin dengan pintu ke mana saja milik Doraemon, saya yakin Anda akan berpikir bahwa pintu ke mana saja-nya sedang butuh reparasi.

Sekarang, mari kita pindah ke negara tetangganya—apa lagi kalau bukan Indonesia. Sebenarnya saya pun agak enggan untuk membicarakan negara yang satu ini, apalagi mengenai sampah. Karena kita sebaiknya memiliki stok prasangka baik yang banyak ke Indonesia, dengan membicarakan hal yang positif dan negatif secara seimbang.

Di Indonesia—kita tahu sama tahu—baik sistem maupun kesadaran masyarakat dalam hal sampah sangat buruk. Kasus sampah yang menggunung di Bandung beberapa bulan yang lalu itu menjadi bukti. Selebihnya, Anda lebih tahu.

Saya sampai merasa bahwa pelajaran PPKn yang mengajarkan kalimat sakti “buanglah sampah pada tempatnya” hanya sia-sia. Padahal, seingat saya, soal PPKn berbentuk pilihan ganda yang menanyakan hal seperti itu sudah ditanyakan sejak SD, dan masih ada sampai sekitar SMP. Mustahil kalau kalimat sakti itu nggak mengendap di benak setiap anak Indonesia yang mengenyam pendidikan sekolah.

Maka, kesimpulan saya hanya satu: bahwa orang Indonesia sudah nggak paham dengan kalimat itu. Mereka nggak paham dengan makna “tempat” pembuangan sampah. Bisa jadi, bagi orang Indonesia, yang disebut “buanglah sampah pada tempatnya” itu sama saja maknanya dengan buanglah sampah pada pojok kelas, di bawah bangku, di kolong meja, di selokan, di halaman rumah, atau di sungai. Jadi, marilah sekarang kita kampanyekan penggantian "buanglah sampah pada tempatnya" itu dengan yang nggak menciptakan kerancuan, “buanglah sampah pada tong sampah.” Nah, yang ini sangat jelas.

Sebenarnya, apa rahasia Jepang hingga bisa seperti itu? Ada fakta yang cukup menarik. Tahukah Anda bahwa Jepang pada tahun 1960-an sampai 1970-an juga sebenarnya sama saja kondisinya dengan Indonesia sekarang? Di kota-kota besarnya, seperti Tokyo dan Osaka, sampah-sampah yang berserakan sudah sangat umum. Tapi rupanya pemerintahlah yang mengubahnya. Pemerintah Jepang berhasil menciptakan pembiasaan di masyarakat Jepang, dan mengubah orientasi pengelolaan sampah dari masyarakat yang menghasilkan sampah secara massal menjadi masyarakat yang dapat melakukan siklus material secara menyeluruh. Sehingga di tahun 1990-an, budaya bersih dan disiplin sudah berhasil diklaim oleh orang Jepang. Ini fakta yang jarang diketahui.

Boleh dibilang, Jepang praktis hanya membutuhkan 30 tahun untuk berubah. Dari penciptaan sistem yang baik, pemaksaan kebiasaan ke masyarakat, dan kemudian berubah.

Mari kita hitung-hitungan sedikit untuk kasus di Indonesia. Baiklah, saya pikir ada perbedaan yang mendasar antara karakter manusianya. Jadi, saya lipat gandakan jadi 60 tahun—waktu yang dibutuhkan oleh Indonesia untuk berubah. Berarti tahun 2066 kita sudah nggak melihat lagi sampah di sepanjang Jalan Raya Lenteng Agung? Eh tunggu dulu, menghitungnya mulai tahun berapa nih?

Singapore,
Sore hari, 23 Agustus 2006

Labels:

Sunday, August 20, 2006

"Apa yang Paling Kamu Syukuri?"

(Artikel buat yang kuliah di luar negeri)
Setahun yang lalu saya pernah ditanya oleh seorang teman, “Don, apa yang paling kamu syukuri dari kesempatan yang kamu peroleh untuk belajar di Singapore?”

Saya diam. Benar juga—pertanyaan bagus, pikir saya. Kenapa sebelumnya nggak pernah kepikiran hal seperti ini ya? Akhirnya saya larut dalam kilatan-kilatan pemikiran selama 5 detik ke depan.

Apakah karena saya berhasil mencicipi belajar di NTU, sebuah universitas yang berperingkat 48 dunia pada tahun 2005? Bisa jadi. Karena dengan fakta ini, saya bisa menjadi bagian dari komunitas internasional—setidaknya level Asia—yang saling berkompetisi menjadi yang terbaik. Saya juga jadi bisa sekelas dengan orang-orang pintar India, Cina, dan Vietnam.

Tapi itu semua baru satu sisi dari mata uang. Kalau kacamata, maka itu baru hasil yang tampak dari lensa sebelah. Bagaimana pun setelah cukup lama bersekolah di NTU, saya jadi menyadari beberapa hal. Mengutip SeurieuS, sebenarnya NTU juga manusia.

Memang, NTU memiliki sistem yang baik, kurikulum yang jelas, dosen-dosen yang lulusan Amerika dan Eropa. Tapi kalau ingin membahas NTU secara utuh, hal-hal tadi belumlah cukup.

Dari segi kurikulum, dosen NTU sendiri mengakui bahwa kurikulum di NTU disusun secara pragmatis. Semuanya diset agar bisa memenuhi kebutuhan pasar; agar mahasiswa yang lulus bisa langsung siap kerja. Nah, di situlah uniknya. Sebagian besar mata kuliah di setiap jurusan NTU akibatnya hanya mementingkan exam atau ujian akhir sebagai kontributor utama nilai bagi mahasiswa. Angka kontribusinya berkisar antara 70%-100%. 100%? Iya, jangan salah. Memang di sini ada mata kuliah tertentu yang dinilai mutlak dari hasil examnya. Menakutkan. Yang lebih menakutkan lagi adalah efek dari sistem itu. NTU sama sekali nggak melihat kehadiran mahasiswa penting untuk nilai akhir. Bagi dosen-dosen NTU, asalkan mahasiswa mendapat nilai yang bagus, itu sudah cukup. Makanya jangan heran kalau Anda bisa menyaksikan kelas Prescribed Elective yang dalam daftar memiliki jumlah mahasiswa sebanyak 300, tapi dalam setiap lecture nggak ada setengahnya yang hadir. Satu-satunya kesempatan di mana 300 orang itu kumpul bareng ya di exam hall.

