Delicate, Delightful, Delicious
~A Blog

Tuesday, July 15, 2008

Tentang Pelatih

“Saya percaya 95% kesuksesan Spanyol di EURO 2008 adalah berkat para pemain, dengan Luis Aragones berperan untuk 5%-nya …” jelas Maria Villar, presiden RFEF, PSSI-nya Spanyol. Sebenarnya seberapa pentingkah peran seorang pelatih?

Ada sebuah pendapat: Kalau kita lihat sepakbola secara mikro—pertandingan per pertandingan—sangat terlihat bahwa peran pelatih sebenarnya tidak terlalu menentukan dalam kemenangan sebuah tim.

Mari kita ingat sejenak momen kemenangan dramatis Manchester United 2-1 di Liga Champions 9 tahun silam. Stadion Nou Camp menjadi saksi sejarah gol-gol Teddy Sheringham dan Ole Gunnar Solskjaer di menit-menit akhir babak kedua setelah sebelumnya MU tertinggal oleh gol Mario Basler di menit ke-6. Sepanjang pertandingan MU menguasai ball possession, tapi tidak berhasil menciptakan peluang yang bersih di depan gawang Bayern Munich sebelum dua gol penentuan itu. Malah, Munich yang sesekali melakukan serangan balik justru lebih merepotkan Jaap Stam dan kawan-kawan.

Di menit 67 Ferguson memasukkan Sheringham. Lalu kemudian di menit 81 Solskjaer turut serta. Memang, ini bisa dilihat sebagai perubahan strategi Ferguson yang pada akhirnya menempatkan tiga penyerang sekaligus dan merubah gaya permainan. Tapi bagaimana kita menjelaskan peran Ferguson atas kedua gol Sheringham dan Solskjaer di menit-menit akhir?

Jika saja Sheringham saat itu telat 1 detik menyambut bola umpan dari Giggs, tentu ceritanya lain. Begitupula jika Solskjaer terpeleset sedikit saat mengayunkan kaki untuk menyentuh bola sundulan Sheringham. Jadi, yang terlihat jelas adalah jasa Sheringham dan Solksjaer, bukan Ferguson.

Sekarang, ada pendapat kedua bahwa peran pelatih lebih terlihat di tataran makro. Rafael Benitez di Liverpool menjadi contoh. Liverpool yang di musim-musim sebelumnya hanya dianggap sebagai tim “kelas dua”, sejak ditangani Benitez langsung berubah drastis dengan menyabet juara Liga Champions di tahun pertama kepelatihannya. Ya, kini terlihat peran nyata seorang pelatih.

Susahnya jadi seorang pelatih

Posisi seorang pelatih sangat rentan terhadap kritik. Bisa dari pemain, pemilik klub (atau asosiasi sepakbola negara), para penggemar, dan tentu saja media. Bagi pemilik klub dan penggemar, bagus tidaknya pelatih hanya dilihat dari prestasi tim. Ini harga mati.

Menariknya, jika sebuah tim memiliki performa buruk, biasanya yang pertama kali disalahkan adalah pelatihnya. Kita bisa berimajinasi sedikit dengan contoh Ferguson yang tadi disebut. Ferguson oleh banyak kalangan dianggap jeli dan berani melihat peluang untuk memasukkan kedua pemain super-sub, Sheringham dan Solskjaer. Ini peran dia dalam terciptanya kedua gol itu. Tapi toh jika ternyata dua gol itu gagal tercipta, tidak akan ada pihak yang serta merta memuji strateginya. Kemungkinan, justru dia akan dikritisi: Kenapa Beckham dimainkan di tengah, tidak di kanan sejak awal? Kenapa tidak memainkan Solskjaer dari awal? Kenapa membiarkan tim kehilangan konsentrasi di awal-awal pertandingan? Dan saya yakin masih banyak lagi kemungkinan “kesalahan” Ferguson.

Ah, kasihan sekali memang seorang pelatih. Jika performa tim buruk, pemain akan tetap bermain, pemilik tidak tergoyahkan posisinya, penggemar akan tetap mendukung tim kesayangannya. Tapi pelatih? Tentu saja akan kehilangan kursinya. Tidak heran jika per 2006, rata-rata ada 40 pemecatan pelatih di kompetisi Liga Inggris di semua divisi per tahunnya.

Apa tugas dan peran pelatih?

Bersama timnya—terkadang terdiri dari asisten pelatih, pelatih tim utama, pelatih tim cadangan, pelatih kiper, fisioterapis, kepala pencari bakat (chief scout)—pelatih (atau manager di Liga Inggris) bertanggung jawab atas sebuah tim.

Pelatih yang bertanggung jawab penuh atas jadwal dan metode latihan, nutrisi dan kebugaran pemain, seleksi pemain sebelum pertandingan, strategi, dan mental pemain saat pertandingan.

Mengenai mental pemain, pelatih sebenarnya punya peran yang cukup dahsyat saat jeda pertandingan 15 menit, karena ia berada di luar lapangan dan bisa mengamati jalannya pertandingan selama babak awal. Sehingga, di satu-satunya momen saat sang pelatih bisa bertatap muka langsung dengan semua pemainnya itu, ia sebenarnya bisa berbuat banyak: membicarakan strategi, apa yang salah selama babak pertama, pengaturan tempo, dan—ya, termasuk menggenjot mental pemain.

Dikisahkan saat Liverpool menghadapi Milan di partai final Liga Champions 2005, ketika jeda, Gerrard mengutarakan keputusasaannya di ruang ganti setelah timnya tertinggal tiga gol di babak pertama. Tapi Benitez tetap terlihat percaya diri, “Cobalah cetak satu gol dan kita lihat apa yang terjadi.” Maksud pesannya adalah agar pemain Liverpool bisa membuat sang lawan gugup.

Pada akhirnya sejarah panjang Liga Champions mencatat partai final itu sebagai salah satu yang bersejarah setelah Liverpool mengejar ketertinggalan tiga gol dan berbalik menang lewat adu penalti.

Tantangan utama

Menurut beberapa literatur yang saya baca, tantangan utama seorang pelatih justru bukan berasal dari lapangan, melainkan dari luar lapangan—semua hal non teknis.

Bagaimana menghadapi sorotan dan kritikan pihak luar, terutama media, adalah satu hal. Tapi ada banyak hal lain yang menyangkut pemain. Di antara masalah yang umum adalah mengurus pemain yang sudah di ambang masa pensiun—tentang kontrak dan lainnya. Seorang pelatih pun bisa saja mengurusi masalah perkawinan seorang pemain yang tidak harmonis. Belum lagi kalau ada pemain yang bengal di kehidupan sosial sampai berurusan dengan polisi, seperti kasusnya Joey Barton.

Terkadang, dinamika tim pun bisa sangat ekstrim dengan adanya faktor senioritas pemain tua terhadap pemain muda. Ini bisa jadi penghambat kemajuan para pemain muda.

Kalau sebuah tim sangat heterogen seperti Arsenal yang tim utamanya berasal dari 17 negara yang berbeda, satu masalah tambahan muncul: adaptasi. Bisa dibayangkan betapa hebatnya seorang Arsene Wenger yang bisa membuat sebuah tim multinasional dengan berbagai perbedaan seperti itu bermain dengan kompak.

Menjadi jelas sekarang kenapa memiliki kemampuan dan pengetahuan sepakbola yang dalam saja tidak cukup untuk menjadi seorang pelatih yang sukses. Bahkan ditambah pengalaman pun belum menjamin kesuksesan, karena itu semua masih seputar kemampuan teknis.

Ada faktor non teknis yang membuat pelatih semacam Jurgen Klinsmann bisa sukses membawa Jerman ke semifinal Piala Dunia 2006 walaupun awalnya banyak pihak yang meragukan kualitas komposisi tim Jerman saat itu. Kharisma. Dan pelatih harus disegani dan dihormati oleh para pemain. Ini yang membuat pelatih semacam Alex Ferguson bisa sukses di Manchester United. Ini juga yang membuat Steve McClaren dipecat walaupun baru setahun menjadi arsitek tim nasional Inggris.

Roy Keane menyebut satu faktor non teknis yang membuat Inggris gagal melaju ke putaran final EURO 2008, “Terlalu banyak ego para pemain Inggris yang terlibat, dan itu membuat mereka membayar mahal.” Kharisma McClaren tidak cukup untuk bisa memperoleh respek dan menyatukan para “artis” Inggris semacam Beckham, Gerrard, Lampard, Cole, Owen menjadi satu tim yang padu luar dalam.

Aragones?

Kembali ke Aragones. Bukan pekerjaan semalam dua malam kalau kita lihat sekarang Spanyol bisa juara EURO 2008. Empat tahun sudah Aragones memimpin tim Spanyol. Gagal di Piala Dunia 2006, tapi prestasi Spanyol sedikit demi sedikit mulai stabil setelahnya.

Seperti layaknya pelatih negara besar Eropa lainnya, Aragones pun tidak jauh dari kritik dan sorotan tajam media. Keputusan paling berani Aragones—yang ditentang banyak pihak di Spanyol—adalah keberaniannya tidak membawa Raul ke skuad Spanyol untuk EURO 2008. Padahal Raul adalah pencetak gol terbanyak tim nasional Spanyol sampai saat ini, dan masih produktif di Real Madrid. Tapi toh nyatanya publik Spanyol sekarang bungkam dan terkesima dengan duet anyar David Villa dan Fernando Torres.

Jadi bagaimana? Secara pribadi, saya percaya Aragones punya kontribusi yang signifikan, baik dari segi teknis mapun non teknis, dalam sukses Spanyol di tahun ini walaupun tampaknya Villar berpendapat lain.

Ah, bagaimana pun Aragones bisa menimpali Villar begini, “5% tidak apa-apa bagi saya. Anda sendiri berapa persen?”

Singapore,
Selasa, 15 Juli 2008

NB: Penulis adalah penggemar timnas Inggris. Penulis hanya seorang penikmat sepakbola tanpa pengalaman kepelatihan. Mohon maaf kalau ada info yang tidak akurat.

Bahan bacaan:
Aragones Played a Small Part in Spain's EURO 2008 Success; Goal.com
Football Coaching, Half Time Psychology; Peak Performance Online

Labels: ,

Tuesday, July 08, 2008

Terima Kasih, Bo!

Kalau Superman memakai kaos yang bertuliskan huruf “S”, kenapa Batman nggak memakai yang bertuliskan “B”? Soalnya sudah dipakai sama Bobo.

Dua pekan lalu saya merogoh kocek 8.500 Rupiah untuk sebuah nostalgia. Dengan penuh harap untuk mengenang kembali masa-masa kecil dulu, satu demi satu lembar halaman majalah yang kini semuanya sudah berwarna itu saya balik.

Tapi memang benar ini adalah nostalgia. Karena pertemuan saya dengan majalah Bobo kali ini seperti laiknya pertemuan saya dengan seorang sahabat yang sudah tidak bersua lima tahun.

Dan benar saja, hampir setengah jam ke depan, tanpa saya sadari senyum saya mengembang sembari melihat halaman-halaman majalah Bobo edisi 26 Juni 2008. Banyak emosi yang luber, tercurah kepada sahabat saya itu.

Tidak banyak yang berubah. Pertama saya mengamati sampulnya. Memang ilustrasi tokoh Bobonya sedikit berubah—bisa jadi karena ilustratornya berubah juga—tapi citra dan logo Bobonya tetap sama. Berada di pojok kiri atas, berwarna-warni dengan slogan Teman Bermain dan Belajar yang ditempatkan tepat di bawahnya. Tampaknya branding inilah yang terbukti selalu melekat dalam ingatan saya dan ribuan—atau bahkan jutaan—anak Indonesia lainnya, sehingga diletakkan di mana pun di rak penjaja majalah di pinggir jalan, saya dulu tidak pernah gagal untuk menemukan majalah yang sudah berumur 35 tahun ini.

Branding Bobo memang luar biasa. Bisa jadi, seperti saya, Anda pun masih terngiang jingle Bobo yang sempat secara berkala muncul sebagai iklan di TV. Bobo// teman bermain dan belajar// Be-o-be-o/ Bobo!// Asyik lo, kalau di rumah ada Bobo ...

Berikutnya sejenak saya mengamati 2 halaman rubrik Apa Kabar, Bo? Banyak pertanyaan-pertanyaan dari anak-anak yang kalau saya yang sudah akan menginjak usia 22 tahun ini membacanya, mau tidak mau akan terpaksa tersenyum. Kata salah satu surat yang dimuat, “Bo, bagaimana caranya kalau mau dapat sahabat pena?” Redaksi Bobo dengan sabar menyarankan sang penanya untuk mencoba mengirimkan surat ke beberapa nama anak yang juga mengirim surat ke Bobo.

Beberapa halaman dari rubrik Apa Kabar, Bo? saya temukan rubrik Arena Kecil. Senyum saya semakin mengembang sembari mengikuti kisah seorang anak yang diajak tantenya pergi ke kebun binatang.

Beberapa menit berikutnya saya habiskan untuk mengikuti kisah-kisah di rubrik Cerpen dan Dongeng. Ada dua cerpen dan satu dongeng untuk edisi kali ini. Saya berharap menemukan penulis favorit saya dulu, seperti Ny. Widya Suwarna (saya termasuk yang banyak dihibur dan dididik dengan kisah-kisah beliau), Benny Ramdhani, atau Kemala P., tapi rupanya tidak saya temukan di edisi itu. Entah barangkali mereka semua sudah tidak menulis cerita anak-anak lagi, dan kini diganti nama-nama baru. Tapi yang jelas nama-nama tadi begitu lekat di memori saya dan banyak membantu memercikkan semangat saya untuk belajar menulis-nulis cerpen atau dongeng sejak SMP.

Dan—ya, saya jadi teringat rubrik Sayembara Bobo dan Uji Imajinasi! Memang, dibandingkan cerpen dan dongeng yang hanya sesekali saya buat dan saya kirim, kedua rubrik itulah yang lebih banyak memaksa saya mengayuh sepeda dari rumah menuju kantor pos untuk mengirim kartu pos-kartu pos berisi jawaban TTS, dan lainnya. Saya masih ingat menggunting kupon TTS dan UI, melekatkannya pada kartu pos, menulis jawaban di lembar belakangnya, dan memasukkannya bersama kartu pos untuk teka-teki lainnya sekaligus ke dalam amplop sebelum melekatkan perangko 300 Rupiah dan memberikannya ke loket di Kantor Pos. Masa-masa itu adalah saat saya masih SD dan SMP.

Selesai mengamati Sayembara Bobo (ah, ke mana perginya Sayembara Bibi Titi Teliti?), langsung saya ikuti cerita-cerita bergambar khas majalah Bobo: Ceritera dari Negeri Dongeng dengan Oki dan Nirmalanya; Paman Kikuk, Husin, dan Asta; Bona, Gajah Kecil Berbelalai Panjang; dan tentu saja Bobo dengan Bapak, Emak, Upik, Coreng, dan lainnya.

Komentar saya cuma satu: Kok tidak kehabisan cerita ya? Memang dulu saya juga pernah membatin serupa ketika SMP, tapi kini ketika melihat cerita-cerita itu masih bertahan, kekaguman saya semakin bertambah.

Secara santai saya mengikuti kisah paman Kikuk yang diceritakan sedang berwaspada terhadap copet di tempat umum. Ketika di jalan, ketika di bus, ketika di kereta, sikapnya selalu siaga. Lirik kiri-kanan, sampai akhirnya kondektur yang mencolek bahunya pun dibanting. Keluarga Bobo, di halaman yang lain, diceritakan sedang merencanakan mengadakan konser musik.

Tokoh-tokoh rekaan tadi semua adalah bagian yang tak terpisahkan dari majalah Bobo. Mereka semua membentuk cerita, menyampaikan pelajaran, dan membentuk branding Bobo.

Bahkan, kalau menurut saya, “ketokohan” Bobo, Bona, Nirmala, dan Oki sudah bisa disamakan dengan Donal Bebek—tentu saja di level nasional. Sehingga, saya bisa bilang bahwa bila Disney punya Donal Bebek dan Miki Tikus, dan Jepang punya Doraemon; Indonesia punya Bobo dan kawan-kawan. Dan tampaknya pengembangan tokoh-tokoh Bobo dikerjakan dengan serius oleh majalah Bobo dengan program-program seperti Operet Bobo, Bobo Fair, Sanggar Bobo, dan lainnya. Ekstensi produk dengan peluncuran majalah Kreatif (Bona dan Rongrong), majalah Oki-Nirmala juga menjadi salah satu cara.

Cukup banyak ilmu dan inspirasi yang saya dapatkan dari membaca Bobo selama ini. Dari membaca satu edisi itu saja, saya jadi tahu bahwa bola mata manusia tidak pernah bertambah besar sejak kita lahir. Dan konon katanya kita selalu menutup mata ketika bersin. Dari membaca cerpen dan dongengnya, kembali saya bersemangat untuk menulis. Dan tentu saja inspirasi untuk menulis tulisan ini datangnya dari membaca Bobo.

Untuk sahabat yang telah menemani saya bermain dan belajar sejak paruh kedua SD hingga awal SMA, saya ucapkan terima kasih yang tulus.

Terima kasih, Bo!

Singapore,
Senin, 7 Juli 2008

NB: Gimana kalau Bobo bikin rubrik Terima Kasih, Bo!? Isinya tentang kesan-kesan pembaca “seniornya”. Kelihatannya menarik :)

Tautan:
Belajar inflasi lewat galeri Bobo (wajib buka)
Cerpen Ny. Widya Suwarna yang diceritakan kembali: Cleaning Girl (baca deh)
Cerpen lainnya oleh Ny. Widya Suwarna: Tiga Hati Penuh Kasih, Tersinggung Pada Kuda
Bobo menemani dua generasi

Website Bobo
(kenapa tidak membuat domain sendiri?)

Sumber gambar:
Paper: Majalah Bobo, esnips.com (terima kasih untuk Tomi Ngalusi dan Brahmastagi)

Labels: ,