Delicate, Delightful, Delicious
~A Blog

Saturday, January 19, 2008

Reality Show Bernama Demokrasi

Sudah beberapa bulan terakhir ini berita-berita di media cetak dan elektronik dipenuhi ulasan-ulasan dan analisis-analisis paling aktual tentang pemilu di AS. Di Singapore sendiri, saya perhatikan hampir setiap hari ada tulisan-tulisan baru tentang topik hangat ini. Kalau bukan berita dari hasil kaukus dan pemilu pendahuluan (primary), maka ulasan-ulasan pakar tentang mengapa Obama bisa kalah di New Hampshire, tentang siapa wakil paling potensial dari Republik, dan sejenisnya.

Saya tidak paham bagaimana bisa perhatian saya sampai tersedot ke perkembangan politik AS. Hasil-hasil kaukus dan pemilu pendahuluan di Iowa maupun New Hampshire yang terpampang di koran saya ikuti lekat-lekat. Ketika mendengar tentang “adegan tangisan” Hillary, serta-merta saya cari videonya di Youtube. Lalu saya membaca tentang gaya Obama yang oleh banyak orang disebut kharismatik. Lagi-lagi saya jadi tergoda untuk mengamatinya lewat Youtube. Karena itulah sekarang saya sedikit banyak familiar dengan Huckabee, Giuliani, McCain, selain Obama dan Hillary tentu saja.

Ada perasaan penasaran—itu jelas. Penasaran yang memuncak pada pertanyaan “siapa yang akan memimpin AS dan mempengaruhi dunia 4 tahun ke depan?” Mungkin agak berlebihan, tapi saya merasa bahwa perasaan penasaran ini sedikit banyak mirip dengan perasaan ketika saya mengikuti AFI (Akademi Fantasi Indosiar) beberapa tahun lalu. Semuanya memuncak pada “Mawar, Veri, atau Kia?” Atau juga saat mengikuti Singapore Idol tahun 2006 lalu dengan Hady Mirza dan Jonathan Leong-nya

Ketika kali pertama AFI muncul dulu, gaungnya sampai ke mana-mana. Yang menikmati bukan hanya anak-anak muda, tapi saat itu bisa dengan tiba-tiba ada sekelompok wanita setengah baya yang menjadi pendukung Veri atau sekelompok anak-anak yang berjingkrak-jingkrak sambil berteriak-teriak “Mawar … Mawar” di depan layar TV mereka.

Kalau dipikir-pikir, setidaknya ada 2 hal yang menjadikan acara reality show jenis kontes terlihat begitu menarik. Pertama adalah faktor kejutan yang ditawarkan di setiap episodenya. Tidak salah, karena yang paling menarik di AFI adalah masa-masa eliminasi peserta yang menguras emosi sebagian besar orang. Bahkan, saat itu kata “eliminasi” menjadi bahasa sehari-harinya anak-anak. Yang kedua, proses “pengartisan” orang-orang biasa sebagai peserta. Orang-orang dengan segala macam latar belakang yang selama ini belum pernah muncul di TV “diartiskan”. Saya yakin kalau peserta AFI diganti menjadi artis-artis yang sudah sering muncul di TV, maka nuansanya tidak akan sama dengan AFI yang di tahun pertamanya saat itu bisa meledak dengan merebut perhatian 56.1% pemirsa TV di Jabotabek untuk acara puncaknya.

Dan pada akhirnya kepintaran produser dan sutradara dalam mengemas acara lah yang membuat popularitas reality show jenis kontes belum terlihat akan pudar dalam waktu dekat ini. Lihat saja, American Idol sudah mencapai musim ke-7, So You Think You Can Dance masih panjang umur dengan musim ke-3-nya, dan kalau ingin lebih luas lagi bisa menyebut The Apprentice yang memasuki musim ke-7.

Kalau kita perhatikan sedikit lebih seksama, perasaan saya yang menyamakan pemilu AS dengan reality show menjadi cukup beralasan. Dalam banyak hal, kemiripan keduanya menjadi tampak relevan.

Sifat kontes dengan eliminasi-eliminasinya? Oh jelas, yang paling menarik dari Pemilu Amerika justru di situnya. Malah, ada yang bilang kalau pemilu tahun ini adalah yang paling menarik dalam beberapa periode terakhir karena sudah menawarkan ketegangan bahkan sejak pemilihan calon tingkat partai. Belum ada yang bisa memprediksi siapa yang akan memenangkan konvensi Partai Demokrat di bulan Agustus nanti, walaupun di Republik sudah mengerucut ke beberapa nama.

Peserta “reality show” Pemilu AS juga boleh dibilang orang-orang biasa yang sebelum masa kampanyenya di tahun 2007 belum begitu sering muncul di layar kaca maupun media-media lainnya. Hanya setelah berkampanye lah dunia sekarang menjadi tertarik dengan latar belakang Barack Obama, misalnya. Ayah kulit hitam, ibu kulit putih, pernah di Indonesia beberapa lama, dan seterusnya. Mirip dengan tabloid-tabloid gosip yang dulu mengupas Veri dari A-Z. Lulusan STM, anak tukang becak, menjadi salah satu harapan keluarga, dan seterusnya.

Pada akhirnya, Pemilu AS dan juga pemilu-pemilu lain, termasuk yang di Indonesia memiliki batas perbedaan yang semakin tipis dengan reality show. Sama-sama kontes popularitas; hanya kemasannya yang beda.

Tidak ada yang salah dengan kenyataan bahwa pemilu telah menjadi reality show dengan sendirinya. Hanya saja, satu hal yang saya sayangkan adalah bila esensi pemilu benar-benar sama dengan esensi reality show yang hampir semua unsurnya bertujuan hiburan komersial. Politik untuk hiburan? Saya sedikit enggan untuk mengakuinya, tapi kenyataan yang ada di negara kita bisa jadi masih seperti itu.

Sebagian orang menyebut pemilunya kita adalah pesta demokrasi. Dan kalau kita lihat ke jalanan selama pemilu berlangsung, agaknya masyarakat kita benar-benar mengartikan “pesta” dengan makna yang denotatif. Bagi mereka, musim pemilu adalah musim panen uang dan kaos. Sedikit berpanas-panas ria, maka upahnya uang 10 ribu dengan kaos berlambang parpol. Yang sedikit beruntung bisa mendapatkan rompi. Yang punya bisnis percetakan, wah jelas ini laiknya musim panen buah-buahan yang ranum.

Sangat sayang kalau kita menganggap pemilu yang menjadi papan nama demokrasi dilihat tak ada bedanya dengan acara AFI. Padahal uang yang dihabiskan bisa miliaran. PDIP konon menghabiskan 50 miliar untuk belanja iklan TV pada medio 2004. Kalau belanja iklan radio, surat kabar, atribut, transportasi, konsumsi, dan lainnya digabungkan, bisa kita bayangkan berapa sebenarnya “harga” satu kursi di DPR. Pengeluaran AS sendiri untuk Pemilu 2004 lalu mencapai 1.2 milyar Dollar AS.

Idealnya, harus ada manfaat yang diberikan ke masyarakat. Pendidikan politik, lalu proses yang benar, sehingga yang terpilih adalah yang benar-benar berkualitas, diketahui rekam jejaknya oleh orang banyak, dan merepresentasikan pilihan mayoritas.

Tapi rasanya itu masih butuh waktu yang agak lama, terutama masalah pendidikan politik. Perhatikan saja slogan-slogan yang dulu dikumandangkan salah satu pasangan calon di Pilkada Jakarta: “Coblos kumisnya!” Atau mari kita coba telusuri iklan-iklan Pemilu Legislatif dan Presiden 2004 lalu. Ada iklan “Coblos nomor 35; 3 ke kanan, 5 ke bawah” yang masih cukup hangat dalam ingatan kita, lalu ada juga “Ingat, tanggal 5, coblos nomor 5!” dan masih banyak lagi.

Ada pendidikan apa di sana? Tetapi bagaimana pun, kita harus sadar itu adalah cara marketing yang diterapkan oleh tim kampanye parpol-parpol dan calon-calon setelah sekian lama mempelajari demografi beserta karakter calon-calon pemilih. Realitas yang tercermin adalah bahwa calon pemilih kita memang tidak membutuhkan yang mendidik.

Asal ramai, itulah reality show—oh maaf, maksudnya demokrasi.

Singapore,
Sabtu, 19 Januari 2007

Menjelang Kaukus Nevada

Perlu dicoba:
Online flash game: Kung-Fu Election. Credit goes to NEF for the link.
> Ke Google, key in "kung fu election". Pilih yang pertama, AtomFilms. tapi kadang-kadang nggak bisa, jadi silakan klik "cached"nya.
Saya sudah tamat pakai Huckabee dan Edwards :)

Labels: ,

Saturday, January 05, 2008

Dari Naruto Sampai Kairo

Saya benar-benar terbelalak saat anak tetangga yang umurnya belum genap 5 tahun ngobrol nyerocos tentang Naruto sama kakaknya yang baru kelas 3 SD. Bukan tentang ceritanya, tapi sangat menarik saat saya amati mereka mengucapkan istilah-istilah dan nama-nama tokoh dalam bahasa Jepang dengan lancar. Oh ya, saya lupa menyebut kalau mereka perempuan!

Iseng, saya coba masuk ke obrolan mereka.

“Hmm, kalo Mas Radon sih paling suka sama Neji. Jurusnya keren. Apalagi pas berantem sama yang laba-laba itu …”

Ternyata memang langsung ditanggapi sama mereka. “Tapi Neji masih kalah sama Naruto,” cerocos yang kecil.

“Oh iya, itu namanya Byakugan. Tapi jurusnya yang paling keren itu ya Hakke Rokuju Yonsho. Itu artinya apa, Mas?”

Walah, saya bahkan lupa kalau nama jurusnya itu. Artinya? Boro-boro saya tahu.

Di lain kesempatan, saya juga sempat bertemu dengan sekelompok anak-anak yang beda umur. Ada seorang anak SMA kelas 1, seorang anak SMP, dan sisanya kebanyakan SD. Dan Naruto lah yang bisa membawa mereka yang beda-beda itu—juga termasuk saya—ke dalam satu frekuensi obrolan. Kalau diamati, mungkin saat itu terlihat begitu lucu. Anak SD sampai yang kuliah di tahun terakhir membentuk lingkaran dan ngobrol ngalor ngidul tentang Naruto.

Ini wabah Naruto yang baru saya ketahui ketika Desember kemarin ada di Depok.

Yang menarik, saya amati ada satu wabah lagi rupanya yang sedang “panas-panasnya” di Indonesia.

Saat saya baru pulang ke rumah kemarin, ibu saya langsung menodong saya dengan sebuah buku novel bersampul krem, “Baca ini deh.” Adik saya malah sudah membaca yang bersampul hijau saat itu. Saya perhatikan, setiap 5 menit sekali, selalu saja dia mesem-mesem sendiri.

Saat saya sekeluarga mengunjungi rumah om dan tante di Rawamangun, saya dibuat setengah terkejut. Ibu saya ngobrol dengan tante tentang buku itu!

Eh, tiba-tiba adik saya ikutan nimbrung, “Wah, buku ini nggak bagus Tante, bisa ngasih ‘inspirasi’ yang nggak bener buat perempuan.” Tentu saja saya cuma dibuat terbengong-bengong—tidak tahu apa yang dibicarakan.

“Tapi paling seru ceritanya Furqan ya. Kasihan banget dia.” Kemudian obrolan berlanjut menarik. Ada argumen, ada tawa, ada senyum. Semuanya menandakan ke saya kalau buku itu menarik.

Terus terang, saya baru pertama kali mengamati ibu dan tante saya ngobrol membahas cerita cinta anak remaja. Lebih terkejut lagi saat tahu kalau ibu saya dapat novel itu dari tante saya. Oo, rupanya biangnya tante saya tho.

Saya jadi ingat, beberapa pekan sebelumnya saya sempat memberi hadiah novel dengan gampar sampul wanita bercadar ke seorang PLRT di KBRI atas titipan teman. Saya tidak menyangka kalau ternyata buku itu sudah terkenal sampai ke Mbak-Mbak itu. “Wah, saya udah lama nyari-nyari buku ini, Mas,” matanya berbinar “Kalau beli di toko buku kan mahal. Mau nyari pinjeman tapi jarang ada yang punya.”

Lalu, saya juga baru tahu kalau di Gramedia Padang bahkan stok buku-buku itu sudah habis. Sedang menunggu kiriman lagi. Ini saya ketahui saat teman saya yang asli Padang bercerita kalau dia juga “dipaksa” membaca buku itu oleh adiknya yang sudah jadi penggemar berat pengarangnya. Teman saya dari Cilacap konon katanya malalap buku itu semalaman suntuk.

Kesimpulan saya bulat. Ada yang sedang mewabah. Iya, tiba-tiba saja banyak orang yang membicarakan Ayat-Ayat Cinta, Habiburrahman El-Shirazy alias Kang Abik, dan juga dwilogi Ketika Cinta Bertasbih. Belum lagi Fahri, Azzam, Fadhil, dan Anna Althafunnisa. Popularitas Ayat-ayat Cinta kini terangkat lagi menyusul kabar bahwa novel itu difilmkan dengan judul yang sama.

Ketika pertama kali membaca Ayat-Ayat Cinta 2 tahun lalu, saya ingat begitu terkesannya saya dengan deskripsi kota Kairo yang dibawakan oleh Kang Abik. Latar sungai Nil di kota Alexandria, suasana keilmuan di Universitas Al-Azhar, dan juga bagaimana Kang Abik dengan ciamik melukiskan karakter orang Mesir yang keras tapi gampang luluh dengan ayat-ayat Quran. Dan mungkin yang paling membuat saya terkesan adalah tentang kebiasaan orang Mesir membaca Quran di Metro-nya mereka. Dulu ini sempat jadi topik obrolan anak-anak Rohis, seingat saya.

Karena memang jarang sekali budaya pop (entah film, kisah novel, atau apa pun) yang mengambil latar belakang Mesir dengan Al-Azharnya yang beredar di Indonesia, maka saya benar-benar merasa novel Ayat-Ayat Cinta saat itu memberi warna baru bagi orang Indonesia.

Tentang ceritanya yang bertema cinta, saya pribadi kurang begitu sreg dengan itu. Tapi hikmah dan pelajaran yang berceceran dari awal sampai akhir buku-buku Kang Abik—mulai dari Ayat-Ayat Cinta sampai Ketika Cinta Bertasbih—saya akui pantas diacungi jempol.

Mungkin seperti Naruto yang menyampaikan pelajaran tentang kerjasama tim di awal kisahnya. Kisahnya tentang Kakashi yang mengadakan tes awal untuk Naruto, Sasuke, dan Sakura. Mereka yang punya ego dan kepentingan masing-masing disuruh untuk bisa merebut lonceng yang diikatkan di pinggang Kakashi. Bisa ditebak, rupanya pelajaran yang sedang diuji adalah tentang kerjasama tim, bukan yang lain. Saya begitu terkesan saat itu. Kisahnya melekat.

Mungkin juga seperti pelajaran-pelajaran yang ada di Doraemon yang saya ingat sampai sekarang.

Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, dan Kang Abik memang tampaknya ingin menyebarkan hikmah lewat cara populer. Hikmah yang pop, barangkali. Dan saya akhirnya sadar bahwa Kang Abik pun rupanya sama uniknya dengan Naruto—walaupun beda gaya.

Dan saya merasakan itu. Lewat novel-novelnya, Kang Abik mengisahkan kehidupan orang-orang penghapal Quran yang jarang kita bayangkan; kisah orang-orang yang menikah tanpa pacaran sebelumnya; kisah orang-orang yang begitu tinggi semangatnya untuk menuntut ilmu; yang jelas kisah kehidupan orang-orang yang sangat jarang kita jumpai dalam budaya pop Indonesia sekarang, entah itu di TV, novel remaja, novel anak-anak, dan juga kehidupan sehari-hari tentunya.

Tidak sedikit yang termotivasi. “Aku benar-benar jadi termotivasi nih baca buku ini, “ ujar salah seorang teman saya yang membaca Ketika Cinta Bertasbih. Entah termotivasi untuk belajar, menikah, atau lainnya—saya tidak tahu. Tapi semoga motivasi yang positif.

Tidak hanya jadi sumber motivasi, saya yakin begitu banyak orang yang dari tidak tahu menjadi tahu karena membaca novel-novel Kang Abik. Terutama menjadi tahu karena penggalan-penggalan ilmu Islam, mulai sejarah hingga penggalan kaidah fikih, yang juga disampaikan dengan gayanya Kang Abik yang khas. Saya yakin jawaban Anna atas pertanyaan Cut Mala di buku pertama Ketika Cinta Bertasbih lebih lekat dan tidak mudah hilang dibanding bila kaidah fikih itu dijelaskan dalam forum yang lebih serius.

Singapore,
Kamis, 3 Januari 2007

Setelah lama nggak nulis, akhirnya …


Bahan bacaan:
Kisah di balik layar AAC I by Hanung Bramantyo
Ayat-Ayat Cinta made me stronger inside by Muna
AAC dan KCB 1 ada di Singapore Library lo. Cek di sini dan di sini

Labels: ,

Thursday, January 03, 2008

Ibu Sepakbola Sedang Menangis

Malam itu akan menjadi sangat bersejarah bagi orang-orang Inggris. 21 November 2007 di Wembley, Inggris takluk 2-3 dari Kroasia, yang membuat mereka terpaksa merelakan tiket ke putaran final Piala Eropa 2008, yang tadinya sudah di genggaman tangan, ke Rusia.

Gerrard, Lampard, Joe Cole, Beckham—nama-nama besar itu rupanya tidak cukup besar di lapangan untuk mengantarkan kemenangan bagi Inggris.

Reaksi media Inggris pasca-pertandingan sudah bisa ditebak. Kecaman-kecaman bermunculan. Semua mengerucut ke beberapa objek, terutama McClaren yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap hasil buruk itu. “Kenapa bukan Robinson?”, “kenapa Beckham tidak dari awal?”, dan masih banyak lagi.

Yang membuat saya terkejut, rupanya justru penggemar Inggris menanggapi itu dengan bersikap pasif-apatis. Konon selalu saja ada percakapan antar penggemar tentang sepakbola Inggris, pertandingan-pertandingannya di sarana-sarana transportasi umum di London, tapi tidak untuk pagi setelah malam bersejarah itu. Semuanya terdiam.

Lalu, siapa atau apa yang salah dengan tim Inggris sebenarnya? Tidak salah kalau orang banyak yang mengecam McClaren, atau Robinson atau Carson dengan blunder-blundernya yang terkadang bisa merubah arah pertandingan. Roy Keane sedikit berbeda dengan menyorot ego masing-masing pemain Inggris yang menurutnya menjadi penyebab utama.

Tetapi kalau dari pengamatan sederhana saya selama 9 tahun ini—sejak saya mengikuti perkembangan sepakbola Eropa tahun 1998—menurut saya permasalahan di tim Inggris sebenarnya lebih fundamental dibanding sekadar kesalahan pelatih, kesalahan kiper, atau ego pemain. Inggris telah kehilangan kebanggaannya sebagai bangsa pesepakbola.

Menggantikan Kevin Keegan yang berprestasi buruk, Inggris sejak tahun 2001 sampai 2006 mempekerjakan Sven Goran Eriksson sebagai pelatih mereka. Inggris dilatih oleh orang Swedia! Ini salah satu pertanda buruk lunturnya kebanggaan sebuah bangsa sepakbola yang seharusnya punya kultur yang kuat. Saya tidak sedang membicarakan tim seperti Yunani yang boleh dibilang tidak mempunyai sejarah kuat di sepakbola; atau mungkin Jepang yang kompetisi liga profesionalnya saja baru terbentuk sejak 1993; tapi ini Inggris, Bung!

Tidak ada pelatih Inggris yang berkualitas. Itu faktanya, dari sejak saya kenal sepakbola hingga sekarang. Klub-klub teratas Liga Inggris semuanya menggunakan jasa pelatih asing. Alex Ferguson sudah menancapkan akarnya di MU sejak 1986, Arsene Wenger di Arsenal sejak 1996. Chelsea dan Liverpool pun secara terus menerus memakai pelatih asing sejak 90-an.

Kalau ditelusuri, Inggris tidak cuma mengalami krisis pelatih, tapi juga krisis kiper. Malah ini bisa jadi lebih parah kondisinya sekarang dibanding krisis pelatih. 4 klub teratas di Inggris semuanya memakai kiper asing. Bahkan klub-klub papan tengah seperti Everton atau Bolton saja sampai harus berusaha keras mengikat Tim Howard (Amerika) dan Jääskeläinen (Finlandia). Pada akhirnya pilihan kiper bagi timnas Inggris memang hanya tinggal Robinson atau Carson.

Melihat itu semua, saya jadi berpikir—jangan-jangan orang Inggris sekarang ber-mindset “kami tidak akan sukses tanpa orang asing.” Memang ini hanya hipotesis saya, tapi kecenderungan ke arah situ rasanya cukup jelas akhir-akhir ini.

Dulu saat Eriksson diangkat sebagai pelatih Inggris di tahun 2001, masih banyak komentar media yang cukup pedas mengkritik FA atas keputusan itu. Saat itu, bagaimana pun masih banyak orang Inggris yang menginginkan timnas Inggris dilatih oleh orang Inggris sendiri. Tapi kini, saat McClaren dipecat tempo hari, nyaris tidak ada yang tidak mendukung FA untuk mencari pelatih asing. Nama-nama yang muncul pun akhirnya sejenis Capello, Klinsmann, Mourinho, dan Scolari. Itulah, kebanggan bangsa pesepakbola yang semakin luntur.

Cerita di Chelsea pun setali tiga uang. Mourinho dipecat, lalu diganti oleh Avram Grant, orang Israel yang tadinya tidak ada yang kenal, dan kini tiba-tiba muncul ke permukaan. Padahal reputasinya sebagai pelatih bukanlah yang terbaik.

Indikasi tentang mindset itu, dan juga tentang lunturnya kebanggan orang Inggris terlukis jelas di Arsenal, tim multi nasional yang disebut sebagai tim Inggris hanya karena bermain di Liga Inggris.

Arsenal yang sekarang sudah tidak terlihat aneh lagi bagi publik Inggris saat menurunkan 11 pemain beserta 5 cadangannya tanpa seorang pun pemain Inggris. Awalnya media Inggris, dan juga penggemar Arsenal cukup kritis. Debat terjadi di media-media. Ada yang pro, ada yang kontra. Tapi kini sudah terasa biasa. Debat dan kritikan seperti itu sudah lama tidak terdengar lagi.

Yang saya sorot adalah tentang rasa kebanggaan. Biasanya, penggemar sebuah klub akan merasa sangat bangga ketika ada pemainnya yang dipanggil untuk membela timnas. Lalu, bersama para penggemar klub lain, mereka mendukung timnas negaranya, dengan membuang identitas klubnya. Hal seperti ini adalah yang umum terjadi di dunia sepakbola.

Tidak heran pendukung Bolton pernah berkampanye “Nolan for England” di tahun 2006. Mereka akan merasa sangat bangga kalau saja Kevin Nolan yang mewakili Bolton bisa dipanggil timnas Inggris.

Lalu, saat Arsenal sekarang hanya menyisakan Theo Walcott saja di timnya, inilah indikasi yang cukup kuat bahwa pendukung Arsenal telah membuang kebanggan mereka sebagai orang Inggris saat timnasnya bermain.

Secara umum, saya merasa bahwa kegagalan Inggris di tahun 2007 ini bukan kasus instan. Kegagalan tahun 2007 adalah rentetan kegagalan dan degradasi selama bertahun-tahun. Sehingga penyelesaiannya pun bukan dengan cara yang instan. Membayar Fabio Capello mahal-mahal belum tentu menyelesaikan masalah. Sebuah pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi bangsa Inggris, kalau seandainya mereka masih memiliki kebanggaan sebagai bangsa pesepakbola.

Dulu di tahun 1998, saya percaya kalau Inggris akan juara dunia di tahun 2006. Tapi permainan Inggris justru semakin menurun. Ironisnya, permainan terbaik Inggris dalam 9 tahun terakhir ini dalam pengamatan saya adalah di Piala Dunia 1998. Itu adalah generasinya Shearer, Ince, Adams, Seamen, di bawah asuhan Glenn Hoddle.

Saat itu, saya percaya—atau mungkin berharap—masanya Inggris adalah di tahun 2006. Tapi kalau melihat kondisinya sekarang, angan-angan itu rasanya masih sangat jauh.

Singapore,
Senin, 3 Desember 2007

Hanya curahan hati seorang penggemar Inggris

NB: Tulisan ini dibuat sebelum Capello ditunjuk sebagai pelatih Inggris

Labels: