Delicate, Delightful, Delicious
~A Blog

Sunday, June 04, 2006

Kaleidoskop

Hari ini Sabtu, 14 Mei 2005. Rasanya baru sebulan yang lalu tahun baru 2005, sekarang sudah hampir pertengahan tahun. Rasanya baru setahun yang lalu Jerman dikandaskan Brazil di final Piala Dunia 2002, sekarang sudah setahun menjelang Piala Dunia 2006.

Mengingat masa lalu itu menyenangkan lo. Kadang bikin senyum-senyum sendiri, kadang memberi energi. Tepat setahun yang lalu, tepat di tanggal segini, kita lagi ngapain ya? Ada yang inget? Kalau kita buka-buka lagi memori kita, sebenarnya persis 365 hari yang lalu adalah hari terakhir UN. Di hari itu juga Indonesia kalah sama Denmark di Thomas Cup 2-3. Cina yang menang di final. Entah setelah itu sampai sekarang 14 Mei 2005, waktu berjalan—mungkin lebih cocok disebut berlari—tanpa kita benar-benar sadari.

31 Mei 2004; Pengumuman UM-UGM, ada lebih dari 30 anak Smansa yang keterima. 12 Juni 2004; Portugal sebagai tuan rumah dipermak 2-1 di pertandingan pembukaan EURO sama Yunani. 15 Juni 2004; Perpisahan angkatan 2004 di sekolah. Penampilan Sos 1, penampilan kuartet Hadian-Satrio-Gunjay-Wahyu, penampilan band-band, Persix, salaman perpisahan sama guru-guru, pengalungan tanda lulus. 5 Juli 2004; Pemilu Presiden putaran 1. Wiranto, Mega, Amin, SBY, Hamzah. Dan 14-15 Juli 2004; SPMB ! Wah, itu semua udah hampir setahun yang lalu ya?

Cepet kan? Bener-bener rasanya baru sebentar, tapi masa setahun yang lalu sudah hampir lewat. Apalagi kalo dibandingin dengan waktu-waktu yang lebih lama lagi. Maka yang namanya usia 18, 19 tahun ini kayak nggak ada rasanya apa-apa. Rasanya baru kapan dengan sekeping 100-an bisa dapet 4 permen Sugus, sekarang bahkan ada yang 1 permen Rp 200,00. Sugus pun mulai hilang dari peredaran (ada yang pernah lihat lagi?). Rasanya baru kapan masuk SMP 3 dengan bangga, sekarang udah hampir 19 tahun. Rasanya baru kapan Joshua nyanyi “diobok-obok airnya diobok-obok ...”, sekarang udah nggak lucu lagi. Rasanya baru kapan nyanyi “met siang meneer mevrouw yang cakep-cakep, kenalin dulu aye anak baru ...”, sekarang udah lupa sama sekali. Rasanya baru kapan Beckham masih 25 tahun, sekarang anaknya udah 3 dan udah hampir waktunya buat pensiun.

Hh, ternyata kita udah tua ya? Ya, jadi tua itu pasti, tapi menjadi dewasa itu pilihan; sering kita mendengar kata bijak seperti itu.

19 tahun hidup di dunia ini, sudah 18 kali Ramadhan, sudah 5 kali Pemilu di Indonesia (walaupun kita nyoblosnya baru sekali), Amerika sudah 4 kali ganti presiden, Yugoslavia sudah nggak ada lagi di peta dunia, tragedi 11 September, Amerika menginvasi Afganistan, Irak, tsunami di Aceh, Ketua OSIS Smansa udah ganti 18 kali (yang ini nggak penting), ... hmm apalagi ya. Tapi, bukankah itu semua sudah cukup bagi kita untuk bisa cerita nanti ke anak cucu kita—eh bukan, maksudnya udah cukup sebagai bukti bahwa kita udah cukup tua.

Ditambah lagi, berapa orangkah yang sudah mendahului kita selama 19 tahun ini? Pasti ada di antara kita yang kakeknya sudah mendahului, atau neneknya, om, tante, atau bahkan bapak dan atau ibunya. Dan yang jelas Dono, Kasino, Munir, ZA Maulani, Harry Roesli, Ibu Tien, Ahmad Yassin, Paus Paulus II, Yasser Arafat, Mahasiswa Trisakti, Cholil Bisri, Jimmy Carter, Ayrton Senna, Ibu Lailina, Susi, Pak Haeruman Sandy (guru Basa Sunda SMP 3) dan ada jutaan orang lainnya sudah mendahului kita. Di saat yang bersamaan jutaan bayi lahir menggantikan tempat mereka semua. Ya, hidup itu kayak gitu. Nanti kita semua juga akan seperti itu. Hanya saja, nggak ada jaminan kalo yang lebih tua yang akan pergi lebih dulu.

Lagi, menjadi tua itu pasti, tapi menjadi dewasa itu pilihan.

Saya ingat waktu SD dulu pas ngerjain PR PPKn (dulu namanya masih PMP—red), ada pertanyaan yang nggak bisa saya cari jawabannya di buku. “Mengapa kita harus menghormati orang yang lebih dewasa?” What do you think? Hehe, bahkan sekarang juga kalo dipikir-pikir, pertanyaan itu susah untuk dijawab. Nah, waktu itu orang tua saya bilang, “soalnya orang dewasa itu lebih banyak pengalamannya.” Well, dulu akhirnya langsung aja ditulis jawaban itu. Again, what do you think?

Bulan yang lalu saya main ke flat seorang senior yang anaknya udah 3. Di situ aku memperhatikan anaknya—sebut saja Fatah—yang 4 tahun main-main dengan kipas angin listrik. Dia merobek-robek tissue menjadi sobekan kecil-kecil dan memasukkan itu ke kipas angin yang lagi berputar. Jelas, ada tissue yang “terperangkap” di dalam kipas, juga ada yang terbang ke luar. Tissue yang di dalam membuat suara yang cukup mengganggu dan memberi alasan yang cukup bagi bapaknya untuk menghentikan Fatah. Yah, emang agak bahaya kalo dilihat dari kacamata kita. “Kalo tangannya kena kipas gimana?” dan sebagainya.

Apa yang menarik? Entah kenapa, tiba-tiba saja saat itu saya langsung berpikir, “kenapa anak-anak kecil tertarik sama hal-hal kayak begitu ya? Sedangkan orang dewasa nggak?” Yah, barangkali banyak yang akan bilang, “Namanya juga anak-anak” atau jawaban-jawaban lainnya. Tapi teman saya yang kebetulan ada di situ juga bilang begini, “soalnya kita udah tahu hasilnya, makanya males untuk nyoba-nyoba kayak gitu.” Ini sebuah jawaban yang membuat saya berpikir panjang setelahnya. Udah tahu hasilnya? Tapi banyak juga orang-orang yang udah tahu hasilnya buruk tapi masih aja begitu. Hmm, barangkali ini bedanya “dewasa” sama “tua”.

Makanya “menjadi tua itu pasti; menjadi dewasa itu pilihan” mungkin bisa dielaborasikan jadi “menjadi berpengalaman itu pasti; tapi menjadi orang yang bisa belajar dari pengalaman itu pilihan.” Bukankah begitu? Rasanya jelas banget kalo orang nggak belajar, maka kemungkinan dapet nilai bagusnya nggak akan lebih dari orang yang belajarnya lebih. Insya Allah. Semua orang tua (baca: termasuk kita—red) mengerti hal itu dari pengalaman sepanjang hidup. Tapi walau ngerti dengan sepenuh hati tentang hal itu, ada aja yang mengharapkan hasil lebih di ujian tanpa belajar. Rasanya itu bisa disebut belum dewasa.

Seorang bintang yang kaya raya pun suatu saat sinarnya akan meredup dan dilupakan orang, sebuah klub seperti Fiorentina yang dulu disegani bisa degradasi, seorang yang percaya diri pun suatu hari pernah dapet 3.4 di ulangan Fisika, orang yang arogan seperti Presiden US sekarang efeknya pasti dibenci oleh jutaan orang bahkan oleh negara-negara sekutunya, orang yang dikenang seperti Thomas Alfa Edison nggak serta-merta jadi orang, dan orang besar seperti Nabi Muhammad pun besar setelah melewati hal-hal yang berat. Itu common sense. Semua orang tahu. Tapi lagi-lagi, apakah common sense itu mau kita pelajari atau nggak, itu pilihan.

Cukuplah sesekali kita melihat kaleidoskop kehidupan kita untuk meyakinkan diri kita bahwa udah bukan waktunya lagi untuk berpikiran dengan mindset anak-anak seperti yang biasa kita lakukan. Karena kita ini orang dewasa. Jiwa dan semangat harus tetap muda, tapi pikiran harus semakin tua, semakin dewasa. Atau kalo mau lebih dahsyat lagi, ingatlah tentang kematian, tentang orang-orang yang mendahului kita, tentang waktu yang berlalu begitu cepat, juga tentang waktu yang mungkin masih tersisa bagi kita. Soalnya bagi Muslim, cukuplah kematian sebagai pengingat kita—pengingat supaya siap untuk dipanggil sewaktu-waktu.

Singapore,
Sabtu pagi, 14 Mei 2005

Comment: Ini tulisan saya setahun lalu. Bedanya setahun lalu dengan sekarang: kalo sekarang, Piala Dunia tinggal 5 hari lagi!

0 Comments:

Post a Comment

<< Home