Delicate, Delightful, Delicious
~A Blog

Thursday, January 18, 2007

Keretaku, Keretamu, Kereta Kita

Pertama kali saya mencoba naik KRL (Kereta Rel Listrik) ekonomi Jakarta-Bogor adalah saat SMA kelas 1, tahun 2001. Dan sejak saat itu, secara berkala saya sering memanfaatkan jasa KRL untuk banyak kegiatan.

Bagi saya, KRL adalah sumber inspirasi. Banyak sekali yang bisa ditulis bagi penulis; banyak sekali yang bisa difoto bagi fotografer; atau hal-hal yang bisa diamati, diambil pelajaran bagi orang-orang yang suka mengamati dan atau sedang suntuk. Mungkin juga bisa jadi bahan makalah atau skripsi untuk orang-orang di bidang Psikologi, Sosiologi, Antropologi, atau bidang lain. Jangan kaget kalau saya sebut bahwa ada alumni Planologi ITB yang melanjutkan studinya di bidang per-KRL-an dan meraih gelar MSc (Master of Stasiun and Cereta) lewat tulisan-tulisannya (tentu saja ini nggak serius—pen).

Lebih jauh, sebenarnya KRL dan orang-orang yang ada di dalamnya adalah realitas kondisi Indonesia; atau bisa dibilang cerminnya. Karena hampir semua jenis orang dengan segala kasta ekonomi, dari yang paling rendah sampai menengah yang berkontribusi pada sebagian besar persentase penduduk Indonesia bisa kita jumpai di kereta. Ya, mulai dari orang Cilebut yang sekolah di Depok, orang Depok yang kerja di bilangan Gondangdia, pekerja kantoran, guru SD, sampai segala macam pedagang, segala macam pengemis, dan segala macam copet. Alasannya sederhana: karena hanya dengan uang senilai nasi bungkus dengan lauk tempe orek, semua orang sudah bisa menjelajah dari Bogor sampai ujung Jakarta.

Tapi memang naik kereta, kemudian mengamati sekeliling sambil menemukan hal-hal yang unik itu cukup mengasyikkan; dengan catatan bahwa kereta yang Anda naiki bukan kereta Bogor-Jakarta jam 6 pagi atau kereta Jakarta-Bogor jam 5 sore. Awan Diga sampai mengeluarkan angka 12 jiwa/m2—sebuah angka kepadatan maksimal di KRL pada jam-jam sibuk hasil estimasinya. Saat seperti itu, menurutnya, buat bernapas pun susah. Satu jam di dalam kereta seperti itu dalam perjalanan pulang Anda ke rumah akan membuat Anda basah kuyup. Kemeja yang berwarna coklat muda akan menjadi coklat tua—persis seperti ketika basah kuyup karena hujan deras. Bedanya, ini basah karena keringat. Jangan bayangkan keringat sendiri saja. Karena sebagian besar yang menempel justru keringat orang lain. Waduh.

Salah satu yang menarik diamati adalah pedagang. Tapi dari dulu sampai sekarang, penjual tahu Sumedang, minuman, koran, dan aksesoris-aksesoris tetap ada dan punya pasarnya sendiri di kereta. Terkadang suka juga muncul pedagang salak, mangga, bikang, buku gambar, majalah tertentu, pulpen, tissue, mainan anak-anak, dan banyak lagi. Pokoknya dari yang paling masuk akal sampai yang paling mustahil. Dan pedagang-pedagang ini punya cara-cara khusus buat menarik perhatian pembeli. Dulu pernah saya mendengar pedagang minuman yang berteriak berirama, “Panta, Seprit, Prutang, (Fanta, Sprite, Frutang—pen) yang nggak punya duit boleh ngutang.” Atau ada juga tukang tahu, “tahu, tahu ... beli tahu gratis cabe.” Yang seperti ini biasanya jadi hiburan di sela-sela kesuntukan dan kesumpekan suasana kereta.

Kalau pengamen lain lagi. Memang, yang asal-asalan dengan modal gelas plastik air mineral yang diisi pasir, seperti yang kita jumpai di bis kota juga ada. Tapi yang biasanya banyak ditunggu-tunggu itu sekelompok orang, sekitar 4 atau 5 orang, yang lumayan “modal”. Biasanya ada 2 gitar, satu “drum-drum-an” (ada tambur dan satu simbal), satu bass, dan bisa juga ditambah satu keyboard.

Pernah ada orang Jepang yang terkaget-kaget melihat KRL yang lewat di depan dia. Melihat orang-orang yang gelantungan di pintu, ia berkomentar, “pintunya terbuka! Apa itu nggak bahaya?” Wah, belum tahu dia. Mungkin begitu tahu kalau ada pedagang dan pengemis di dalamnya, lebih kaget lagi dia.

Nggak heran orang Jepang kaget. Mungkin dalam bayangan dia, yang disebut kereta ya minimal seperti kereta Yamanote Line di Tokyo atau seperti MRT di Singapore. Barangkali orang India yang masih bisa menghargai kondisi KRL kita.

Saat ini armada KRL Jakarta-Bogor ada 3 macam, semuanya hibah. Ada yang buatan Jepang tahun 1983/1984, buatan Belanda-Belgia tahun 1996, dan buatan Jepang tahun 1986/1887. Saat pertama kali didatangkan dari Jepang, kereta-kereta itu masih sebagus kereta ekspres Pakuan. Tapi saat ini, armada KRL ekonomi—semuanya—sudah seperti kaleng bekas dalam arti sebenarnya. Saya sendiri pun kalau melihatnya lewat, suka bertanya-tanya sendiri, “kok barang kayak begini bisa jalan ya?” Anda bisa bayangkan; pintu hilang, lantai ada yang berlubang, debu sudah berlapis-lapis, tembok dan atap kumuh penuh coretan, kursi juga nggak terawat, badan luarnya juga penyok dan penuh coretan, kipas angin dan lampu kadang nggak nyala, beberapa batangan besi juga hilang. Belum kalau kita bicara tentang sampahnya.

Terakhir, bulan Desember lalu saya menyempatkan diri naik KRL lagi untuk ke rumah teman di bilangan Cawang. Saya perhatikan dengan seksama. Lihat kiri, kanan, depan, belakang. Saya amati orang-orang yang ada. Tukang tahu masih ada. Anak kecil dengan sapu lidinya yang menyapu sambil mengemis pun masih ada. Depok-Bogor masih Rp 2500. Coretan-coretan itu masih ada. Kekumuhan itu masih jelas terasa. Bedanya, dulu 2001, dan sekarang sudah 2007.

Walaupun begitu, KRL ini adalah tulang punggung bagi banyak orang. Di dalamnya telah lahir cerita-cerita lucu, unik, aneh, mengharukan. Awan Diga dalam tulisannya mengisahkan cerita-cerita mengharukan komunitas kereta. Ada yang saling berbagi makanan dan minuman saat buka puasa di Bulan Ramadhan, misalnya. Padahal bukan satu keluarga, bukan kenalan; hanya punya satu hubungan: "hubungan perkeringatan".

Yang ingin saya sampaikan adalah: kalau Anda tinggal di Jabotabek dan belum pernah naik KRL, maka sayang sekali. Karena KRL adalah cermin bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Kalau ada turis yang bertanya, “Indonesia itu gimana sih?”, maka salah besar kalau Anda membawanya ke Bali, Ancol, Citos (Cilandak Town Square), atau Pondok Indah. Ajaklah dia naik KRL—atau minimal melihatnya.


Singapore,
Kamis malam, 11 Januari 2007

(disunting pada 18 Januari 2007)


Bahan bacaan:
Coba baca tulisan-tulisan Awan Diga Aristo, MSc di sini. Tulisannya bahkan bersambung sampai 13 episode. Saya merekomendasikan tulisan episode 3 dan episode 7 kalau Anda nggak sampat baca semuanya.
Lalu, yang ini HARUS dibaca. Anda nggak apa-apa kalau setelahnya nggak berkunjung ke blog ini lagi, tapi tulisan ini HARUS dibaca.

KRL di Wikipedia

Sumber foto KRL: Anang's Photos

Labels:

Wednesday, January 03, 2007

7 Sapi dan 69 Kambing

7 sapi dan 69 kambing. Angka yang sangat melimpah sebagai jumlah sumbangan hewan kurban di sebuah kompleks perumahan di Depok, menurut saya. Dan memang dugaan saya nggak terlalu meleset. Saat membantu meracik daging-daging kurban di masjid kompleks, saya melihat sendiri orang-orang yang datang mengambil jatah daging mereka. Ada yang gelangnya terpasang banyak di lengannya. Ada yang datang dengan sepeda motor.

Kompleks perumahan saya di Depok termasuk perumahan yang isinya orang-orang yang cukup mapan secara ekonomi. Meski begitu, perumahan itu dikelilingi perkampungan. Jadi, setiap tahun setiap Idul Adha, orang-orang yang dibagikan daging sapi dan kambing adalah orang-orang di kampung sekitar itu.

Hanya saja, yang saya lihat adalah salah satu fenomena overstock daging kurban. Panitia pun dalam kasus seperti ini biasanya kebingungan untuk membagikan, terutama karena proporsi jumlah daging lebih banyak dibanding jumlah penerimanya. Wah.

Ya, akhirnya kondisi seperti ini yang terjadi di kompleks perumahan saya. Bayangkan saja kalau satu kambing hanya dibagi menjadi 8 kupon. Lalu, mau disebut apa lagi kasus seperti ini selain overstock, atau distribusi yang memang kurang tepat sasaran. Yang saya lihat, pada akhirnya orang-orang membawa pulang bungkusan-bungkusan yang bisa disebut sebongkah, bukan sekerat atau segenggaman—sampai kira-kira 2 kg masing-masing. Itu pun sudah diminta beberapa puluh bungkus buat disebar di beberapa panti asuhan dan masjid lain di Depok.

Memang, kalau saya melihat Depok, bahkan di kota seperti itu pun pendistribusian daging kurban masih belum bisa dibilang rata. Rasanya banyak sekali daging menumpuk di pusat kota, itu pun dibagikan kepada orang-orang dengan kelas ekonomi menjelang menengah. Padahal di sebuah masjid di sekitar stasiun Depok Lama hanya ada 6 ekor kambing. Ini harus dijatah untuk warga sekitarnya di pemukiman yang cukup padat. Untung saja ada beberapa kiriman daging tambahan dari beberapa tempat lain. Tapi saya yakin, sate yang dibakar atau gulai yang dimasak orang-orang di situ nggak akan sebanyak yang dimasak orang-orang di sekitar kompleks perumahan saya.

Itu masih di Depok. Lalu, bagaimana dengan di daerah-daerah lain?

Apakah Anda pernah membayangkan sebuah hari besar bernama Idul Adha tanpa kurban? Jadi, selepas sholat, maka selesai dan semua orang kembali ke rumah masing-masing. Ini cerita tahunan di Desa Jlamprang, Magetan, Jawa Timur. Justru kalau setelah sholat Id ada acara pemotongan kambing, menjadi aneh buat mereka.

Di Desa Poigar di Minahasa bahkan sudah lebih dari 14 tahun nggak ada yang berkurban. Untuk daerah seperti ini, biasanya kendala geografis yang jadi masalah. Di banyak daerah pelosok di seantero Nusantara, biasanya 1 kambing untuk 1 desa.

Kisah Suminto, bocah kelas 6 SD di Nglebo, Trenggalek yang biasa dipanggil Minto yang saya baca di Republika 29 Desember lalu cukup bisa melukiskan kondisi yang sama sekali jauh dari lintasan pikiran kita. Sang penulis mengenalnya saat prosesi Tebar Hewan Kurban (THK) di Januari 2006. Di desa Nglebo yang hampir seluruhnya warga miskin, bisa makan nasi tiwul dengan lauk ikan asin itu suatu kenikmatan yang luar biasa. Ikan asinnya pun terkadang hanya lauk mingguan—seminggu sekali.

Idul Adha lalu adalah pertama kalinya Desa Nglebo mengadakan kurban karena mendapat sumbangan 5 ekor kambing. Lima untuk sedesa. Akhirnya Minto dan keluarga mendapat satu kantong plastik kecil. Kecil sekali. Ya, Anda bisa bayangkan 5 kambing untuk satu desa, dibagi rata.

Minto pulang dengan girang. Simbok yang sudah menunggu di rumah menyalakan kayu bakar. Daging sejimpit itu direbus dengan kuah melimpah. Minto dan adik-adiknya sama sekali nggak beranjak dari dapur. Sambil mencium baunya, “walah, enak tenan lo le ambune (walah, enak sekali ya Dik, baunya),” ujar Minto ke adiknya.

Akhirnya masakan siap. Minto dan adik-adiknya langsung berebutan. Mereka mengambil tiwulnya di piring masing-masing, lalu menghampiri ibunya yang membagikan daging sejimpit itu. Sang penulis berada di situ saat itu untuk menyaksikan isi piring masing-masing yang membuat dada semua orang yang masih waras bergemuruh. Daging yang hanya seibu jari kaki. Lalu, tulang yang dicacah kecil-kecil.

Sekeluarga itu sejurus kemudian sudah sibuk dengan makanan di piringnya masing-masing. Lauk tadi ditambah tiwul yang kecoklatan. Setengah jam kira-kira, lalu pemandangan berikutnya semakin membuat miris. Daging sejimpit dan tulang itu nggak dihabiskan. Mereka menyimpannya kembali di piring masing-masing.

Ojo dientekne le, di nggo lawuh sesuk (jangan dihabiskan, buat lauk besok,” kata ibu mereka. “Wong Jakarta, atine apik tenan yo mbok. Gelem menehi daging barang (orang Jakarta baik hati ya Mbok, mau memberi daging segala),” Minto berkomentar dengan senang.

Saya nggak pernah berada di desa itu, pun berjumpa dengan Minto dan keluarganya. Tapi kisah yang dituturkan sang penulis seperti membawa saya ke sana, membayangkan berada di tengah-tengah mereka; cukup untuk membuat mata saya berkaca-kaca.

Begitulah. Ini fenomena tahunan. Kisah yang selalu berulang tiap tahun. Tiap tahun, masih ada saja desa-desa terpelosok dengan Minto-Minto yang lainnya. Kalau membayangkan itu, rasanya nggak tega untuk melihat begitu banyak daging dibagikan untuk orang-orang di Depok, yang bisa jadi menerima dari 2 atau 3 tempat yang berbeda.

Melihat itu semua, acungan jempol layak diberikan bagi PKPU dengan program-programnya. Hanya saja, acungan jempoldengan 4 jempol sekalipunnggak akan jadi sapi atau kambing yang bisa dinikmati orang-orang di pelosok. “Berkurban sampai pelosok Nusantara” adalah tema mereka tahun ini. Ya, semoga senyum ceria Idul Adha juga bisa dijumpai sampai pelosok Nusantara di tahun-tahun depan.

Singapore,
3 Januari 2007


Sumber:
"Nikmatnya Sekerat Daging" oleh S Adhiat, Republika 29 Desember 2006

Bahan Bacaan:

"Tak Ada Daging Saat Idul Qurban",
PKPU Online
Website
PKPU
Website
SebarQurban

Labels: ,