Kembali ke pertanyaan teman saya. Pertanyaan itu bukan tentang apa yang saya syukuri; melainkan apa yang paling saya syukuri. Baiklah, kalau demikian, rasanya poin pertama nggak deh.

Beberapa pekan yang lalu, saya mendengar cerita dari seorang dosen NTU tentang lulusan NTU tahun lalu—berarti angkatan 2002. Di antara mereka, ada satu orang India yang ditarik oleh Microsoft untuk kerja di situ dengan bayaran S$11300 per bulannya. Jangan coba-coba dikonversi ke rupiah, karena Anda akan shock dibuatnya. Bayangkan saja—fresh graduate program S1, yang belum punya pengalaman kerja apa-apa, bisa langsung dibayar dengan bayaran yang bahkan melebihi gaji seorang Assistant Professor di NTU.

Walaupun nggak sampai setinggi itu, sebenarnya rata-rata gaji awal yang diterima lulusan NTU cukup tinggi, S$2600. Itu pun ditambah fakta bahwa 95% lulusan NTU mendapatkan pekerjaan dalam jangka waktu 4 bulan setelah kelulusan.

Lalu, bisa jadi hal ini yang paling saya syukuri; bahwa saya berada di lingkungan seperti ini dan berhak pula mendapatkan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan setelah lulus dengan gaji lumayan. Terutama mengingat kondisi ekonomi Indonesia yang masih belum bangkit, walaupun sudah merangkak sedikit demi sedikit. Banyak sekali pengangguran terdidik, alias pengangguran lulusan PT (Perguruan Tinggi) karena jumlah lapangan kerja nggak sebanding dengan jumlah lulusan PT setiap tahunnya.

Saya berpikir sekali lagi. Apakah benar poin nomor 2 ini yang paling pantas saya syukuri? Hmm, rasanya nggak juga.

Jadi, apa dong? Baiklah, bagaimana dengan kenyataan bahwa sekarang saya punya banyak teman dari seantero Indonesia? Karena anak-anak Indonesia yang ada di NTU adalah anak-anak dari berbagai daerah. Mulai dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Jogja, Palembang, Medan, Bali, dan masih banyak lagi. Tapi, kalau dipikir-pikir, bukankah kalau sekolah di UI juga akan mendapatkan pengalaman yang sama? Makanya saya nggak jadi menempatkan poin nomor 3 ini sebagai hal yang paling saya syukuri.

Tapi selain itu, memang saya jadi tahu banyak hal tentang sekolah-sekolah yang menonjol secara akademis di kota-kota besar di Indonesia. Walaupun SMA 8 Jakarta terkenal secara akademis, tapi sejatinya mereka masih kalah dari SMAK 1 BPK Penabur atau SMA Kanisius. Indikatornya adalah jumlah mahasiswanya di NTU. Lalu, di Palembang ada SMA Xaverius yang berhasil membuat NTU jatuh hati dan merelakan 30 kursinya untuk mereka di tahun ini. Di Medan ada SMA Sutomo, di Semarang ada SMA Loyola, sedangkan Bandung digawangi oleh SMA Aloysius.

Kembali ke topik. Lalu, saya jadi kepikiran bahwa saya sekarang berada di komunitas Islam Singapore. Jadi, apakah ini yang paling saya syukuri? Ya, memang karenanya saya sekarang jadi bisa makan dengan tenang karena ada sertifikasi halal yang jelas dan teratur dari Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS). Tapi rasanya sedih juga melihat kondisi orang-orang Islam lokal di sini. Mereka—entah kenapa—bagi saya terlihat minder terhadap komunitas-komunitas lainnya.

Tapi, yang jelas sekarang saya jadi tahu banyak hal tentang dakwah di Singapore. Tentang karakter dakwah di sini, cara berpikir orang-orangnya, dan juga tentang beberapa organisasi Malay Muslim Organization (MMO) dan wilayah kerjanya. Selain itu, berada di NTU Muslim Society 1 tahun juga menambah banyak teman saya. Saya jadi banyak kenal orang Pakistan, Iran, India Muslim, dan juga Bangladesh. Yang paling berkesan adalah saat saya dekat dengan seorang dosen Mesir lulusan S3 dari Stanford. Pengalaman dan wawasan yang saya peroleh dari hasil tukar pikiran dengan beliau sangat luar biasa. Sayangnya beliau hanya 1 tahun di NTU, dan sekarang sudah kembali ke Mesir.

Oh iya, betul juga. Bukankah dari semua pemikiran tadi ada satu benang merahnya?

Setelah hening selama 5 detik, akhirnya saya menjawab dengan mantap ke teman saya itu, “wawasan yang saya dapat.” Betul, itulah yang saya paling syukuri. Kalau orang lain hanya punya satu kacamata, maka saya setidaknya punya dua. Itu pun lensanya lebar-lebar. Insya Allah.

Teman saya pun membalas dengan senyum.

Kalau Anda, akan menjawab apa?

Singapore,
Di pagi yang cerah, 20 Agustus 2006

Labels:

Saturday, August 19, 2006

Menyelami 68% Dunia Blog Indonesia

Apa yang pertama kali muncul dalam pikiran Anda kalau saya menyebut nama Priyadi? Lalu, apa pula Hi Roy!™ menurut Anda? Kalau Anda mengaku blogger dan untuk pertanyaan pertama, yang Anda ingat adalah nama teman SD Anda, maka rasanya nggak rugi kalau Anda menghabiskan beberapa menit ke depan membaca tulisan ini. Begitu juga kalau berpikir bahwa Hi Roy!™ adalah sejenis tagline promosi McDonald's seperti I’m Lovin’ It™. Jadi, singkirkan sejenak niat Anda untuk segera keluar dari halaman ini menuju detikcom. Itu bisa belakangan.

Kata banyak orang, selamat datang di era narsisme. Tentunya ungkapan itu mengacu ke blog dan pertumbuhan jumlah dan popularitasnya yang meningkat. Selamat datang di zaman di mana orang sudah sangat umum untuk mencurahkan perasaannya, pemikirannya dalam tulisan, dan merasa senang bila orang lain membacanya. Kompas pernah menyebut blog sebagai diari terbuka.

Seperti layaknya kumpulan orang yang memiliki hobi yang sama yang berakhir dengan membentuk komunitas, blogger pun punya kecenderungan seperti itu. Begitu juga blogger di Indonesia. Mengamati komunitas blogger Indonesia cukup menyenangkan. Ada banyak hal-hal menarik yang terkadang hanya berawal dari satu orang, tetapi kemudian sudah menjadi trademark karena begitu luar biasanya respon orang yang meniru.

Kalau bicara komunitas blogger Indonesia, maka rasanya belum pas kalau belum menyebut milis id-Gmail yang juga biasa disebut Kampung Gajah. Bagaimana pun juga tokoh-tokoh di komunitas ini adalah sesepuh-sesepuh dunia blog Indonesia. Menariknya, milis yang tadinya hanya diperuntukkan untuk tempat permintaan orang-orang yang menginginkan undangan pembuatan akun di Gmail ini malah menjelma menjadi komunitas tempat bincang-bincang masalah IT, dan juga tentang dunia per-blog-an. Dari komunitas ini banyak muncul istilah-istilah jenaka seperti basbang (basi banget), dan Hi Roy! yang legendaris. Sampai-sampai mereka membuat Wiki id-Gmail, sebuah situs berpenampilan seperti Wikipedia dengan artikel hal-hal jenaka yang biasa didiskusikan oleh komunitas ini.

Selebihnya, ada komunitas blogger lain seperti Indonesian Muslim Blogger yang aktif juga dengan milisnya. Per 18 Agustus 2006, mereka memiliki anggota sebanyak 556 orang. Ada lagi Angkringan Jogja untuk orang Jogja. Untuk Bandung ada Bandung Blog Village, dan masih banyak lagi. Selain berbasis milis, banyak di antara mereka yang secara rutin mengadakan pertemuan. Isinya biasanya nggak cuma pertemuan silaturahmi biasa, tapi juga penuh dengan diskusi seputar tips-tips blog, fenomena blog, dan lainnya.

Lalu, siapa tokoh-tokoh utama alias public figure di dunia blog Indonesia? Mungkin orang akan beda-beda jawabannya, tapi tidak dalam menyebut 2 orang lulusan ITB ini: Priyadi Iman Nurcahyo dan Enda Nasution. Fenomena yang menarik akan kita jumpai kalau kita berkunjung ke priyadi.net milik Priyadi. Dalam setiap postingan Priyadi yang umumnya bernuansa gadget atau current issue, orang-orang akan berbondong-bondong mengisi kolom komentarnya. Bukan hanya berjumlah 2 digit; malah kadang-kadang mencapai 3 digit alias seratusan. Yang lebih mengherankan lagi adalah fakta bahwa mengisi komentar di priyadi.net sudah menjadi sebuah kebanggan tersendiri, apalagi kalau berhasil masuk urutan 10 besar. Maka nggak heran kalau kita menjumpai komentar-komentar seperti, “nomor 1 lagikah saya?” atau “baca belakangan, yg penting 15 besarrrr hihihi ;))”. Menarik sekali.

Ada lagi si artis dadakan Herman Saksono yang pernah sampai dipanggil dan diperiksa polisi karena membuat rekayasa foto Mayang dengan Bambang yang dicampuradukkan dengan foto SBY dan Roy Suryo.

Pernah Priyadi mengadakan semacam survey yang ia namakan Top 100 Blog Indonesia dengan bantuan Technorati pada 2005, dan di situ bisa kita lihat beberapa blog yang betul-betul populer, seperti priyadi.net sendiri di posisi 3, Blog Enda Nasution, Polisi EYD yang spesialis membahas perihal bahasa seperti di kolom Bahasa di Kompas Sabtu, Catatan Jay adalah Yulian, dan sebagainya.

Walaupun blog Indonesia yang populer banyak, tapi tokoh-tokohnya terbatas. Tokoh-tokoh inilah trend-setter di dunia blog. Mereka menciptakan trend, termasuk trend diskusi atau pembahasan—entah kata apa yang pas—tentang Roy Suryo. Roy Suryo? Ada apa dengan dia? Ya, menurut saya, di sinilah yang paling menarik. Menarik mengamati bagaimana arus informasi mengalir di dunia blog melawan informasi di media-media mapan non-blog seperti surat kabar dan TV.

Sudah sejak lama komunitas blog Indonesia mempermasalahkan ketidakpakaran seorang Roy Suryo yang sering didaulat media sebagai pakar telematika. Banyak pendapat-pendapat Roy Suryo yang ngasal, menurut komunitas blog. Terutama ketika dia diminta untuk meneliti kasus-kasus foto rekayasa artis, seperti foto Artika, foto Mayang, dan foto Bjah. Karena kecenderungannya untuk diminta terlibat dalam penelitian kasus-kasus seperti itulah, maka tokoh bergelar KRMT lulusan UGM ini sering dipelesetkan panggilannya menjadimaaf, pakar pornomatika.

Puncaknya adalah saat dalam wawancara Metro TV Roy Suryo menyebut bahwa 68% pemilik akun friendster adalah palsu. Langsung saja komunitas blogger ramai memperbincangkan angka sakti itu. Hebatnya, Priyadi mengambil inisiatif dengan menanyakan langsung ke administrator Friendster, yang dijawab dengan, “... and his comment about 68% of Friendster users being fake is categorically not true. We have never issued such statement to Mr.Suryo before.

Bisa jadi, sejak saat itulah muncul sapaan khas yang hanya dimengerti komunitas blogger Indonesia: Hi Roy! Terkadang, cara menuliskannya harus dengan lambang ™ menjadi Hi Roy! Ini adalah bentuk fast reply atau fast comment setiap kali ada pernyataan-pernyataan atau klaim-klaim Roy Suryo di media yang dinilai bombastis atau belum teruji kebenarannya.

Lebih menarik lagi, ada blog khusus yang mengamati Roy Suryo: Roy Suryo Watch. Tapi dalam dunia blog Indonesia, nggak semuanya bersikap demikian terhadap Roy Suryo. Ada segelintir orang yang masih tetap mendukungnya. Salah satunya dengan membuat tandingan Roy Suryo Watch, bernama Roy Suryo Watch-Watch!

Memang, 68% menarik.

Singapore,
Pagi buta, 19 Agustus 2006

oleh newbie di dunia blog

Beberapa catatan:
1. Ternyata Mas Priyadi bukan lulusan ITB seperti yang saya sebut di atas. Ini dinyatakan sendiri oleh Mas Priyadi di komennya di bawah.

2. Mengenai angka 68%, rupanya angka itu memiliki suatu makna khusus di dunia statistik. Silakan mengacu ke sini. Jadi, yang perlu dipermasalahkan bukan angka 68%-nya itu sendiri, tapi penggunaan angka itu oleh Roy Suryo yang nggak berdasar. Terima kasih Mas Tirta untuk masukannya.

Labels: ,

Wednesday, August 16, 2006

Siap Untuk Menulis?

Seringkali saat saya memerhatikan beberapa dosen saya di School of Electrical and Electronic Engineering, NTU, saya jadi suka bertanya-tanya sendiri. Soalnya, banyak hal-hal yang menarik untuk diamati.

Contohnya, saya membandingkan dosen berinisial SR dengan TKC. Yang pertama adalah orang India yang berperawakan agak gempal, mengajar beberapa kelas tutorial. Sedangkan yang kedua orang lokal. Dari wajahnya, kita bisa tahu kalau TKC masih agak muda untuk memiliki gelar Associate Professor di depan namanya. Mungkin masih pertengahan 30-an usianya. Tapi TKC sudah menjadi salah satu pengajar utama di mata kuliah Signal and System. Bandingkan dengan SR yang kira-kira sudah di pertengahan 40-an. Sampai sekarang SR masih bertitel Assistant Professor.

Pertanyaannya, apa yang membedakan keduanya sehingga yang satu karirnya bisa lebih mulus dibandingkan yang lainnya?

Ada lagi sebuah pemikiran saya yang cukup mengganggu. Selalu sehabis exam, banyak anak NTU—bahkan mayoritasnya—lupa total, atau sengaja menghapus memori tentang rumus-rumus, teknik pengerjaan soal di mata kuliah itu. Sehingga, saat memulai lagi kuliah di semester berikutnya untuk mata kuliah yang masih berhubungan, nggak sedikit waktu yang dikonsumsi sekadar untuk mengulang bahasan semester kemarin. Saya sendiri termasuk yang mengalaminya, tentu saja. Lalu, mengapa bisa seperti itu?

Kagetkah Anda, kalau saya katakan bahwa jawaban kedua pertanyaan tersebut ada kaitannya dengan kebiasaan menulis? Memang, ini hanya pemikiran saya, tapi saya yakin bahwa kebiasaan menulis mempunyai efek yang luar biasa—membuat seseorang cepat dipromosikan menjadi Profesor, dan membuat orang susah lupa akan suatu hal yang dipelajarinya.

Ada setidaknya dua sikap positif yang timbul dari kebiasaan menulis. Yang pertama, sikap “pemaksaan diri” untuk membaca. Mengapa banyak orang yang bilang kalau menulis itu merupakan dimensi pembelajaran yang satu tingkat lebih tinggi dari membaca? Saya pikir, alasannya sederhana: karena dengan menulis, kita juga membaca. Karena kita menulis, kita butuh referensi. Jadinya, kita membaca juga. Dari hanya meniatkan satu aktivitas, kita mendapatkan 2 aktivitas.

Yang lebih istimewa lagi, dengan menulis, sama saja dengan memuseumkan ilmu kita. Seperti memasukkan ilmu-ilmu ke tempat-tempat yang sesuai, membuatnya rapi, dan mempersilakan orang lain untuk melihat koleksi ilmu kita. Tentunya hal ini jauh lebih baik dari sekadar membaca.

Sikap yang kedua adalah seperti yang ditunjukkan Romi Satria Wahono. Pendiri ilmukomputer.com yang menghabiskan S1 sampai S3-nya di Jepang ini dulu ketika kuliah mengaku punya penyakit “rakus ilmu”. Gejalanya adalah suka mengambil mata kuliah jurusan lain. Bahkan, di tahun keempat, beliau sampai ditegur Profesornya agar nggak overdosis SKS. Akhir cerita, secara menakjubkan beliau lulus dengan jumlah SKS 170 dari hanya 118 yang disyaratkan. Dalam blognya, Romi Satria Wahono menyatakan, “Saya suka membaca dan belajar bidang apa pun yang belum saya kuasai... Dan secara tidak sadar, orientasi dalam belajar adalah untuk mengajarkannya kepada orang lain. Begitu membaca sebuah buku, saya selalu berorientasi bagaimana saya membuat penjelasan yang lebih mudah untuk saya sampaikan ke orang lain.”

Inilah sikap kedua yang saya maksudkan: berorientasi menyampaikan. Bahwa setiap kata di buku yang dibaca, setiap ucapan dosen di ruang kuliah, semuanya dipersepsi oleh Romi Satria Wahono demikian. Dalam pikirannya, “gimana ya, biar ucapan dosen ini enak disampaikan ke orang lain?” Luar biasa. Ini sekaligus sebagai jawaban dari pertanyaan kedua yang saya ajukan di awal tulisan ini. Seandainya saja kita belajar dengan persepsi seperti itu, tentunya akan lebih lengket.

Dan, saya percaya bahwa menciptakan kebiasaan menulis adalah salah satu cara menuju cara berpikir seperti itu—belajar untuk disampaikan ke orang lain. Dengan menulis, kita terbiasa menyampaikan. Nggak hanya membaca—yang terkadang nggak ada kelanjutannya kecuali hanya menimbun ilmu. Dan kalau kita bisa menyebut orang yang menimbun beras atau sembako sebagai orang yang egois, maka orang yang hanya menimbun ilmunya pun bisa jadi berhak mendapat sebutan yang sama: egois.

Ya, 2 sikap inilah yang bisa jadi membedakan kecepatan promosi Profesor yang satu dengan yang lainnya. Karena menurut Wikipedia, ada 4 hal yang bisa mempercepat promosi seorang Profesor: mengajar, penelitian, pelayanan masyarakat, dan pelatihan mahasiswa-mahasiswa pasca sarjana. Secara spesifik, bahasan layak tidaknya seseorang dipromosikan sebagai Profesor tergantung pada banyaknya publikasi ilmiah dan patennya. Makanya di NTU ada orang seperti Goh Wang Ling yang masih tampak muda, tapi sudah Associate Professor. Hal ini nggak mengherankan kalau kita lihat CV-nya. Satu buku, 14 paten, dan lebih dari 60 paper adalah buah karyanya.

Bagaimana kebiasaan menulis di Indonesia? Dalam pengamatan saya yang paling sederhana, rasanya kebiasaan menulis kita masih sangat kurang. Lihat saja milis-milis yang kita ikuti. Apakah posting-posting dari membernya lebih banyak tulisan sendiri atau hasil forward dari milis tetangga? Tentu kita lebih tahu.

Ada tulisan yang menarik dari Brian Yuliarto, Doktor lulusan Jepang, yang membahas tentang fenomena publikasi paper di seluruh dunia. Pada negara-negara maju, paper ilmiah yang dipublikasikan di jurnal-jurnal internasional merupakan salah satu parameter penting untuk mengukur kualitas penelitianselain tentunya parameter dunia tulis-menulis di tingkat yang lebih tinggi. Dan bagaimana peta persebaran paper-paper di dunia? Majalah Nature 21 Juli 2005 memuat bahwa 25% paper yang terbit di seluruh dunia pada 2004 berasal dari Asia, sedangkan Eropa 38%, dan Amerika 33%. Angka 25% yang ditunjukkan Asia menjadi sangat fenomenal karena kenaikannya yang luar biasa. Faktanya, pada tahun 1990, Asia hanya menerbitkan 16% publikasi paper.

Indonesia? Bisa ditebak. Indonesia pada 2004 hanya menerbitkan 522 paper ilmiah. Dengan angka ini, Indonesia duduk manis di peringkat 4 negara se-Asia Tenggara. Singapore ada di nomor satu dengan 5781 paper, Thailand 2397 paper, dan Malaysia 1438 paper. Sekadar gambaran, Jepang pada 2004 mempublikasikan 83484 paper.

Jadi, siapkah kita untuk menjadi Profesor lebih cepat? (baca: siapkah kita untuk menulis?—pen)

Singapore,
Selasa malam, 15 Agustus 2006
yang juga sedang belajar menulis secara rutin

Labels:

Thursday, August 10, 2006

41 Tahun Singapore, 61 Tahun Indonesia

Sudah menjadi kebiasaan orang Singapore untuk merayakan National Day-nya dengan pertunjukan kembang api—termasuk di tahun 2006 ini, saat Singapore berumur 41 tahun. Flat-flat dan institusi pemerintah mengibarkan bendera-bendera; restoran-restoran menawarkan paket-paket murah; pemerintah memeriahkan seluruh Singapore dengan logo-logo “Our global city, our home,” tema National Day tahun ini; surat kabar-surat kabar membuat suplemen khusus; ada pesta kembang api di malam harinya; dan puncaknya National Day Parade yang tahun ini diselenggarakan di National Stadium Kallang. Itu saja—nggak lebih. Hari setelahnya sama dengan hari-hari biasa.

Masih seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap National Day pada 9 Agustus, orang Singapore nggak bosan-bosannya membahas hal yang sama. Sederhana saja. Coba buka lembar-lembar surat kabar pada 9 Agustus, dan Anda akan mengerti maksud saya. Dari 164 halaman The Straits Times misalnya, bahasannya nggak jauh-jauh dari “what makes Singaporean so Singaporean?” atau tentang bahasan “kapan sebaiknya memakai Singlish dan kapan memakai bahasa Inggris yang baik?” atau “apa yang paling pantas disebut sebagai ikon Singapore?” Untuk topik yang terakhir, tahun lalu saja bahasan itu memenuhi lembar-lembar surat kabar Today. Orang Singapore akan menyebut salah satu atau beberapa dari daftar berikut: Merlion, Esplanade, Hawker Centre, dan Singlish.

Sangat kontras ketika saya membuka halaman web KOMPAS atau Detikcom. Headline beritanya jauh dari mengundang senyum orang yang membacanya—begitu juga judul-judul berita yang mengiringinya. Di Detikcom tanggal 10 Agustus ada “Pungli di MA Masuk Kategori Korupsi.” Masih di halaman web yang sama, ada “Polisi Gerebek Gudang Penimbunan Pupuk Ilegal di Sumut.” Di KOMPAS pun sama saja: “4 Lintasan KA Surabaya-Malang Terancam Lumpur Panas”, dan masih banyak lagi.

Saya yakin, sampai dengan 17 Agustus pun berita-berita ini masih akan memenuhi surat kabar-surat kabar nasional. Bahasan surat kabar tertanggal 17 Agustus pekan depan pun bisa jadi nggak jauh-jauh dari refleksi. Intinya mengevaluasi kembali perbandingan umur bangsa Indonesia yang sudah 61 tahun dengan hasil pembangunan yang nampak secara kasat mata. Akhirnya, surat kabar nggak akan jauh-jauh dari memenuhi artikelnya dengan bahasan yang mempertanyakan sejauh mana efektivitas pemberantasan korupsi, efektivitas kerja kabinet SBY, kebenaran dari reformasi yang setengah hati, dan nostalgia kejayaan masa silam yang sebenarnya kelabu walau tak nampak.

Alih-alih memikirkan bagaimana berbahasa Indonesia yang benar atau memikirkan ikon Indonesia yang paling Indonesia, bangsa Indonesia masih disibukkan dengan bahasan seputar korupsi, kasus lumpur panas Sidoarjo, rencana pemadaman listrik bergilir di beberapa daerah, penanganan daerah tertinggal seperti Yahukimo, dan lainnya. Makanya teman saya selalu bilang, “koran Singapore itu nggak ada isinya.” Benar, walaupun tebal sampai seratusan halaman, tetap nggak menarik. Soalnya mereka lebih sibuk membahas hal-hal yang remeh. Bukan karena nggak mau membahas hal serius—tapi lebih karena nggak ada yang bisa dibahas. Menyedihkan. Entah siapa yang menyedihkan.

Apakah ini bukti bahwa Indonesia dan Singapore sejatinya berada di dunia yang berbeda?

Tanggal 8 Agustus malam kemarin, Lee Hsien Loong memberikan pidato tahunannya sebagai perdana menteri. Isinya biasa saja bagi orang Singapore, tapi agak “menyayat” atau bisa juga membuat semangat—tergantung orang Indonesia yang bagaimana yang mendengar. Ia memulai dengan menyebut bahwa di semester pertama di tahun ini, pertumbuhan ekonomi Singapore mencapai angka 9,4 persen. Sekadar catatan, pertumbuhan ekonomi Indonesia baru diprediksi untuk bisa mencapai 5,4 persen pada tahun depan. Ekonomi yang kuat telah berhasil menciptakan 81500 lapangan pekerjaan di semester pertama—tertinggi dalam 10 tahun terakhir, lanjutnya. Ia kemudian melanjutkan pidatonya dengan menyebut beberapa tantangan yang dihadapi Singapore ke depan, dan harapan-harapan serta pesan-pesannya buat bangsa Singapore.

Sebegitu berbedanyakah Indonesia dengan Singapore? Saya pikir tidak. Ada beberapa hal yang masih bisa membuat saya bangga memiliki paspor Indonesia.

Pertama, karena orang Singapore itu lebih apatis dibandingkan orang Indonesia—setidaknya menurut pengamatan saya. NTU SU (Students’ Union) pada 2 Maret 2006 lalu mengadakan dialogue session, sebuah acara yang dimaksudkan sebagai sebuah platform penyampaian aspirasi mahasiswa NTU, terutama mengenai kasus kenaikan uang sekolah yang tiba-tiba dan tanpa melibatkan mahasiswa. Itu adalah topik yang sangat hangat saat itu. Tapi percayakah Anda, bahwa sebuah acara seperti itu hanya dihadiri oleh tak lebih dari 15 orang? Coba ceritakan ini ke teman-teman kita di UI atau ITB dan mereka tentu akan tertawa. “NTU is pathetic. The dialogue session is pathetic. There is nobody around,” kata seorang peserta yang hadir, dikutip oleh Nanyang Chronicle.

Courtesy of Nanyang Chronicle

Sudah menjadi rahasia umum bahwa orang Singapore itu apatis. Salah satunya dalam hal politik. Banyak orang Singapore yang secara terang-terangan mengaku bahwa mereka politically apathetic, atau politically illiterate. Tapi bagi mereka, itu suatu hal yang wajar saat mereka bisa menjumpai sistem pendidikan, transportasi, pelayanan umum dan lainnya berjalan baik. “Mind your own business, lah,” kata mereka.

Yang kedua, rasa kebersamaan sebagai bangsa lebih dimiliki orang Indonesia. Januari 2005 lalu saya berkesempatan menonton langsung pertandingan final Piala Tiger antara Indonesia dan Singapore di National Stadium Kallang. Pertandingan itu sendiri bekesudahan 1-2 untuk keunggulan tuan rumah. Ratusan suporter Indonesia yang hadir pada saat itu menjadi saksi betapa menyedihkannya suporter Singapore. Kami yang hanya dijatahi satu bagian tribun kecil di pojok yang kapasitasnya tak lebih dari satu per dua puluh bagian stadion bisa menyanyi Indonesia Raya dengan lebih lantang dan kompak. Saat giliran suporter Singapore untuk bernyanyi, hanya gumaman dan dengungan nggak jelas saja yang terdengar dari segala penjuru stadion. Ya, mereka nggak hapal lagu mereka sendiri.

Begitu pun mengenai inisiatif. Suporter Indonesia lah yang pertama kali berinisiatif membuat gerakan ombak khas suporter sepakbola. Baru setelahnya suporter Singapore ikutan.

Memang tulisan ini terlalu sederhana untuk bisa dijadikan rujukan perbandingan 2 negara yang bertetangga itu. Mungkin juga tidak tepat saya men-generalisasi karakter sebuah bangsa hanya dari segelintir kisah. Tapi bagi saya, orang Indonesia lebih memiliki karakter-karakter dasar sebuah bangsa yang besar. Ya, jangan sampai usia kita yang 20 tahun lebih tua menjadi tak ada maknanya.

Sebuah kado untuk republik yang akan berusia 61 tahun
Singapore, 10 Agustus 2006

Labels: ,

Tuesday, August 08, 2006

Pembodohan Terselubung

“Ok, ada pertanyaan?” seorang guru bertanya kepada 40-an anak SMA di sebuah kelas setelah menjelaskan sebuah konsep. Tetapi pertanyaan itu hanya dibalas hening. Alih-alih buka mulut untuk bicara, yang angkat tangan saja nggak ada.

Maka biasanya, untuk mengaktifkan suasana, sang guru akan melanjutkan, “kalau nggak ada, Bapak yang nanya ya.” Sedihnya, sekarang semua berusaha menutup wajahnya. Entah dengan buku, atau bersembunyi di balik punggung temannya. Atau minimal memalingkan pandangan agar tak bertatapan mata dengan sang guru. Agak menyedihkan, memang. Apalagi kalau mengingat bahwa pemandangan seperti ini nggak cuma di beberapa sekolah, tapi di hampir semua sekolah di Indonesia.

Tadinya saya berpikir bahwa fenomena itu cuma di Indonesia. Jadi, orang Indonesia yang dibesarkan—atau minimal belajar—di luar negeri, bisa jadi kebiasannya beda; begitu pikiran saya dulu. Tapi menurut apa yang saya dengar, ternyata tingkah laku mahasiswa Indonesia di Amerika pun sebenarnya nggak ada bedanya. Kalah aktif dengan mahasiswa-mahasiswa lainnya. Memang, secara akademis mahasiswa Indonesia cukup bersaing.

Di NTU, Singapore pun setali tiga uang. Setelah selesai kuliah, biasanya dosen akan dikerubuti mahasiswa-mahasiswa yang ingin bertanya. Sayangnya, orang India atau Cina yang lebih sering seperti itu. Orang Indonesia kebanyakan sudah cukup senang dengan duduk agak di tengah di ruang kuliah, ikut kuliah, dan dapat nilai bagus di ujian.

Mengapa bisa seperti itu?

Padahal, rasanya semua orang ketika kecil punya rasa ingin tahu yang luar biasa, sampai-sampai orang tua biasanya kewalahan untuk meladeni. Apa-apa akan ditanya. Ini namanya apa? Itu apa? Mengapa ini begini? Kapan itu bisa begitu? Dan masih banyak lagi. Jangan dihitung jumlah pertanyaan anak kecil yang beranjak 3 atau 4 tahun bila diajak pergi ke suatu tempat yang baru baginya. Tentunya akan menjadi rentetan yang panjang.

Terkadang, pertanyaan-pertanyaan yang muncul bisa sangat cerdas. Cerdas karena sederhana, pikirannya masih belum kompleks. Karena sederhana, makanya bisa menjadi sumber inspirasi bagi orang dewasa: “iya ya. Kenapa baru kepikir sekarang.” Ada anak kecil usia 5 tahun yang saat diajari cara menggunakan telepon rumah, dia bertanya, “kalau kita telepon nomor kita sendiri, bisa nggak?” Pertanyaan yang cukup kreatif, saya pikir. Bandingkan dengan kita. Sudah berapa tahun kita punya ponsel, pernahkah terlintas di pikiran kita tentang pertanyaan seperti itu? Ya, kalau begitu, silakan dicoba sekarang. Atau cobalah SMS ke nomor kita sendiri, dan lihat apa yang terjadi.

Banyak bertanya, banyak mencoba, dan tidak takut gagal. Itulah 3 hal yang menjadi modal utama kita dari kecil. Dengan attitude seperti itu, maka kita nggak perlu heran dengan hasil penelitian George Hartmann dari Columbia University. Menurutnya, orang dewasa normal hanya bisa menambah perbendaharaan kosakata sebesar 50 kata per tahun. Bandingkan dengan kecepatan anak usia 6 sampai 10 tahun yang bisa menguasai 5000 kosakata tiap tahunnya. Masih menurutnya pula, perbendaharaan kosakata orang dewasa normal adalah 50000 kata. Dan angka itu hanya sekitar satu setengah kali lebih besar dibandingkan kosakata anak usia 10 tahun. Lalu, mengapa demikian?

Jangan salah, yang punya andil besar memangkas sikap belajar yang efisien tersebut bisa jadi adalah kita, orang dewasa. Mari kita lihat 2 adegan berikut:

Di suatu sore di hari Sabtu, seorang anak usia 5 tahun tiba-tiba berpikir, kalau kacang merah warna merah dan kacang hijau warna hijau, mengapa kacang kedelai beda sendiri ya? Kayaknya ada yang istimewa dengan kacang kedelai deh. Akhirnya ia mendekati bapaknya yang sedang sibuk dengan korannya. Bapaknya sempat meladeni untuk mendengarkan pertanyaan dari anaknya itu, tapi yang keluar dari mulutnya hanya “tanya ibu aja ya. Bapak lagi baca koran, nih.”

Akhirnya, si anak mencari ibunya yang kebetulan sedang menyiapkan makan malam di dapur. Pertanyaan serupa, dan jawabannya hampir sama: “tanya bapak aja ya. Bapak lebih ngerti kok.”

Akhirnya sang anak belajar suatu pelajaran berharga, “lebih baik mencari tahu sendiri daripada bertanya pada orang.”

Berikutnya, pengalaman saya sendiri di SMP. Saya bertanya pada guru Biologi, “Pak, kalau ada osmosis dan difusi; yang satu dari konsentrasi rendah ke tinggi dan yang satu kebalikannya, kenapa nggak terjadi keseimbangan, Pak?”

Guru Biologi menjelaskan, saya tambah bingung. Saya masih berbaik sangka dengan menganggap bahwa beliau hanya kurang bagus dalam menyampaikan ide-idenya. Tapi saya terlanjur mendapatkan pelajaran “oh, mereka pun nggak tahu. Berarti nggak ada gunanya nanya.”

Seringkali, orang dewasa—termasuk kita—terlalu malu untuk berujar, “saya nggak tahu.” Ini salah satu masalah. Padahal mengucapkan kalimat itu bukan berarti akhir dari segalanya. Kita masih bisa melanjutkannya dengan “saya cari di buku dulu ya. Insya Allah saya jawab besok,” atau cara lainnya.

Saya pernah mengikuti seminar psikologi di Fakultas Psikologi UI, tahun 2003 lalu. Fenomena ini disebut oleh salah seorang narasumber saat itu. Dan, menanggapi angka-angka hasil penelitian George Hartmann yang menarik itu, salah seorang narasumber mengatakan bahwa ada yang salah dengan pendidikan kita. “Pendidikan kita membuat bodoh.” Di mana salahnya? Saya juga nggak tahu.

Akhirnya, mayoritas orang yang baca tulisan ini bahkan nggak berusaha untuk mencoba saran saya sebelumnya tentang ponsel. Memang, kita ini lebih bodoh dari anak kecil.

Singapore,
Selasa pagi, 8 Agustus 2006

Labels:

Friday, August 04, 2006

Dr. Sehat Sutardja: My Passion is in Analog

Siapa pun pasti tahu bahwa nama Sehat Sutardja adalah nama Indonesia. Malah, khas Indonesia, saya pikir. Tapi jika kita cari di mesin pencari seperti Google, maka nama Sehat Sutardja itu akan selalu bersanding dengan nama Marvell, perusahaan MNC semiconductor papan atas. Memang, Sehat Sutardja adalah CEO (Presdir) sekaligus pendiri Marvell, dan orang inilah yang diundang oleh School of Electrical and Electronic Engineering NTU, Kamis kemarin 3 Agustus 2006 untuk sebuah acara talk.

Kesan yang pertama saya dapatkan dari beliau adalah penampilannya. Agak kasual—atau lebih dekat ke nyentrik, malah. Sama sekali jauh dari bayangan setiap orang yang memikirkan penampilan seorang ilmuwan berkelas merangkap CEO perusahaan yang tentunya berjas rapi, elegan. Tapi, penampilan beliau kemarin sungguh eye-catching. Memakai atasan batik yang 2 kancing teratasnya dibiarkan terbuka dan bawahan jeans hitam, siapa pun nggak akan menyangka bahwa orang yang sedang bicara di depan lecture theatre itu adalah pemilik 65 paten. Sepatunya pun seperti sepatu anak muda; sepatu futsal dasar putih dengan garis merahnya yang melintang di bagian atasnya.

Tapi bagaimana pun juga beliau adalah CEO Marvell. Sebuah perusahaan fabless semiconductor yang paling dipercaya publik pada 2005. Marvell sendiri baru berdiri pada 1995. Saat itu hanya 3 orang yang memulai. Dikisahkan bahwa saat itu—saat belum punya reputasi apa-apa—sangat sulit untuk bisa merekrut orang untuk terlibat dalam perusahaan. “’Who are you in this semiconductor industry, anyway?’ kata teman-teman kuliah saya saat pertama saya ajak,” tutur Pak Sehat. Tapi sekarang, Marvell mendapat anugerah sebagai one of the best managed company in America dan nomor 1 di semiconductor company top ten list berdasarkan pendapatan tahunan dalam 5 tahun. Itu adalah hasil survey Forbes.

Kemudian Pak Sehat cerita tentang masa kecilnya. Saat itu kelas 6 SD saat beliau secara kebetulan melihat buku Fisika milik saudaranya. Di dalamnya kebetulan ada bahasan tentang listrik, rangkaian, dan sebagainya. “Sejak saat itu, saya langsung tertarik sama elektronika,” kata beliau. “Uang saku saya saat itu saya pakai beli resistor, kapasitor. Dan selanjutnya saya sudah bongkar-bongkar radio dan lainnya. Then I realized that my passion is in analog

Pak Sehat besar di Jakarta sampai SMA sebelum kemudian menghabiskan waktu yang panjang di University of California, Berkeley di Amerika. S1 sampai S3 beliau di sana. Ya, setelahnya bisa ditebak. Memang sempat kerja dulu di sebuah perusahaan selama 6 tahun sebelum memutuskan untuk memulai perusahaan. Di tahun 2006 ini, penghargaan Inventor of the Year dari Silicon Valley Intellectual Property Law Association berhasil diklaim olehnya. Bukan penghargaan sembarangan, tentu saja.

Engineer sejati, saya pikir. Kuliah, Doktor, punya banyak penemuan, tapi nggak berakhir menjadi sekadar karyawan. Membisniskan temuannya, membuat perusahaan, mempekerjakan 3400 karyawan. Walaupun seorang CEO, tapi jiwanya masih jiwa engineer. Di talk itu, beliau sempat menunjukkan grafik quarterly income Marvell di presentasinya. Secara jenaka, beliau bilang, “But don’t ask me how to read those figures, OK. Because I’m not the one who made those graphs.” Langsung saja tawa hadirin meledak.

Lagi-lagi kita menemukan orang Indonesia yang sukses di luar negeri. Kali ini di Amerika. Selama talk, saya mencoba mencari tahu, kira-kira apa tips seorang Sehat Sutardja untuk bisa sukses sampai punya perusahaan besar seperti itu. Tapi saya sadar, ternyata itu-itu saja, nggak ada yang beda. Dan saya menjadi yakin, bahwa nggak ada yang baru dari rahasia kesuksesan orang dari zaman dulu sampai sekarang—atau sampai kapan pun. The same old trick.

Hal pertama yang berhasil saya tangkap adalah “do what you like to do”. Kalimat itu setidaknya keluar 3 kali dari mulut Sehat Sutardja saat talk kemarin. Memang itu yang beliau alami sendiri sejak kecil, di mana kegemarannya sejak kecil nggak jauh-jauh dari elektronika. Maka sampai kuliah pun beliau mendalami itu. Disertasi Doktoralnya pun penelitiannya di bidang analog electronics. “My passion is in analog,” itu yang beliau bilang sejak awal.

Rasanya agak mirip dengan Hermawan Kartajaya yang menemukan dunianya di marketing. Padahal dulu beliau alumni Teknik Elektro ITS. Tapi karena merasa jenuh kuliah di elektro, akhirnya pindah haluan ke ekonomi, dan sukses menjadi ikon marketing.

Yang kedua, tentunya kerja keras. Resep lama. Omongannya yang menarik adalah, “bahkan seorang pemain basket pun butuh latihan rutin—sebutlah 6 jam sehari. Saya pikir itu sangat membosankan. Makanya saya bukan seorang pemain basket sekarang. Tapi kalau menghabiskan 6 jam sehari di lab untuk mendesain IC, itu sangat menarik buat saya. Makanya sekarang saya jadi seperti ini.”

Yang ketiga, “to give your best,“ katanya. Marvell mengaku nggak pernah setengah-setengah dalam berkreasi. “Kami selalu menuntaskan pekerjaan. Selalu mendesain yang terbaik, dengan kualitas terbaik. Anda bisa lihat, kami nggak akan pernah mau berbisnis dengan perusahaan-perusahaan kelas dua,” ujarnya sambil menunjukkan daftar partner Marvell di presentasinya, seperti Asus, Cisco, Fujitsu, Ericsson, Hitachi, Panasonic, Lucent Technologies, Gigabyte Technology, dan masih banyak lagi. “Karena hanya perusahaan kelas satu yang menilai tinggi kualitas yang kami tawarkan,” lanjutnya.

Singapore,
Jumat siang, 4 Agustus 2006

Labels: