Delicate, Delightful, Delicious
~A Blog

Saturday, August 23, 2008

Buku Rapor Indonesia 2008

Ini kisah tentang seorang mahasiswa bernama Indonesia, sedang kuliah di Universitas Dunia untuk waktu yang tidak terbatas. Dengan ukuran badannya yang besar, Indonesia dulu disegani teman-teman sekelasnya. Ia terkenal kaya, pintar, dan berwibawa. Biasanya dalam beberapa mata kuliah Indonesia juga berprestasi.

Tapi akhir-akhir ini, Indonesia prestasinya menurun. Tidak ada yang tahu mengapa. Bahkan prestasinya kini banyak disalip sama teman-teman satu geng "ASEAN", seperti adik imutnya Singapore yang beda 20 tahun dan kawan "adu mulutnya" Malaysia.

Rapor ini berisi nilai-nilai Indonesia untuk beberapa mata kuliah yang diambil. Karena teman satu kelasnya hampir 200, maka yang dimasukkan ke daftar hanya beberapa nama teman yang punya hubungan dekat dengan Indonesia, di antaranya teman-teman pentolan geng ASEAN (Thailand, Malaysia, Singapore, Vietnam, Filipina); Paman AS yang selalu disegani; saudara tua, Jepang-san yang dulu suka "membully" tapi selalu jadi idola; lalu Koko China yang ukuran tubuhnya juga besar.

Buku rapornya (20 KB) bisa diunduh di (1) (2) (3). Selamat menikmati!

1

Mata Kuliah: Quality of Life Index
Dosen pengajar: Dr. The Economist, MBA
Jumlah mahasiswa: 111 orang.
Nilai rata-rata kelas: 6,208

Di mata kuliah ini, nilai akhir mahasiswa ditentukan dari 9 parameter: kesehatan, kehidupan keluarga, kestabilan politik dan keamanan, kehidupan sosial, kesejahteraan materi, iklim dan geografi, kebebasan politik, persamaan gender, dan tingkat pengangguran. Indonesia nilainya di bawah rata-rata kelas.

2

Mata Kuliah: Human Development Index
Dosen pengajar: UNDP, PhD
Jumlah mahasiswa: 177 orang.

Nilai rata-rata kelas: 0,743


Mata kuliah ini secara umum mengukur standar kehidupan, sehingga umumnya hasilnya digunakan untuk mengelompokkan mahasiswa sebagai “maju”, “berkembang”, atau “under-developed”. Indonesia sedikit di bawah rata-rata kelas, tapi tetap di nomor buncit dibandingkan kawan-kawan geng “ASEAN”.


3

Mata Kuliah: Life Expectancy
Dosen pengajar: Prof. CIA World Factbook
Jumlah mahasiswa: 191 orang.
Nilai rata-rata kelas: 65,82 tahun

Hasil mata kuliah ini menunjukkan rata-rata panjang umur sekelompok orang yang lahir pada tahun yang sama. Teman-teman Indonesia yang rumahnya di Kelurahan Afrika umumnya bernilai kecil karena sakit-sakitan, terutama AIDS. Indonesia di atas rata-rata.

4

Mata Kuliah: GDP per capita

Dosen pengajar: Prof. World Bank

Jumlah mahasiswa: 170 orang.

Nilai median: 3.733 (Bosnia)

Mata kuliah ini menunjukkan Produk Domestik Bruto dibagi dengan jumlah populasi rata-rata di tahun itu. Hasilnya secara umum bisa digunakan untuk membandingkan tingkat kekayaan antar mahasiswa walaupun tidak selalu akurat, karena kadang butuh pembanding dari nilai mata kuliah lain. Ah, akhirnya nilai Indonesia bisa di atas Filipina dan Vietnam!

5

Mata Kuliah: Export per capita
Dosen pengajar: Prof. CIA World Factbook
Jumlah mahasiswa: 153 orang.
Nilai median: 617 (Irak)

Ini menilai jumlah ekspor dibagi dengan jumlah populasi rata-rata di tahun itu. Indonesia masih jauh lebih baik dibanding beberapa mahasiswa yang nilainya lebih kecil dari nomor rankingnya.

6

Mata Kuliah: Unemployment Rate

Dosen pengajar: Prof. CIA World Factbook

Jumlah mahasiswa: 199 orang.

Nilai rata-rata kelas: 30%

Kali ini menunjukkan jumlah pengangguran dibanding jumlah populasi, dinilai dalam persentase.

7

Mata Kuliah: Medali Emas Olimpiade (hasil Olimpiade Beijing 2008 tidak disertakan)

Dosen pengajar: Mbah Wikipedia

Jumlah mahasiswa: 205

Walaupun di hampir semua mata kuliah ekonomi Indonesia nilainya jeblok, tidak demikian untuk olahraga. Di mata kuliah Emas Olimpiade Sepanjang Masa, Indonesia bisa cukup bangga dengan 5 (sekarang 6) emasnya (hidup Markis Kido/Hendra Setiawan!).

Buku rapor aslinya bisa diunduh di
mirror (1) (2) (3)

Singapore,
Sabtu, (17+6) Agustus 2008

NB: Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk berbicara sinis tentang Indonesia. Hanya memaparkan realita, kemudian semoga menjadi motivasi bagi kita untuk bangkit. Bangkitlah negeriku, harapan itu masih ada!

Dirgahayu Indonesia!

Labels: ,

Sunday, August 17, 2008

Masalah Kependudukan dan Paradigma Berkeluarga di Singapore


“After all, children cost their parents more in food and college tuition than they bring in.”

Tingkat kesuburan (fertility rate) adalah salah satu data penting yang digunakan untuk mengetahui karakteristik demografi suatu objek. Misal, Mali yang tercatat berangka 7,34 menunjukkan bahwa setiap wanita di sana melahirkan sebanyak rata-rata 7,34 kali sepanjang hidupnya. Ini adalah angka tertinggi di dunia. Sekadar informasi, angka rata-rata tingkat kesuburan dunia adalah 2,58.

Untuk negara seperti Indonesia dengan tingkat kesuburan 2,34 (tahun 2008), masalah berkurangnya jumlah populasi barangkali tidak pernah terlintas dalam benak para pengambil kebijakan. Tetapi lain halnya dengan negara-negara maju seperti Jepang (tingkat kesuburan 1,27), Jerman (1,36), Korea Selatan (1,21), atau pun Singapore (1,29) karena tingkat kesuburan minimal yang dibutuhkan negara maju agar populasi tidak berkurang drastis dalam jangka panjang adalah sekitar 2,1. Dan jelas, empat negara tadi adalah sedikit dari banyak negara-negara maju yang terancam masalah kependudukan di masa depan.

Memangnya seberapa krusial masalah ini?

Di Korea Selatan, seperti diberitakan Korean Times akhir tahun lalu, 32 persen sekolah dasar di Korsel terpaksa tutup karena begitu rendahnya angka kelahiran.

Sebuah artikel di The New York Times membahas tentang angka 1,29 bagi Singapore. Dengan angka sekecil itu, diproyeksikan populasi negara mini yang jumlah penduduknya setengah dari Jakarta ini akan menciut hingga setengahnya dalam 45 tahun. Lebih jauh, efek penurunan tajam ini disebut mustahil untuk diperbaiki seperti semula.

Pemerintah Singapore bukan berarti berpangku tangan terhadap fakta ini. Sudah berjalan 20 tahun sejak pertama kali Singapore menerapkan kebijakan-kebijakan seputar penambahan jumlah populasi. Harapannya jelas untuk memotivasi masyarakat untuk memiliki anak, tapi kenyataannya hingga saat ini belum memuaskan. Justru beberapa parameter lain mengalami penurunan: rata-rata umur ibu yang melahirkan anak pertama menjadi 29,4 tahun. Pasangan suami istri juga menunggu rata-rata 28 bulan sebelum memiliki anak pertama.

Padahal kalau mau disebut, kebijakan-kebijakan pemerintah perihal kelahiran anak ini akan membuat jutaan ibu Indonesia melongo tidak percaya. Betapa tidak—di tahun 2004, Perdana Menteri Lee Hsien Loong menyebut bahwa anggaran pemerintah sebanyak 300 juta SGD disisihkan untuk keperluan insentif-insentif bagi keluarga. Di antaranya, ada kebijakan baby bonus: pemerintah akan memberi bonus tunai 3000 SGD bagi setiap keluarga untuk kelahiran anak pertama dan kedua, serta 6000 SGD untuk anak ketiga dan keempat.

Belum cukup sampai di situ, kemudahan-kemudahan bagi ibu yang melahirkan pun diberikan. Jika sebelumnya cuti melahirkan bagi ibu yang bekerja hanya boleh sampai 8 pekan, sejak 2004 lalu ditambah menjadi 12 pekan. Orang tua pun diberikan insentif berupa potongan pajak penghasilan hingga 10 ribu SGD untuk anak kedua dan 20 ribu SGD untuk anak ketiga dan keempat. Daftar ini sebenarnya hanya beberapa dari insentif-insentif lain yang kebih banyak lagi.

Tapi sayangnya, memang semua itu belum berhasil. Untuk bisa mencapai "angka keramat" 2,1 berarti harus ada 60 ribu bayi setahun. Sedangkan angka tahun lalu saja hanya 39.490, dengan kecenderungan menurun setiap tahunnya. Keluarga dengan dua anak adalah komposisi yang terbanyak di Singapore saat ini menurut sebuah survei.

Masalahnya di mana?

Paradigma mungkin. Saya mengutip beberapa pendapat orang Singapore yang dikutip The Straits Times 12 Juli 2008:

Karen (bukan nama sebenarnya), 30, direktur di sebuah perusahaan berkomentar, “After all, children cost their parents more in food and college tuition than they bring in.”

“If people want to maximize their subjective well-being, they should stop at one. Progression from one to two children has ramifications for the family finances, time use and the socialization for the parents, and the well-being of the child … I want to nurture myself without neglecting my daughter.”

Walaupun ini hanya pendapat satu orang, jangan kaget kalau ternyata pendapat ini diakui mewakili pemikiran sebagian besar orang Singapore. Pemikiran seperti ini sebenarnya tidak muncul secara tiba-tiba, karena bisa jadi faktor lingkungan adalah yang terbesar yang melahirkan banyak orang dengan pemikiran seperti itu secara pelan-pelan tanpa disadari.

Di Singapore, normanya adalah suami istri bekerja dua-duanya untuk sebuah gaya hidup yang meliputi mobil, wisata tahunan ke luar negeri, dan les-les tambahan untuk pelajaran, musik, dan lainnya bagi anak.

Nuansa persaingan karir di level korporat juga seperti tidak ada henti. Ini membuat pasangan suami istri yang bekerja berpikir bahwa memiliki anak berarti opportunity cost yang sangat besar menanti mereka.

“With three months maternity leave, morning sickness and numerous medical certificates, a mum will be less productive than a peer who is free of the above. Children can slow a woman’s climb up the career ladder,” komentar seorang manajer finansial, 29 tahun.

Memang tidak semua orang Singapore seperti itu. Toh ada juga keluarga yang beranak lebih dari dua, seperti kisah suami istri Peter dan Jilyn Tan yang dianugerahi lima anak.

Harus diakui, resikonya bagi mereka, banyak kemewahan-kemewahan yang harus mereka lupakan, seperti liburan tahunan ke Indonesia atau Malaysia seperti para tetangganya. Anak pertama mereka juga harus rela tidak ikut kursus musik dan sebangsanya di saat kebanyakan teman-temannya ikut. Untuk menghemat uang, mobil serba guna berkapasitas tujuh orang yang awalnya mereka miliki juga terpaksa diganti dengan yang lebih sederhana, Nissan Sunny yang hanya muat untuk 4-5 orang.

Tapi Mrs. Jilyn Tan berkomentar bahwa tidak pernah terpikir penyesalan sedikit pun di benaknya, “The pleasures of seeing them grow up—you can’t put a price to that.”

Singapore,
Sabtu, 16 Agustus 2008

Sumber:
The Straits Times 12 Juli 2008, The State's Lulaby: Baby, come Back,
Wikipedia, List of countries and territories by fertility rate
Kompas.com, Krisis bayi di Korea Selatan

Yang juga menarik:
Link, Irwan Prayitno anaknya 9!
Kompas.com, Indonesia Terancam Baby Booming

Labels: ,

Tuesday, August 05, 2008

Kampung Mandiri di Pinggiran Depok

“Di saat orang-orang baru membicarakan pentingnya go green lewat seminar-seminar, kami sudah lama mempraktekkannya.” Bertambah satu lagi tempat wisata Kota Depok setelah Masjid Kubah Emas: Kampung 99 Pepohonan.

Kedatangan saya dan keluarga disambut hangat oleh seorang wanita ramah di usia kepala tiga. Dia memerkenalkan diri sebagai Mbak Nia.

Sepintas memang tidak ada yang spesial dari kampung ini. Dari depan hanya tampak sebuah lapangan rumput yang luas, pepohonan jati yang rindang mengelilinginya, serta sebuah rumah kayu yang belakangan saya ketahui sebagai restoran dan musholla.

Hanya setelah Mbak Nia mengajak kami berjalan menyusuri jalan setapak dari rumah ke rumah di lahan seluas 5 hektar itulah saya baru bisa membayangkan betapa menariknya kehidupan 10 keluarga sanak saudara Mbak Nia di Kelurahan Meruyung itu.

Saya langsung terkesima. Konsep Kampung 99 Pepohonan yang lebih dikenal sebagai Kampung Rusa ini sebenarnya sederhana. Mereka membuat sebuah keluarga yang bisa memenuhi kebutuhan pangan sehari-harinya sendiri. Beras: mulai dari menanam padi hingga memanen mereka lakoni sendiri; susu: mereka punya sapi dan kambing yang diternakkan untuk diperah; sayur-mayur: ini pun mereka tanam sendiri. Karena memang semuanya diusahakan sendiri, tidak ada kata bahan pengawet dalam kamus mereka. Begitupun untuk pupuk dan pakan ikan, selalu kotoran hewan ternak yang mereka gunakan. Semua serba organik! Oh ya, dan tidak ada yang merokok di keluarga ini.

Diawali oleh satu keluarga yang ingin hidup dekat dengan alam, mereka kemudian membeli tanah di Meruyung, membangun rumah, dan mengembangkan lahan yang ada. Setelah merasa nyaman, mereka mengajak sanak saudara yang lain untuk juga pindah dan tinggal di situ.

Semua rumah berbahan dasar kayu. Lingkungannya dikonsep supaya tidak berpagar dan bisa menyatu dengan penduduk sekitar. Masing-masing rumah biasanya diberi “fungsi” masing-masing. “Ada rumah yang dijadikan pusat mencuci piring, pakaian; ada juga rumah yang dijadikan pusat memasak. Ini karena biasanya masing-masing penghuni rumah memiliki keahlian atau hobi tertentu. Sehingga, biar efektif, kami membuat sistemnya terpusat seperti itu,” jelas Mbak Nia.

Lebih jauh, Mbak Nia kemudian menunjukkan kandang hewan ternaknya. Ada rusa, sapi, dan kambing. Dari peternakan inilah mereka setiap harinya bisa memproduksi susu, mengolahnya menjadi yogurt, dan lain-lain. “Kami juga punya rencana untuk membeli sapi perah dari Australia. Tapi rupanya harganya mahal,” terangnya.

Yang juga menarik, tampaknya potensi SDM keluarga besar yang senang kedatangan tamu itu benar-benar dimanfaatkan dengan baik. Ada yang latar belakangnya ilmu pangan lulusan IPB, sehingga ilmunya langsung dipraktekkan dengan menghasilkan produk-produk seperti yogurt, cuka apel, dan sebagainya. Ada yang punya keahlian beternak ikan, makanya dibangunlah tambak ikan. Ikan patin, bawal, gurami adalah beberapa di antara yang diternakkan.

Memang tidak terlalu berlebihan kiranya jika Kampung Rusa ini disebut kampung yang mandiri. Kehidupannya sangat produktif, bukan konsumtif.

Benar, saya terkesima. Baru diajak berputar-putar sejenak saja saya sudah yakin bahwa Kampung 99 Pepohonan ini menyimpan potensi yang luar biasa untuk tempat pariwisata. Tapi bukan cuma pariwisata alam biasa, tapi lebih ke arah pariwisata pendidikan. Saya membayangkan anak-anak sekolah dibawa ke tempat ini untuk disuguhi kegiatan-kegiatan yang tidak pernah mereka temui sehari-hari di kehidupan anak kota: membajak sawah, menangkap ikan, memandikan kerbau, membuat cincau, membuat kue serabi, dan sebagainya.

Selepas berputar-putar di area 5 hektar itu, kami yang kembali ke area restoran disambut oleh seorang petugas Pemerintah Kota (Pemkot) Depok dari Kantor Pariwisata, Seni, dan Budaya dengan senyumnya yang lebar. Sebutlah namanya Mas Satria.

Seperti saya yang terkesima pada Kampung Rusa, Pemkot Depok pun tampaknya demikian. Menjadikan Masjid Kubah Emas dan Kampung Rusa sebagai bagian dari objek wisata yang dijual, mereka terlihat cukup serius untuk memajukan sisi pariwisata Kota Depok dengan membuat pos-pos Tourist Information Center (TIC) di setiap kecamatan. Dalam hal ini Mas Satria lah yang ditugaskan untuk menjaga TIC Limo yang memang ditempatkan di area Kampung Rusa ini.

Sembari menunggu susu kambing dan yogurt diracik di dapur, Mas Satria menjadi teman ngobrol kami. Pengembangan sektor pariwisata Kota Depok menjadi topik yang diangkat.

“Konsepnya, kita pingin orang-orang yang pergi mengunjungi Masjid Kubah Emas akan mengunjungi tempat ini, lalu mengetahui informasi-informasi tentang tempat wisata lainnya di Kota Depok,” jelasnya panjang lebar. Tak lupa ia juga menunjukkan beberapa brosur pariwisata. Ada juga semacam buklet resmi dari Pemkot, serta peta Kota Depok beserta “tempat-tempat wisata andalan”.

Selesai mendengar penjelasan Mas Satria, saya berpikir. Rasanya masih butuh waktu yang lama sampai tempat-tempat wisata di Depok bisa dikunjungi dengan nyaman oleh para wisatawan. Alasannya sederhana saja: akses ke tempat wisata andalan masih sangat buruk.

Kampung Rusa dan Masjid Kubah Emas adalah contoh riil. Bagi orang Depok kebanyakan, kemacetan yang mereka alami sepanjang Raya Sawangan dan Limo bisa jadi sangat menjengkelkan sehingga mengurungkan niat mereka mengunjungi Masjid Kubah Emas. Fly over di Jalan Arif Rahman Hakim memang sangat membantu, tapi tidak berpengaruh pada macet di Jalan Dewi Sartika. Jalan Limo Raya juga terkenal kurang lebar padahal ini adalah jalur utama akses menuju Masjid Kubah Emas dan Kampung Rusa. Jika ada bus besar rombongan pariwisata—kini semakin sering lewat— tidak jarang arus lalu lintas menjadi tersendat.

Akses dari Cinere pun setali tiga uang. Ruas Jalan Limo Raya dari perbatasan Depok-Jakarta sampai dengan wilayah SMA 6 Depok sudah rusak parah di beberapa titik. Jalan yang berlubang memaksa mobil untuk berjalan melambat dan menciptakan antrian panjang kendaraan.

Mas Satria saya perhatikan merogoh sakunya. Sebatang rokok kemudian dihisap pelan-pelan. Saya hanya tersenyum dan membatin, “Rupanya semua hal di Kampung Rusa alami kecuali ini.”

Singapore,
Sabtu, 2 Agustus 2008

Tautan:
Membangun Surga di Meruyung
Blog Kampung 99
Teduhnya Kampung 99 Pepohonan

Labels: ,

Tuesday, July 15, 2008

Tentang Pelatih

“Saya percaya 95% kesuksesan Spanyol di EURO 2008 adalah berkat para pemain, dengan Luis Aragones berperan untuk 5%-nya …” jelas Maria Villar, presiden RFEF, PSSI-nya Spanyol. Sebenarnya seberapa pentingkah peran seorang pelatih?

Ada sebuah pendapat: Kalau kita lihat sepakbola secara mikro—pertandingan per pertandingan—sangat terlihat bahwa peran pelatih sebenarnya tidak terlalu menentukan dalam kemenangan sebuah tim.

Mari kita ingat sejenak momen kemenangan dramatis Manchester United 2-1 di Liga Champions 9 tahun silam. Stadion Nou Camp menjadi saksi sejarah gol-gol Teddy Sheringham dan Ole Gunnar Solskjaer di menit-menit akhir babak kedua setelah sebelumnya MU tertinggal oleh gol Mario Basler di menit ke-6. Sepanjang pertandingan MU menguasai ball possession, tapi tidak berhasil menciptakan peluang yang bersih di depan gawang Bayern Munich sebelum dua gol penentuan itu. Malah, Munich yang sesekali melakukan serangan balik justru lebih merepotkan Jaap Stam dan kawan-kawan.

Di menit 67 Ferguson memasukkan Sheringham. Lalu kemudian di menit 81 Solskjaer turut serta. Memang, ini bisa dilihat sebagai perubahan strategi Ferguson yang pada akhirnya menempatkan tiga penyerang sekaligus dan merubah gaya permainan. Tapi bagaimana kita menjelaskan peran Ferguson atas kedua gol Sheringham dan Solskjaer di menit-menit akhir?

Jika saja Sheringham saat itu telat 1 detik menyambut bola umpan dari Giggs, tentu ceritanya lain. Begitupula jika Solskjaer terpeleset sedikit saat mengayunkan kaki untuk menyentuh bola sundulan Sheringham. Jadi, yang terlihat jelas adalah jasa Sheringham dan Solksjaer, bukan Ferguson.

Sekarang, ada pendapat kedua bahwa peran pelatih lebih terlihat di tataran makro. Rafael Benitez di Liverpool menjadi contoh. Liverpool yang di musim-musim sebelumnya hanya dianggap sebagai tim “kelas dua”, sejak ditangani Benitez langsung berubah drastis dengan menyabet juara Liga Champions di tahun pertama kepelatihannya. Ya, kini terlihat peran nyata seorang pelatih.

Susahnya jadi seorang pelatih

Posisi seorang pelatih sangat rentan terhadap kritik. Bisa dari pemain, pemilik klub (atau asosiasi sepakbola negara), para penggemar, dan tentu saja media. Bagi pemilik klub dan penggemar, bagus tidaknya pelatih hanya dilihat dari prestasi tim. Ini harga mati.

Menariknya, jika sebuah tim memiliki performa buruk, biasanya yang pertama kali disalahkan adalah pelatihnya. Kita bisa berimajinasi sedikit dengan contoh Ferguson yang tadi disebut. Ferguson oleh banyak kalangan dianggap jeli dan berani melihat peluang untuk memasukkan kedua pemain super-sub, Sheringham dan Solskjaer. Ini peran dia dalam terciptanya kedua gol itu. Tapi toh jika ternyata dua gol itu gagal tercipta, tidak akan ada pihak yang serta merta memuji strateginya. Kemungkinan, justru dia akan dikritisi: Kenapa Beckham dimainkan di tengah, tidak di kanan sejak awal? Kenapa tidak memainkan Solskjaer dari awal? Kenapa membiarkan tim kehilangan konsentrasi di awal-awal pertandingan? Dan saya yakin masih banyak lagi kemungkinan “kesalahan” Ferguson.

Ah, kasihan sekali memang seorang pelatih. Jika performa tim buruk, pemain akan tetap bermain, pemilik tidak tergoyahkan posisinya, penggemar akan tetap mendukung tim kesayangannya. Tapi pelatih? Tentu saja akan kehilangan kursinya. Tidak heran jika per 2006, rata-rata ada 40 pemecatan pelatih di kompetisi Liga Inggris di semua divisi per tahunnya.

Apa tugas dan peran pelatih?

Bersama timnya—terkadang terdiri dari asisten pelatih, pelatih tim utama, pelatih tim cadangan, pelatih kiper, fisioterapis, kepala pencari bakat (chief scout)—pelatih (atau manager di Liga Inggris) bertanggung jawab atas sebuah tim.

Pelatih yang bertanggung jawab penuh atas jadwal dan metode latihan, nutrisi dan kebugaran pemain, seleksi pemain sebelum pertandingan, strategi, dan mental pemain saat pertandingan.

Mengenai mental pemain, pelatih sebenarnya punya peran yang cukup dahsyat saat jeda pertandingan 15 menit, karena ia berada di luar lapangan dan bisa mengamati jalannya pertandingan selama babak awal. Sehingga, di satu-satunya momen saat sang pelatih bisa bertatap muka langsung dengan semua pemainnya itu, ia sebenarnya bisa berbuat banyak: membicarakan strategi, apa yang salah selama babak pertama, pengaturan tempo, dan—ya, termasuk menggenjot mental pemain.

Dikisahkan saat Liverpool menghadapi Milan di partai final Liga Champions 2005, ketika jeda, Gerrard mengutarakan keputusasaannya di ruang ganti setelah timnya tertinggal tiga gol di babak pertama. Tapi Benitez tetap terlihat percaya diri, “Cobalah cetak satu gol dan kita lihat apa yang terjadi.” Maksud pesannya adalah agar pemain Liverpool bisa membuat sang lawan gugup.

Pada akhirnya sejarah panjang Liga Champions mencatat partai final itu sebagai salah satu yang bersejarah setelah Liverpool mengejar ketertinggalan tiga gol dan berbalik menang lewat adu penalti.

Tantangan utama

Menurut beberapa literatur yang saya baca, tantangan utama seorang pelatih justru bukan berasal dari lapangan, melainkan dari luar lapangan—semua hal non teknis.

Bagaimana menghadapi sorotan dan kritikan pihak luar, terutama media, adalah satu hal. Tapi ada banyak hal lain yang menyangkut pemain. Di antara masalah yang umum adalah mengurus pemain yang sudah di ambang masa pensiun—tentang kontrak dan lainnya. Seorang pelatih pun bisa saja mengurusi masalah perkawinan seorang pemain yang tidak harmonis. Belum lagi kalau ada pemain yang bengal di kehidupan sosial sampai berurusan dengan polisi, seperti kasusnya Joey Barton.

Terkadang, dinamika tim pun bisa sangat ekstrim dengan adanya faktor senioritas pemain tua terhadap pemain muda. Ini bisa jadi penghambat kemajuan para pemain muda.

Kalau sebuah tim sangat heterogen seperti Arsenal yang tim utamanya berasal dari 17 negara yang berbeda, satu masalah tambahan muncul: adaptasi. Bisa dibayangkan betapa hebatnya seorang Arsene Wenger yang bisa membuat sebuah tim multinasional dengan berbagai perbedaan seperti itu bermain dengan kompak.

Menjadi jelas sekarang kenapa memiliki kemampuan dan pengetahuan sepakbola yang dalam saja tidak cukup untuk menjadi seorang pelatih yang sukses. Bahkan ditambah pengalaman pun belum menjamin kesuksesan, karena itu semua masih seputar kemampuan teknis.

Ada faktor non teknis yang membuat pelatih semacam Jurgen Klinsmann bisa sukses membawa Jerman ke semifinal Piala Dunia 2006 walaupun awalnya banyak pihak yang meragukan kualitas komposisi tim Jerman saat itu. Kharisma. Dan pelatih harus disegani dan dihormati oleh para pemain. Ini yang membuat pelatih semacam Alex Ferguson bisa sukses di Manchester United. Ini juga yang membuat Steve McClaren dipecat walaupun baru setahun menjadi arsitek tim nasional Inggris.

Roy Keane menyebut satu faktor non teknis yang membuat Inggris gagal melaju ke putaran final EURO 2008, “Terlalu banyak ego para pemain Inggris yang terlibat, dan itu membuat mereka membayar mahal.” Kharisma McClaren tidak cukup untuk bisa memperoleh respek dan menyatukan para “artis” Inggris semacam Beckham, Gerrard, Lampard, Cole, Owen menjadi satu tim yang padu luar dalam.

Aragones?

Kembali ke Aragones. Bukan pekerjaan semalam dua malam kalau kita lihat sekarang Spanyol bisa juara EURO 2008. Empat tahun sudah Aragones memimpin tim Spanyol. Gagal di Piala Dunia 2006, tapi prestasi Spanyol sedikit demi sedikit mulai stabil setelahnya.

Seperti layaknya pelatih negara besar Eropa lainnya, Aragones pun tidak jauh dari kritik dan sorotan tajam media. Keputusan paling berani Aragones—yang ditentang banyak pihak di Spanyol—adalah keberaniannya tidak membawa Raul ke skuad Spanyol untuk EURO 2008. Padahal Raul adalah pencetak gol terbanyak tim nasional Spanyol sampai saat ini, dan masih produktif di Real Madrid. Tapi toh nyatanya publik Spanyol sekarang bungkam dan terkesima dengan duet anyar David Villa dan Fernando Torres.

Jadi bagaimana? Secara pribadi, saya percaya Aragones punya kontribusi yang signifikan, baik dari segi teknis mapun non teknis, dalam sukses Spanyol di tahun ini walaupun tampaknya Villar berpendapat lain.

Ah, bagaimana pun Aragones bisa menimpali Villar begini, “5% tidak apa-apa bagi saya. Anda sendiri berapa persen?”

Singapore,
Selasa, 15 Juli 2008

NB: Penulis adalah penggemar timnas Inggris. Penulis hanya seorang penikmat sepakbola tanpa pengalaman kepelatihan. Mohon maaf kalau ada info yang tidak akurat.

Bahan bacaan:
Aragones Played a Small Part in Spain's EURO 2008 Success; Goal.com
Football Coaching, Half Time Psychology; Peak Performance Online

Labels: ,

Tuesday, July 08, 2008

Terima Kasih, Bo!

Kalau Superman memakai kaos yang bertuliskan huruf “S”, kenapa Batman nggak memakai yang bertuliskan “B”? Soalnya sudah dipakai sama Bobo.

Dua pekan lalu saya merogoh kocek 8.500 Rupiah untuk sebuah nostalgia. Dengan penuh harap untuk mengenang kembali masa-masa kecil dulu, satu demi satu lembar halaman majalah yang kini semuanya sudah berwarna itu saya balik.

Tapi memang benar ini adalah nostalgia. Karena pertemuan saya dengan majalah Bobo kali ini seperti laiknya pertemuan saya dengan seorang sahabat yang sudah tidak bersua lima tahun.

Dan benar saja, hampir setengah jam ke depan, tanpa saya sadari senyum saya mengembang sembari melihat halaman-halaman majalah Bobo edisi 26 Juni 2008. Banyak emosi yang luber, tercurah kepada sahabat saya itu.

Tidak banyak yang berubah. Pertama saya mengamati sampulnya. Memang ilustrasi tokoh Bobonya sedikit berubah—bisa jadi karena ilustratornya berubah juga—tapi citra dan logo Bobonya tetap sama. Berada di pojok kiri atas, berwarna-warni dengan slogan Teman Bermain dan Belajar yang ditempatkan tepat di bawahnya. Tampaknya branding inilah yang terbukti selalu melekat dalam ingatan saya dan ribuan—atau bahkan jutaan—anak Indonesia lainnya, sehingga diletakkan di mana pun di rak penjaja majalah di pinggir jalan, saya dulu tidak pernah gagal untuk menemukan majalah yang sudah berumur 35 tahun ini.

Branding Bobo memang luar biasa. Bisa jadi, seperti saya, Anda pun masih terngiang jingle Bobo yang sempat secara berkala muncul sebagai iklan di TV. Bobo// teman bermain dan belajar// Be-o-be-o/ Bobo!// Asyik lo, kalau di rumah ada Bobo ...

Berikutnya sejenak saya mengamati 2 halaman rubrik Apa Kabar, Bo? Banyak pertanyaan-pertanyaan dari anak-anak yang kalau saya yang sudah akan menginjak usia 22 tahun ini membacanya, mau tidak mau akan terpaksa tersenyum. Kata salah satu surat yang dimuat, “Bo, bagaimana caranya kalau mau dapat sahabat pena?” Redaksi Bobo dengan sabar menyarankan sang penanya untuk mencoba mengirimkan surat ke beberapa nama anak yang juga mengirim surat ke Bobo.

Beberapa halaman dari rubrik Apa Kabar, Bo? saya temukan rubrik Arena Kecil. Senyum saya semakin mengembang sembari mengikuti kisah seorang anak yang diajak tantenya pergi ke kebun binatang.

Beberapa menit berikutnya saya habiskan untuk mengikuti kisah-kisah di rubrik Cerpen dan Dongeng. Ada dua cerpen dan satu dongeng untuk edisi kali ini. Saya berharap menemukan penulis favorit saya dulu, seperti Ny. Widya Suwarna (saya termasuk yang banyak dihibur dan dididik dengan kisah-kisah beliau), Benny Ramdhani, atau Kemala P., tapi rupanya tidak saya temukan di edisi itu. Entah barangkali mereka semua sudah tidak menulis cerita anak-anak lagi, dan kini diganti nama-nama baru. Tapi yang jelas nama-nama tadi begitu lekat di memori saya dan banyak membantu memercikkan semangat saya untuk belajar menulis-nulis cerpen atau dongeng sejak SMP.

Dan—ya, saya jadi teringat rubrik Sayembara Bobo dan Uji Imajinasi! Memang, dibandingkan cerpen dan dongeng yang hanya sesekali saya buat dan saya kirim, kedua rubrik itulah yang lebih banyak memaksa saya mengayuh sepeda dari rumah menuju kantor pos untuk mengirim kartu pos-kartu pos berisi jawaban TTS, dan lainnya. Saya masih ingat menggunting kupon TTS dan UI, melekatkannya pada kartu pos, menulis jawaban di lembar belakangnya, dan memasukkannya bersama kartu pos untuk teka-teki lainnya sekaligus ke dalam amplop sebelum melekatkan perangko 300 Rupiah dan memberikannya ke loket di Kantor Pos. Masa-masa itu adalah saat saya masih SD dan SMP.

Selesai mengamati Sayembara Bobo (ah, ke mana perginya Sayembara Bibi Titi Teliti?), langsung saya ikuti cerita-cerita bergambar khas majalah Bobo: Ceritera dari Negeri Dongeng dengan Oki dan Nirmalanya; Paman Kikuk, Husin, dan Asta; Bona, Gajah Kecil Berbelalai Panjang; dan tentu saja Bobo dengan Bapak, Emak, Upik, Coreng, dan lainnya.

Komentar saya cuma satu: Kok tidak kehabisan cerita ya? Memang dulu saya juga pernah membatin serupa ketika SMP, tapi kini ketika melihat cerita-cerita itu masih bertahan, kekaguman saya semakin bertambah.

Secara santai saya mengikuti kisah paman Kikuk yang diceritakan sedang berwaspada terhadap copet di tempat umum. Ketika di jalan, ketika di bus, ketika di kereta, sikapnya selalu siaga. Lirik kiri-kanan, sampai akhirnya kondektur yang mencolek bahunya pun dibanting. Keluarga Bobo, di halaman yang lain, diceritakan sedang merencanakan mengadakan konser musik.

Tokoh-tokoh rekaan tadi semua adalah bagian yang tak terpisahkan dari majalah Bobo. Mereka semua membentuk cerita, menyampaikan pelajaran, dan membentuk branding Bobo.

Bahkan, kalau menurut saya, “ketokohan” Bobo, Bona, Nirmala, dan Oki sudah bisa disamakan dengan Donal Bebek—tentu saja di level nasional. Sehingga, saya bisa bilang bahwa bila Disney punya Donal Bebek dan Miki Tikus, dan Jepang punya Doraemon; Indonesia punya Bobo dan kawan-kawan. Dan tampaknya pengembangan tokoh-tokoh Bobo dikerjakan dengan serius oleh majalah Bobo dengan program-program seperti Operet Bobo, Bobo Fair, Sanggar Bobo, dan lainnya. Ekstensi produk dengan peluncuran majalah Kreatif (Bona dan Rongrong), majalah Oki-Nirmala juga menjadi salah satu cara.

Cukup banyak ilmu dan inspirasi yang saya dapatkan dari membaca Bobo selama ini. Dari membaca satu edisi itu saja, saya jadi tahu bahwa bola mata manusia tidak pernah bertambah besar sejak kita lahir. Dan konon katanya kita selalu menutup mata ketika bersin. Dari membaca cerpen dan dongengnya, kembali saya bersemangat untuk menulis. Dan tentu saja inspirasi untuk menulis tulisan ini datangnya dari membaca Bobo.

Untuk sahabat yang telah menemani saya bermain dan belajar sejak paruh kedua SD hingga awal SMA, saya ucapkan terima kasih yang tulus.

Terima kasih, Bo!

Singapore,
Senin, 7 Juli 2008

NB: Gimana kalau Bobo bikin rubrik Terima Kasih, Bo!? Isinya tentang kesan-kesan pembaca “seniornya”. Kelihatannya menarik :)

Tautan:
Belajar inflasi lewat galeri Bobo (wajib buka)
Cerpen Ny. Widya Suwarna yang diceritakan kembali: Cleaning Girl (baca deh)
Cerpen lainnya oleh Ny. Widya Suwarna: Tiga Hati Penuh Kasih, Tersinggung Pada Kuda
Bobo menemani dua generasi

Website Bobo
(kenapa tidak membuat domain sendiri?)

Sumber gambar:
Paper: Majalah Bobo, esnips.com (terima kasih untuk Tomi Ngalusi dan Brahmastagi)

Labels: ,

Saturday, January 19, 2008

Reality Show Bernama Demokrasi

Sudah beberapa bulan terakhir ini berita-berita di media cetak dan elektronik dipenuhi ulasan-ulasan dan analisis-analisis paling aktual tentang pemilu di AS. Di Singapore sendiri, saya perhatikan hampir setiap hari ada tulisan-tulisan baru tentang topik hangat ini. Kalau bukan berita dari hasil kaukus dan pemilu pendahuluan (primary), maka ulasan-ulasan pakar tentang mengapa Obama bisa kalah di New Hampshire, tentang siapa wakil paling potensial dari Republik, dan sejenisnya.

Saya tidak paham bagaimana bisa perhatian saya sampai tersedot ke perkembangan politik AS. Hasil-hasil kaukus dan pemilu pendahuluan di Iowa maupun New Hampshire yang terpampang di koran saya ikuti lekat-lekat. Ketika mendengar tentang “adegan tangisan” Hillary, serta-merta saya cari videonya di Youtube. Lalu saya membaca tentang gaya Obama yang oleh banyak orang disebut kharismatik. Lagi-lagi saya jadi tergoda untuk mengamatinya lewat Youtube. Karena itulah sekarang saya sedikit banyak familiar dengan Huckabee, Giuliani, McCain, selain Obama dan Hillary tentu saja.

Ada perasaan penasaran—itu jelas. Penasaran yang memuncak pada pertanyaan “siapa yang akan memimpin AS dan mempengaruhi dunia 4 tahun ke depan?” Mungkin agak berlebihan, tapi saya merasa bahwa perasaan penasaran ini sedikit banyak mirip dengan perasaan ketika saya mengikuti AFI (Akademi Fantasi Indosiar) beberapa tahun lalu. Semuanya memuncak pada “Mawar, Veri, atau Kia?” Atau juga saat mengikuti Singapore Idol tahun 2006 lalu dengan Hady Mirza dan Jonathan Leong-nya

Ketika kali pertama AFI muncul dulu, gaungnya sampai ke mana-mana. Yang menikmati bukan hanya anak-anak muda, tapi saat itu bisa dengan tiba-tiba ada sekelompok wanita setengah baya yang menjadi pendukung Veri atau sekelompok anak-anak yang berjingkrak-jingkrak sambil berteriak-teriak “Mawar … Mawar” di depan layar TV mereka.

Kalau dipikir-pikir, setidaknya ada 2 hal yang menjadikan acara reality show jenis kontes terlihat begitu menarik. Pertama adalah faktor kejutan yang ditawarkan di setiap episodenya. Tidak salah, karena yang paling menarik di AFI adalah masa-masa eliminasi peserta yang menguras emosi sebagian besar orang. Bahkan, saat itu kata “eliminasi” menjadi bahasa sehari-harinya anak-anak. Yang kedua, proses “pengartisan” orang-orang biasa sebagai peserta. Orang-orang dengan segala macam latar belakang yang selama ini belum pernah muncul di TV “diartiskan”. Saya yakin kalau peserta AFI diganti menjadi artis-artis yang sudah sering muncul di TV, maka nuansanya tidak akan sama dengan AFI yang di tahun pertamanya saat itu bisa meledak dengan merebut perhatian 56.1% pemirsa TV di Jabotabek untuk acara puncaknya.

Dan pada akhirnya kepintaran produser dan sutradara dalam mengemas acara lah yang membuat popularitas reality show jenis kontes belum terlihat akan pudar dalam waktu dekat ini. Lihat saja, American Idol sudah mencapai musim ke-7, So You Think You Can Dance masih panjang umur dengan musim ke-3-nya, dan kalau ingin lebih luas lagi bisa menyebut The Apprentice yang memasuki musim ke-7.

Kalau kita perhatikan sedikit lebih seksama, perasaan saya yang menyamakan pemilu AS dengan reality show menjadi cukup beralasan. Dalam banyak hal, kemiripan keduanya menjadi tampak relevan.

Sifat kontes dengan eliminasi-eliminasinya? Oh jelas, yang paling menarik dari Pemilu Amerika justru di situnya. Malah, ada yang bilang kalau pemilu tahun ini adalah yang paling menarik dalam beberapa periode terakhir karena sudah menawarkan ketegangan bahkan sejak pemilihan calon tingkat partai. Belum ada yang bisa memprediksi siapa yang akan memenangkan konvensi Partai Demokrat di bulan Agustus nanti, walaupun di Republik sudah mengerucut ke beberapa nama.

Peserta “reality show” Pemilu AS juga boleh dibilang orang-orang biasa yang sebelum masa kampanyenya di tahun 2007 belum begitu sering muncul di layar kaca maupun media-media lainnya. Hanya setelah berkampanye lah dunia sekarang menjadi tertarik dengan latar belakang Barack Obama, misalnya. Ayah kulit hitam, ibu kulit putih, pernah di Indonesia beberapa lama, dan seterusnya. Mirip dengan tabloid-tabloid gosip yang dulu mengupas Veri dari A-Z. Lulusan STM, anak tukang becak, menjadi salah satu harapan keluarga, dan seterusnya.

Pada akhirnya, Pemilu AS dan juga pemilu-pemilu lain, termasuk yang di Indonesia memiliki batas perbedaan yang semakin tipis dengan reality show. Sama-sama kontes popularitas; hanya kemasannya yang beda.

Tidak ada yang salah dengan kenyataan bahwa pemilu telah menjadi reality show dengan sendirinya. Hanya saja, satu hal yang saya sayangkan adalah bila esensi pemilu benar-benar sama dengan esensi reality show yang hampir semua unsurnya bertujuan hiburan komersial. Politik untuk hiburan? Saya sedikit enggan untuk mengakuinya, tapi kenyataan yang ada di negara kita bisa jadi masih seperti itu.

Sebagian orang menyebut pemilunya kita adalah pesta demokrasi. Dan kalau kita lihat ke jalanan selama pemilu berlangsung, agaknya masyarakat kita benar-benar mengartikan “pesta” dengan makna yang denotatif. Bagi mereka, musim pemilu adalah musim panen uang dan kaos. Sedikit berpanas-panas ria, maka upahnya uang 10 ribu dengan kaos berlambang parpol. Yang sedikit beruntung bisa mendapatkan rompi. Yang punya bisnis percetakan, wah jelas ini laiknya musim panen buah-buahan yang ranum.

Sangat sayang kalau kita menganggap pemilu yang menjadi papan nama demokrasi dilihat tak ada bedanya dengan acara AFI. Padahal uang yang dihabiskan bisa miliaran. PDIP konon menghabiskan 50 miliar untuk belanja iklan TV pada medio 2004. Kalau belanja iklan radio, surat kabar, atribut, transportasi, konsumsi, dan lainnya digabungkan, bisa kita bayangkan berapa sebenarnya “harga” satu kursi di DPR. Pengeluaran AS sendiri untuk Pemilu 2004 lalu mencapai 1.2 milyar Dollar AS.

Idealnya, harus ada manfaat yang diberikan ke masyarakat. Pendidikan politik, lalu proses yang benar, sehingga yang terpilih adalah yang benar-benar berkualitas, diketahui rekam jejaknya oleh orang banyak, dan merepresentasikan pilihan mayoritas.

Tapi rasanya itu masih butuh waktu yang agak lama, terutama masalah pendidikan politik. Perhatikan saja slogan-slogan yang dulu dikumandangkan salah satu pasangan calon di Pilkada Jakarta: “Coblos kumisnya!” Atau mari kita coba telusuri iklan-iklan Pemilu Legislatif dan Presiden 2004 lalu. Ada iklan “Coblos nomor 35; 3 ke kanan, 5 ke bawah” yang masih cukup hangat dalam ingatan kita, lalu ada juga “Ingat, tanggal 5, coblos nomor 5!” dan masih banyak lagi.

Ada pendidikan apa di sana? Tetapi bagaimana pun, kita harus sadar itu adalah cara marketing yang diterapkan oleh tim kampanye parpol-parpol dan calon-calon setelah sekian lama mempelajari demografi beserta karakter calon-calon pemilih. Realitas yang tercermin adalah bahwa calon pemilih kita memang tidak membutuhkan yang mendidik.

Asal ramai, itulah reality show—oh maaf, maksudnya demokrasi.

Singapore,
Sabtu, 19 Januari 2007

Menjelang Kaukus Nevada

Perlu dicoba:
Online flash game: Kung-Fu Election. Credit goes to NEF for the link.
> Ke Google, key in "kung fu election". Pilih yang pertama, AtomFilms. tapi kadang-kadang nggak bisa, jadi silakan klik "cached"nya.
Saya sudah tamat pakai Huckabee dan Edwards :)

Labels: ,

Saturday, January 05, 2008

Dari Naruto Sampai Kairo

Saya benar-benar terbelalak saat anak tetangga yang umurnya belum genap 5 tahun ngobrol nyerocos tentang Naruto sama kakaknya yang baru kelas 3 SD. Bukan tentang ceritanya, tapi sangat menarik saat saya amati mereka mengucapkan istilah-istilah dan nama-nama tokoh dalam bahasa Jepang dengan lancar. Oh ya, saya lupa menyebut kalau mereka perempuan!

Iseng, saya coba masuk ke obrolan mereka.

“Hmm, kalo Mas Radon sih paling suka sama Neji. Jurusnya keren. Apalagi pas berantem sama yang laba-laba itu …”

Ternyata memang langsung ditanggapi sama mereka. “Tapi Neji masih kalah sama Naruto,” cerocos yang kecil.

“Oh iya, itu namanya Byakugan. Tapi jurusnya yang paling keren itu ya Hakke Rokuju Yonsho. Itu artinya apa, Mas?”

Walah, saya bahkan lupa kalau nama jurusnya itu. Artinya? Boro-boro saya tahu.

Di lain kesempatan, saya juga sempat bertemu dengan sekelompok anak-anak yang beda umur. Ada seorang anak SMA kelas 1, seorang anak SMP, dan sisanya kebanyakan SD. Dan Naruto lah yang bisa membawa mereka yang beda-beda itu—juga termasuk saya—ke dalam satu frekuensi obrolan. Kalau diamati, mungkin saat itu terlihat begitu lucu. Anak SD sampai yang kuliah di tahun terakhir membentuk lingkaran dan ngobrol ngalor ngidul tentang Naruto.

Ini wabah Naruto yang baru saya ketahui ketika Desember kemarin ada di Depok.

Yang menarik, saya amati ada satu wabah lagi rupanya yang sedang “panas-panasnya” di Indonesia.

Saat saya baru pulang ke rumah kemarin, ibu saya langsung menodong saya dengan sebuah buku novel bersampul krem, “Baca ini deh.” Adik saya malah sudah membaca yang bersampul hijau saat itu. Saya perhatikan, setiap 5 menit sekali, selalu saja dia mesem-mesem sendiri.

Saat saya sekeluarga mengunjungi rumah om dan tante di Rawamangun, saya dibuat setengah terkejut. Ibu saya ngobrol dengan tante tentang buku itu!

Eh, tiba-tiba adik saya ikutan nimbrung, “Wah, buku ini nggak bagus Tante, bisa ngasih ‘inspirasi’ yang nggak bener buat perempuan.” Tentu saja saya cuma dibuat terbengong-bengong—tidak tahu apa yang dibicarakan.

“Tapi paling seru ceritanya Furqan ya. Kasihan banget dia.” Kemudian obrolan berlanjut menarik. Ada argumen, ada tawa, ada senyum. Semuanya menandakan ke saya kalau buku itu menarik.

Terus terang, saya baru pertama kali mengamati ibu dan tante saya ngobrol membahas cerita cinta anak remaja. Lebih terkejut lagi saat tahu kalau ibu saya dapat novel itu dari tante saya. Oo, rupanya biangnya tante saya tho.

Saya jadi ingat, beberapa pekan sebelumnya saya sempat memberi hadiah novel dengan gampar sampul wanita bercadar ke seorang PLRT di KBRI atas titipan teman. Saya tidak menyangka kalau ternyata buku itu sudah terkenal sampai ke Mbak-Mbak itu. “Wah, saya udah lama nyari-nyari buku ini, Mas,” matanya berbinar “Kalau beli di toko buku kan mahal. Mau nyari pinjeman tapi jarang ada yang punya.”

Lalu, saya juga baru tahu kalau di Gramedia Padang bahkan stok buku-buku itu sudah habis. Sedang menunggu kiriman lagi. Ini saya ketahui saat teman saya yang asli Padang bercerita kalau dia juga “dipaksa” membaca buku itu oleh adiknya yang sudah jadi penggemar berat pengarangnya. Teman saya dari Cilacap konon katanya malalap buku itu semalaman suntuk.

Kesimpulan saya bulat. Ada yang sedang mewabah. Iya, tiba-tiba saja banyak orang yang membicarakan Ayat-Ayat Cinta, Habiburrahman El-Shirazy alias Kang Abik, dan juga dwilogi Ketika Cinta Bertasbih. Belum lagi Fahri, Azzam, Fadhil, dan Anna Althafunnisa. Popularitas Ayat-ayat Cinta kini terangkat lagi menyusul kabar bahwa novel itu difilmkan dengan judul yang sama.

Ketika pertama kali membaca Ayat-Ayat Cinta 2 tahun lalu, saya ingat begitu terkesannya saya dengan deskripsi kota Kairo yang dibawakan oleh Kang Abik. Latar sungai Nil di kota Alexandria, suasana keilmuan di Universitas Al-Azhar, dan juga bagaimana Kang Abik dengan ciamik melukiskan karakter orang Mesir yang keras tapi gampang luluh dengan ayat-ayat Quran. Dan mungkin yang paling membuat saya terkesan adalah tentang kebiasaan orang Mesir membaca Quran di Metro-nya mereka. Dulu ini sempat jadi topik obrolan anak-anak Rohis, seingat saya.

Karena memang jarang sekali budaya pop (entah film, kisah novel, atau apa pun) yang mengambil latar belakang Mesir dengan Al-Azharnya yang beredar di Indonesia, maka saya benar-benar merasa novel Ayat-Ayat Cinta saat itu memberi warna baru bagi orang Indonesia.

Tentang ceritanya yang bertema cinta, saya pribadi kurang begitu sreg dengan itu. Tapi hikmah dan pelajaran yang berceceran dari awal sampai akhir buku-buku Kang Abik—mulai dari Ayat-Ayat Cinta sampai Ketika Cinta Bertasbih—saya akui pantas diacungi jempol.

Mungkin seperti Naruto yang menyampaikan pelajaran tentang kerjasama tim di awal kisahnya. Kisahnya tentang Kakashi yang mengadakan tes awal untuk Naruto, Sasuke, dan Sakura. Mereka yang punya ego dan kepentingan masing-masing disuruh untuk bisa merebut lonceng yang diikatkan di pinggang Kakashi. Bisa ditebak, rupanya pelajaran yang sedang diuji adalah tentang kerjasama tim, bukan yang lain. Saya begitu terkesan saat itu. Kisahnya melekat.

Mungkin juga seperti pelajaran-pelajaran yang ada di Doraemon yang saya ingat sampai sekarang.

Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, dan Kang Abik memang tampaknya ingin menyebarkan hikmah lewat cara populer. Hikmah yang pop, barangkali. Dan saya akhirnya sadar bahwa Kang Abik pun rupanya sama uniknya dengan Naruto—walaupun beda gaya.

Dan saya merasakan itu. Lewat novel-novelnya, Kang Abik mengisahkan kehidupan orang-orang penghapal Quran yang jarang kita bayangkan; kisah orang-orang yang menikah tanpa pacaran sebelumnya; kisah orang-orang yang begitu tinggi semangatnya untuk menuntut ilmu; yang jelas kisah kehidupan orang-orang yang sangat jarang kita jumpai dalam budaya pop Indonesia sekarang, entah itu di TV, novel remaja, novel anak-anak, dan juga kehidupan sehari-hari tentunya.

Tidak sedikit yang termotivasi. “Aku benar-benar jadi termotivasi nih baca buku ini, “ ujar salah seorang teman saya yang membaca Ketika Cinta Bertasbih. Entah termotivasi untuk belajar, menikah, atau lainnya—saya tidak tahu. Tapi semoga motivasi yang positif.

Tidak hanya jadi sumber motivasi, saya yakin begitu banyak orang yang dari tidak tahu menjadi tahu karena membaca novel-novel Kang Abik. Terutama menjadi tahu karena penggalan-penggalan ilmu Islam, mulai sejarah hingga penggalan kaidah fikih, yang juga disampaikan dengan gayanya Kang Abik yang khas. Saya yakin jawaban Anna atas pertanyaan Cut Mala di buku pertama Ketika Cinta Bertasbih lebih lekat dan tidak mudah hilang dibanding bila kaidah fikih itu dijelaskan dalam forum yang lebih serius.

Singapore,
Kamis, 3 Januari 2007

Setelah lama nggak nulis, akhirnya …


Bahan bacaan:
Kisah di balik layar AAC I by Hanung Bramantyo
Ayat-Ayat Cinta made me stronger inside by Muna
AAC dan KCB 1 ada di Singapore Library lo. Cek di sini dan di sini

Labels: ,

Thursday, January 03, 2008

Ibu Sepakbola Sedang Menangis

Malam itu akan menjadi sangat bersejarah bagi orang-orang Inggris. 21 November 2007 di Wembley, Inggris takluk 2-3 dari Kroasia, yang membuat mereka terpaksa merelakan tiket ke putaran final Piala Eropa 2008, yang tadinya sudah di genggaman tangan, ke Rusia.

Gerrard, Lampard, Joe Cole, Beckham—nama-nama besar itu rupanya tidak cukup besar di lapangan untuk mengantarkan kemenangan bagi Inggris.

Reaksi media Inggris pasca-pertandingan sudah bisa ditebak. Kecaman-kecaman bermunculan. Semua mengerucut ke beberapa objek, terutama McClaren yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap hasil buruk itu. “Kenapa bukan Robinson?”, “kenapa Beckham tidak dari awal?”, dan masih banyak lagi.

Yang membuat saya terkejut, rupanya justru penggemar Inggris menanggapi itu dengan bersikap pasif-apatis. Konon selalu saja ada percakapan antar penggemar tentang sepakbola Inggris, pertandingan-pertandingannya di sarana-sarana transportasi umum di London, tapi tidak untuk pagi setelah malam bersejarah itu. Semuanya terdiam.

Lalu, siapa atau apa yang salah dengan tim Inggris sebenarnya? Tidak salah kalau orang banyak yang mengecam McClaren, atau Robinson atau Carson dengan blunder-blundernya yang terkadang bisa merubah arah pertandingan. Roy Keane sedikit berbeda dengan menyorot ego masing-masing pemain Inggris yang menurutnya menjadi penyebab utama.

Tetapi kalau dari pengamatan sederhana saya selama 9 tahun ini—sejak saya mengikuti perkembangan sepakbola Eropa tahun 1998—menurut saya permasalahan di tim Inggris sebenarnya lebih fundamental dibanding sekadar kesalahan pelatih, kesalahan kiper, atau ego pemain. Inggris telah kehilangan kebanggaannya sebagai bangsa pesepakbola.

Menggantikan Kevin Keegan yang berprestasi buruk, Inggris sejak tahun 2001 sampai 2006 mempekerjakan Sven Goran Eriksson sebagai pelatih mereka. Inggris dilatih oleh orang Swedia! Ini salah satu pertanda buruk lunturnya kebanggaan sebuah bangsa sepakbola yang seharusnya punya kultur yang kuat. Saya tidak sedang membicarakan tim seperti Yunani yang boleh dibilang tidak mempunyai sejarah kuat di sepakbola; atau mungkin Jepang yang kompetisi liga profesionalnya saja baru terbentuk sejak 1993; tapi ini Inggris, Bung!

Tidak ada pelatih Inggris yang berkualitas. Itu faktanya, dari sejak saya kenal sepakbola hingga sekarang. Klub-klub teratas Liga Inggris semuanya menggunakan jasa pelatih asing. Alex Ferguson sudah menancapkan akarnya di MU sejak 1986, Arsene Wenger di Arsenal sejak 1996. Chelsea dan Liverpool pun secara terus menerus memakai pelatih asing sejak 90-an.

Kalau ditelusuri, Inggris tidak cuma mengalami krisis pelatih, tapi juga krisis kiper. Malah ini bisa jadi lebih parah kondisinya sekarang dibanding krisis pelatih. 4 klub teratas di Inggris semuanya memakai kiper asing. Bahkan klub-klub papan tengah seperti Everton atau Bolton saja sampai harus berusaha keras mengikat Tim Howard (Amerika) dan Jääskeläinen (Finlandia). Pada akhirnya pilihan kiper bagi timnas Inggris memang hanya tinggal Robinson atau Carson.

Melihat itu semua, saya jadi berpikir—jangan-jangan orang Inggris sekarang ber-mindset “kami tidak akan sukses tanpa orang asing.” Memang ini hanya hipotesis saya, tapi kecenderungan ke arah situ rasanya cukup jelas akhir-akhir ini.

Dulu saat Eriksson diangkat sebagai pelatih Inggris di tahun 2001, masih banyak komentar media yang cukup pedas mengkritik FA atas keputusan itu. Saat itu, bagaimana pun masih banyak orang Inggris yang menginginkan timnas Inggris dilatih oleh orang Inggris sendiri. Tapi kini, saat McClaren dipecat tempo hari, nyaris tidak ada yang tidak mendukung FA untuk mencari pelatih asing. Nama-nama yang muncul pun akhirnya sejenis Capello, Klinsmann, Mourinho, dan Scolari. Itulah, kebanggan bangsa pesepakbola yang semakin luntur.

Cerita di Chelsea pun setali tiga uang. Mourinho dipecat, lalu diganti oleh Avram Grant, orang Israel yang tadinya tidak ada yang kenal, dan kini tiba-tiba muncul ke permukaan. Padahal reputasinya sebagai pelatih bukanlah yang terbaik.

Indikasi tentang mindset itu, dan juga tentang lunturnya kebanggan orang Inggris terlukis jelas di Arsenal, tim multi nasional yang disebut sebagai tim Inggris hanya karena bermain di Liga Inggris.

Arsenal yang sekarang sudah tidak terlihat aneh lagi bagi publik Inggris saat menurunkan 11 pemain beserta 5 cadangannya tanpa seorang pun pemain Inggris. Awalnya media Inggris, dan juga penggemar Arsenal cukup kritis. Debat terjadi di media-media. Ada yang pro, ada yang kontra. Tapi kini sudah terasa biasa. Debat dan kritikan seperti itu sudah lama tidak terdengar lagi.

Yang saya sorot adalah tentang rasa kebanggaan. Biasanya, penggemar sebuah klub akan merasa sangat bangga ketika ada pemainnya yang dipanggil untuk membela timnas. Lalu, bersama para penggemar klub lain, mereka mendukung timnas negaranya, dengan membuang identitas klubnya. Hal seperti ini adalah yang umum terjadi di dunia sepakbola.

Tidak heran pendukung Bolton pernah berkampanye “Nolan for England” di tahun 2006. Mereka akan merasa sangat bangga kalau saja Kevin Nolan yang mewakili Bolton bisa dipanggil timnas Inggris.

Lalu, saat Arsenal sekarang hanya menyisakan Theo Walcott saja di timnya, inilah indikasi yang cukup kuat bahwa pendukung Arsenal telah membuang kebanggan mereka sebagai orang Inggris saat timnasnya bermain.

Secara umum, saya merasa bahwa kegagalan Inggris di tahun 2007 ini bukan kasus instan. Kegagalan tahun 2007 adalah rentetan kegagalan dan degradasi selama bertahun-tahun. Sehingga penyelesaiannya pun bukan dengan cara yang instan. Membayar Fabio Capello mahal-mahal belum tentu menyelesaikan masalah. Sebuah pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi bangsa Inggris, kalau seandainya mereka masih memiliki kebanggaan sebagai bangsa pesepakbola.

Dulu di tahun 1998, saya percaya kalau Inggris akan juara dunia di tahun 2006. Tapi permainan Inggris justru semakin menurun. Ironisnya, permainan terbaik Inggris dalam 9 tahun terakhir ini dalam pengamatan saya adalah di Piala Dunia 1998. Itu adalah generasinya Shearer, Ince, Adams, Seamen, di bawah asuhan Glenn Hoddle.

Saat itu, saya percaya—atau mungkin berharap—masanya Inggris adalah di tahun 2006. Tapi kalau melihat kondisinya sekarang, angan-angan itu rasanya masih sangat jauh.

Singapore,
Senin, 3 Desember 2007

Hanya curahan hati seorang penggemar Inggris

NB: Tulisan ini dibuat sebelum Capello ditunjuk sebagai pelatih Inggris

Labels: