Delicate, Delightful, Delicious
~A Blog

Sunday, July 30, 2006

Berbaik Sangka Kepada Indonesia

Saya pernah ngobrol dengan teman saya dari Vietnam. Saya tanya, “Vietnam itu gimana sih ?”

Lalu dia membalas, “apa yang kamu tahu tentang Vietnam ?”

Alisku terangkat. Hmm, “nggak banyak,” timpalku. “Paling Hanoi dan Ho Chi Minh City saja.”

“Ya, itulah Vietnam,” katanya.

Dia kemudian bercerita panjang lebar tentang Vietnam dan pembangunan yang nggak merata. Bahwa di antara 2 kota besar itu boleh dibilang masih membentang hutan-hutan yang masih lebat. Bahwa masyarakatnya nggak teratur. Bahwa pendidikannya pun masih acak-acakan.

Lalu, di kesempatan lain, saat saya tanya keadaan India ke teman India saya, jawaban dia pun setali tiga uang dengan orang Vietnam—lebih kurang ceritanya berkisar dari transportasi publik yang sistemnya amburadul, korupsi yang merajalela, dan sebagainya. Uniknya, India sekarang ini adalah termasuk negara yang pertumbuhan ekonominya paling pesat selain Cina. Di Singapore, pertumbuhan jumlah orang yang belajar bahasa Hindi semakin meningkat, terutama di tahun 2006 ini (link). Tentunya buat mengantisipasi eksodus bisnis Singapore ke India. Google pun punya kantor cabang di Bangalore, India—satu-satunya di Asia. Bukan di Singapore, bukan pula di Jepang. Entah apa pertimbangannya. Sehingga, banyak orang percaya bahwa politik dan bisnis itu hal yang nggak ada sangkut pautnya di India. Politik boleh seperti kapal pecah, tapi bisnis jalan terus, begitu kata mereka.

Lalu, bagaimana dengan orang Indonesia ketika ditanya tentang negaranya ? Ya, hampir sama, boleh dibilang. Termasuk saya yang biasanya menjawab, “ya seperti yang Anda lihat di berita atau TV. Masih sama.”

Saya masih berpikir bahwa itu jawaban yang paling bijaksana sampai saya bertemu dengan seseorang yang baru tiba di NTU beberapa hari lalu dari Jakarta. Beliau berencana mengambil program MBA selama setahun di NTU. Saya ngobrol banyak dengan beliau, termasuk keadaan Indonesia sekarang, khususnya Jakarta. Tentang dakwah yang semakin menyebar dan semakin banyak diterima berbagai kalangan, tentang rencana pembangunan MRT, dan sebagainya.

“Padahal Indonesia sekarang sudah membaik lo,” kata beliau. “Gerakan anti korupsi setidaknya sudah tampak hasilnya walaupun belum seberapa, Busway pun cukup nyaman sebagai sarana transportasi umum, belum lagi rencana pembangunan MRT.”

Obrolan kami berlanjut. Dan ada poin-poin menarik yang menjadi bahan pemikiran saya setelahnya. Benar juga, buat apa kita menjelek-jekekkan Indonesia di depan orang lain ? Bisa jadi, image buruk Indonesia terjadi justru karena disebarkan kita sendiri. Padahal dengan membiarkan Indonesia—yang notabene negara Muslim terbesar—memiliki image buruk, sama saja dengan iklan buruk buat Muslim.

Kita tampaknya terlalu fasih kalau bicara ranking korupsi Indonesia, terlalu banyak bahan untuk bicara masalah mutu pendidikan Indonesia. Bahkan sudah menjadi sarapan sehari-hari untuk bicara buruknya birokrasi, suap-menyuap di perusahaan, skandal-skandal politik, dan lainnya. “Kenapa kita nggak bilang, ‘Indonesia udah mulai membaik lo’ ke teman-teman kita?” masih menurut beliau.

Teman saya yang lain menimpali, “teori yang menarik. Bisa jadi kalau sekarang kita disodori selembar kertas dan disuruh me-list keburukan dan kebaikan Indonesia, kita akan lebih lancar menulis keburukannya satu persatu sampai ujung bawah kertas. Sedangkan untuk kebaikan ? Wah, nggak tahu deh.”

Saya teringat teman saya yang lain pernah bercerita tentang temannya yang alumni pesantren. Alumni pesantren itu mengaku bahwa setelah bertahun-tahun di pesantren, dia bisa menyimpulkan bahwa Islam itu sebenarnya agama yang penuh ancaman. Teman saya itu tertawa. “Wah, itu sih salah belajar, tuh.”

Memang dia nggak bisa disalahkan 100% kalau memang selama ini diajarin dengan metode “sholat kamu! Kalau nggak sholat masuk neraka lo!” Daripada begitu, kenapa nggak kita ngajarin anak kita dengan metode “sholat yuk, kalau sholat masuk surga lo!” tentunya akan ada efek yang beda, begitu kesimpulan teman saya. Karena if a child lives with criticism, he learns to condemn, kata Dorothy Law Nolte dalam puisinya yang terkenal.

Sebuah teori yang sederhana, menurut saya. Kalau kita kebanyakan baca Pos Kota, maka cara berpikir kita bisa jadi akan seperti cara berpikir Pos Kota. Tapi beda kalau kita baca KOMPAS atau harian lainnya. Tapi tunggu dulu. Memang saya akui KOMPAS atau harian lainnya pun sekarang sudah agak mirip dengan Pos Kota. Hanya saja, Pos Kota skala besar. Pemerkosaan di Pos Kota, pemerkosaan APBN di KOMPAS. Maling komplek perumahan di Pos Kota, maling hutan di KOMPAS. Ya, nggak sepenuhnya salah media dalam hal ini. Soalnya bagi mereka, good news means no news.

Jadi, tergantung kita. Kitanya yang harus thinking out of the box. Yang jelas, harus seimbang. Kenapa nggak kita bicarakan keberhasilan Muhammad Firmansyah, si anak SMP peraih perak itu di sela-sela waktu istirahat kita ? Atau membicarakan Kabupaten Kutai Kartanegara yang berhasil membebaskan uang SPP anak sekolah dari SD sampai SMA di diskusi kuliah ? Atau tentang Kabupaten Sragen dengan aplikasi pengurusan perizinan “satu pintu satu atap” yang inovatif ?

Jadi, bagaimana keadaan Indonesia sekarang menurut Anda ?

Singapore,
Ahad pagi, 30 Juli 2006

Labels:

Wednesday, July 26, 2006

Marketing Dakwah (Part 2)

(Lanjutan dari Marketing Dakwah 1)

Saat produsen rokok lain mencoba mengikuti langkah Sampoerna dengan meluncurkan produk di kelas yang sama, lagi-lagi secara unik A Mild mengubah taglinenya. Kali ini tampak elegan, karena barisnya berbunyi “others can only follow”. Kembali lagi menyentuh functional value.


Lalu, saat Pemilu 2004 menjelang, A Mild kembali pindah haluan. Kali ini ingin mempertegas emotional value-nya dengan membuat tema iklan “kalau benda bisa ngomong”. Salah satu yang terkenal tentunya gambar wajan yang ngomong “jangan cuma bisa manas-manasin doang”. Kalimat yang tampak provokatif dan mengajak orang untuk berpikir di saat banyak kampanye partai.

Dan, baru-baru ini A Mild kembali mengeluarkan tagline yang bahkan membuat anak SD pun sibuk mendiskusikannya: “tanya kenapa”.

Positioning yang luar biasa. Jadi, secara ganti-ganti tapi pasti, A Mild menguasai pasar dengan merebut functional value dan emotional value, seolah mengatakan bahwa yang paling “bermanfaat” dan bergengsi adalah A Mild.

Pernah membayangkan efek positioning yang berhasil dari sebuah produk ? Saya ambil contoh Dji Sam Soe. Ya, lagi-lagi rokok keluaran Sampoerna. Dji Sam Soe dari kelas kretek ini selalu dianggap mewakili image eksklusif, macho, keras. Eksklusif, tentunya karena harganya pun selalu lebih mahal dibandingkan rokok-rokok lain yang sejenis. Ada perilaku seorang konsumen—sebutlah si A—yang cukup unik. Si A berasal dari kelas ekonomi menengah. Kalau beli rokok, dia selalu beli rokok merek lain satu bungkus, dan 2 batang Dji Sam Soe. Suatu hari, temannya bertanya tentang kebiasaan aneh si A itu. Dan si A menjawab, “rokok lain itu buat di dalam kos-kosan. Tapi kalau ngerokok di luar atau di depan cewek, harus Dji Sam Soe.” Gimana, nyentrik kan ?

Nah, dari situlah saya berpikir tentang marketing dakwah. Sebutlah salah satu contoh produk dakwah, yaitu mentoring/pengajian SMA. Pada dasarnya kita menjual mentoring ini ke anak-anak SMA. Kita selalu berusaha menyampaikan betapa pentingnya mentoring dan betapa pentingnya menuntut ilmu. Tapi kalau berkaca pada strategi Sampoerna, maka itu masih setengahnya. Karena berarti baru functional value-nya saja yang disentuh. Saya jadi ingat salah satu strategi ROHIS SMA 1 Depok dulu yang memasang poster ukuran A3 yang cukup provokatif di setiap kelas, “bukan anak SMA 1 kalo nggak bisa ngaji ...”

Rasanya akan sangat luar biasa bila marketing mentoring untuk orang awam sudah bisa menyentuh emotional value dari mentoring itu sendiri. Bisa jadi dengan terus-menerus mengatakan kalau “mentoring itu bergengsi lo”, atau “semua orang suka mentoring”, atau “nggak mentoring nggak gaul”, dan sebagainya. Sehingga, bukan nggak mungkin kalau suatu hari nanti ada percakapan anak-anak SMA seperti ini:

“Eh, elo mentoringnya sama kak siapa ?”

“Enggak. Gue belum gabung nih. Kayaknya nggak asik, sih.”

“Ah, cupu lo. Hari gini nggak mentoring ... Wah, nggak nyangka selera elo rendah ternyata. Waduh, gawat juga.”

Mungkinkah ? Siapa tahu.

Singapore,
26 Juli 2006
Sumber ide: buku 4-G Marketing

Labels: ,

Marketing Dakwah (Part 1)

Kalau bicara marketing, maka kita harus bicara iklan. Entah itu iklan TV, iklan billboard, iklan di koran, dan sebagainya. Saya baru menyadari keasyikan membahas iklan saat ngobrol dengan teman dan membahas trend di Indonesia saat ini. Dalam industri minuman saja, setidaknya ada 2 jenis produk yang “dimunculkan” secara tiba-tiba dengan pemasaran yang begitu gencar. Produk-produk teh hijau (green tea) dan produk-produk minuman isotonik sejenis Pocari Sweat dengan harga yang agak di bawahnya. Sebut saja Zestea (2 Tang), (ABC President), Green-T (Sosro) untuk jenis produk pertama, dan Mizone (Danone-Aqua), Vitazone untuk yang kedua.

Padahal, kalau dipikir-pikir, yang namanya teh hijau itu kan bukan favorit orang Indonesia. Sejak dulu sampai sekarang, boleh dibilang orang Indonesia lidahnya hanya kenal sama teh biasa semacam Sariwangi. Ya, lagi-lagi, bisa jadi ini gara-gara marketing.

Jadi, sungguh dahsyat sebenarnya efek marketing. Kalau mau dibahas secara sederhana, perihal marketing dasarnya hanya pada bungkus-membungkus. Entah produknya bagus atau nggak, yang penting harus dibungkus sedemikian rupa biar laku. Tentunya berita tentang penarikan produk obat nyamuk Hit dari pasaran masih lengket dalam ingatan kita. Nah, dari sini saja kita bisa tahu kalau iklan nggak selamanya benar. Bagaimanapun iklan itu hanya bungkus. Dan pepatah bijak bilang, “don’t judge a book by its cover.” Lalu, bagaimana dengan air heksagonal, misalnya, yang sekarang sedang booming di Indonesia ? Silahkan baca tulisan dari priyadi.net berikut ini: link. Insya Allah cukup komprehensif.

Lalu, apa hubungannya dengan dakwah ? Saya dulu sempat berpikir bahwa inti dakwah adalah menyampaikan sesuatu—lebih tepatnya meyakinkan orang tentang sesuatu. Berarti, sebenarnya sama saja dengan marketing yang menjual produk. Karenanya dakwah bisa saja dianggap sebuah produk, sehingga, seharusnya prinsip-prinsip marketing bisa juga diterapkan untuk dakwah. Apalagi mengingat content-nya sudah bagus. Kalau sebuah produk sudah memiliki content yang bagus, lalu dibungkus yang bagus juga, tentunya akan dahsyat.

Mari kita lihat salah satu produk Sampoerna yang paling fenomenal: A Mild. Bukan basa basi. Ringan sama dijinjing, berat elo yang pikul. How low can you go ? Others can only follow. Tanya kenapa. Pasti kita semua tahu tagline-tagline terkenal itu. Gimana nggak—di billboard perempatan jalan ada, di papan iklan rumah makan ada, di koran ada, di TV apalagi. Makanya, kalau kita pernah atau sering bersama teman membahas maksud tagline-tagline A Mild itu, bisa jadi kita sudah termakan siasat marketing Sampoerna.

Padahal A Mild baru diluncurkan oleh Sampoerna pada 1989 saat belum ada produsen rokok lain yang berani berinvestasi di kelas rokok mild—low tar low nicotine (LTLN). Tapi seiring dengan isu global tentang bahaya merokok yang menyebar cepat, banyak orang yang beralih ke rokok LTLN di dekade tahun 90-an. Sekarang, A Mild menjadi raja di kelasnya, boleh jadi karena produsen lain sudah kalah start. Dan, menurut seorang tukang ojek kenalan saya yang juga perokok, hampir semua perempuan yang merokok, rokoknya A Mild. Fakta yang menarik, tentunya.

Tapi, lebih menarik lagi kalau kita memerhatikan strategi marketing mereka. Karena A Mild benar-benar memuali dari nol—di saat masyarakat sama sekali belum tertarik, atau bahkan belum tahu tentang rokok LTLN, maka tagline A Mild saat itu adalah “taste of the future”, yang kemudian diganti menjadi “how low can you go ?”. Tujuannya jelas: “mendidik” masyarakat untuk kenal rokok kelas baru yang rendah tar dan rendah nikotin. Makanya, mereka lebih menyentuh aspek functional value dari A Mild di awal-awal masa produksinya.

Namun, setelah itu mereka mengubah taglinenya ke sesuatu yang sudah kita kenal bersama. Selama beberapa tahun, tagline yang satu ini benar-benar sering mengeluarkan baris-baris yang unik, provokatif, aneh: “Bukan basa basi”. Bukan basa basi lagi kalau ternyata dengannya, A Mild berhasil mencitrakan diri sebagai yang kreatif, cerdas, dan sebagai trendsetter. Cerdasnya, kali ini marketing strateginya sudah bergeser dari sekedar menyentuh functional value ke emotional value. Bahwa dengan merokok A Mild, orang akan tampak bergengsi. Kenapa ? Karena A Mild kreatif, cerdas, dan trendsetter.

(bersambung ke Part 2)

Labels: ,

Differentiation: Dari Harley Hingga Pizza

Entah mengapa saat saya berkunjung ke Gramedia beberapa pekan lalu, saya memerhatikan bahwa sedang ada trend baru yang berusaha ditumbuhkan oleh marketer untuk konsumen, yaitu sebuah trend memahami marketing—atau setidaknya basic marketing.

Coba saja perhatikan buku-buku yang ada di tumpukan rak best-seller Gramedia. Setidaknya ada buku “Seri 9 Elemen Maketing”-nya Hermawan Kartajaya (HK) yang memampangkan wajahnya besar-besar di cover buku. Entah sebenarnya mau menjual isi buku (content) atau menjual kepopuleran beliau. Ya, yang jelas ini marketing, Bung. Ada lagi beberapa buku karangan HK yang dalam pekan-pekan ini selalu mejeng di rak-rak buku strategis: “Marketing in Venus” dan “4-G Marketing”-nya Sampoerna.

Salah satu dari 9 elemen marketing yang disebutkan oleh HK adalah differentiation. Lebih jauh HK menyatakan bahwa content is only basic—content atau isi itu nggak terlalu penting. Sebenarnya tergantung bagaimana kita mengemasnya saja. Siapa yang bilang bahwa ayam goreng McDonald’s lebih enak dari ayam goreng Mbok Berek atau ayam goreng buatan ibu saya, misalnya ? Atau, seperti disebutkan dalam salah satu buku HK, sebenarnya Harley-Davidson dari dulu sampai sekarang nggak pernah bilang bahwa Harley-Davidson itu irit bahan bakar, tarikannya kencang, mesinnya kuat, dan suara mesinnya halus. Tentunya hal ini beda dengan kompetisi motor bebek yang saling kejar-mengejar dalam hal keunggulan produk. Lalu, apa yang membuat Harley-Davidson begitu superior dalam kelasnya ? Karena hanya Harley yang begitu luar biasa membangun komunitas penggemar yang tersebar di seluruh dunia. Dengan kelompok-kelompok itu, mereka sering mengadakan routing, reli bergerombol. “It’s not the destination. It’s the journey,” katanya. Berani beda. Itulah Harley.

Barangkali belum komplit membahas differentiation kalau belum beranjak ke industri rokok. Karena bagi saya, industri rokok itu industri yang bisa jadi paling kreatif. Kue yang mereka perebutkan sangat besar (dalam setahun, jumlah rokok yang terjual sedunia mencapai angka puluhan milyar batang, lengkapnya bisa dicek di tulisan World Bank tentang tembakau). Hanya saja, kita semua tahu bahwa industri rokok itu industri yang dilematis. Di Indonesia, pemerintah melarang menampilkan hal-hal berikut ini dalam setiap iklan rokok: rokoknya sendiri, bungkusnya, orang yang sedang merokok, dan ajakan untuk merokok. Luar biasa, kan ? Bayangkan saja pusingnya bagian marketing setiap perusahaan rokok. Mereka memproduksi sebuah produk, tapi nggak boleh menampilkannya dalam setiap iklan ! Makanya di Indonesia, iklan rokok bisa menampilkan pemandangan orang terjun payung, orang bertualang ke Amazon, orang panjat tebing, dan sebagainya. Aneh, memang.

Menarik juga mengikuti sepak terjang Sampoerna Hijau dalam dunia rokok-merokok, terutama kreativitas iklannya (baca: strategi marketing—pen). Apa yang kita ingat begitu mendengar nama produk itu ? Ya, walaupun nggak merokok, tapi dalam memori kita pasti ada rekaman 5 orang konyol bernama geng ijo yang selalu meneriakkan, “ijo ... ijo ... ijo ... !” atau setidaknya tagline “asyiknya rame rame ...”.

Sampoerna memang buzz-creator yang hebat. Bagi Sampoerna, semakin “aneh” dan berbeda iklan mereka, dan semakin dibahas di tingkat grass root, maka semakin sukses marketing mereka. Terutama kalau bisa menciptakan buzz-word seperti “ijo ... ijo ... ijo ... !” itu. Tentunya kita masih ingat betapa fenomenal buzz-word yang satu ini. Kita bahkan bisa menemukannya diucapkan anak-anak usia SD, atau diteriakkan tim tarik tambang di lomba 17-an RT, atau di pentas drama sekolah untuk memberi sentuhan humor.

Belum lagi kalau membandingkan “karakter” Sampoerna Hijau dengan produk lainnya yang sejenis. Di saat sebagian besar produk rokok mencitrakan diri sebagai elegan, macho, sportif; Sampoerna Hijau dengan cantik memosisikan diri dengan image kompak, ceria, dan humoris. Tentunya dengan ini, Sampoerna Hijau selangkah lebih maju untuk merebut market share yang masih belum tersentuh.

Masih mengenai differentiation, mari kita lihat 2 iklan ini. What do you think ?

Singapore,
Rabu pagi, 26 Juli 2006


Labels:

Berbagi Cita-Cita

Adhyaksa Dault (AD). Menteri Pemuda dan Olahraga. Lahir pada 1963, berarti sekarang masih 43 tahun—atau 41 tahun ketika terpilih menjadi menteri pada 2004.

Ada sebuah kisah menarik tentang beliau yang saya dengar dari seorang teman. Di ulang tahunnya yang ke-40, AD secara khusus merayakannya dengan mengundang beberapa tokoh nasional, di antaranya tokoh-tokoh LSM, pejabat-pejabat kepolisian, pejabat-pejabat ABRI, tokoh-tokoh politik, dan lainnya. Wiranto saat itu diberi kesempatan untuk memberikan semacam sambutan kepada hadirin. Di situ, Wiranto bilang begini, “AD yang saya kenal adalah seorang yang unik dan luar biasa. Di usianya yang baru 40 tahun, beliau sudah bisa mengundang segini banyak orang ke acaranya. Sedangkan saya—di usia 40 tahun dulu bukanlah siapa-siapa.”

Ini hanyalah motivasi. Tentunya dengan membuat kita berpikir, “jadi apakah saya di usia 40 tahun nanti?” Seorang Doktor elektro yang punya beberapa paten dan terus berkarya sebagai akademisi? Ataukah menjadi seorang profesional yang melanglang buana dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya, mengejar posisi tinggi? Atau terjun ke politik? Atau punya bisnis skala besar? Akankah kita jadi orang BESAR (baca: luar biasa)?

Lalu, kenapa 40 tahun? Adakah sesuatu yang spesial dengan angka 40? Tentunya untuk menentukan target dalam hidup itu terserah kita masing-masing. Nggak ada batasan yang pasti dan mengikat. Hanya saja, “life begins at 40”—ada ungkapan seperti itu yang kita kenal. Dan banyak yang bilang kalau umur 40 itu batasan bagi setiap orang untuk mau mempertahankan atau mengubah kebiasaannya. Soalnya, setelah umur segitu, setiap orang akan merasa kesulitan untuk mengubah kebiasaan hidup yang sudah terpatri di dalam otak. Entah itu kebiasaan bangun siang, kebiasaan suka marah, dan lainnya. Akan susah diubah ketika umur kita beranjak 40.

Lalu, teman saya yang berkisah tentang AD itu melanjutkan kisahnya. Menurutnya, untuk menjadi orang luar biasa, rahasianya cuma 3: banyak membaca buku-buku luar biasa, banyak ketemu orang-orang luar biasa, dan banyak mengalami kejadian-kejadian luar biasa. Akan lebih spesial lagi buat kita—yang secara sadar atau nggak—membawa papan bertuliskan “muslim” di punggung kita, untuk bercita-cita menjadi orang luar biasa. Karena, dengannya nggak cuma menjadi orang yang luar biasa, tapi juga akan menjadi MUSLIM yang luar biasa. Kalau sebelum usia 40 tahun kita sudah punya sebuah “kebiasaan” menjadi muslim yang luar biasa, tentunya setelah umur 40, akan susah untuk merubah itu.

Hal-hal tadi adalah rentetan alur kisah yang biasa saya bawakan ketika harus sharing ke orang lain tentang cita-cita, atau lebih tepatnya cita-cita seorang muslim.

Tapi saat mengisi pengajian salah satu kelas XI (maklum, KBK—pen) SMA 1 Depok di suatu hari di bulan Juli, saya secara khusus meminta teman-teman yang hadir saat itu untuk menuliskan cita-cita mereka, atau capaian-capaian yang ingin meraka raih dalam sebuah tabel dalam range umur 18 tahun-40 tahun.

Saya kemudian membacakan tulisan beberapa orang untuk dibahas, dan tentunya buat memperkaya wawasan. Ada yang menulis “masuk UI Ilmu Komunikasi dan meraih IP di atas 3” untuk range umur 18-25 tahun. Ada lagi “ingin meraih nilai UN tertinggi se-IPS” untuk range umur yang sama. Atau “sudah punya anak pertama” untuk umur 25-30 tahun. Tentunya sampai sini nggak ada aneh. Tapi kemudian saya tertegun. Saya dibuat berpikir oleh sebuah tulisan: “sudah punya sekolah gratis untuk anak-anak kurang mampu yang berprestasi.” Dia menuliskan itu di kolom 35 tahun-40 tahun. Subhanallah.

Ada sebuah sisi yang saya lupakan. Dan itu saya dapatkan dari sebuah sharing dengan seorang anak kelas 2 SMA. Karena memang di situlah letak manfaat diskusi, atau tukeran ide. Saat kita pulang, maka kita bisa pulang dengan membawa 2 ide, satu ide kita dan satunya lagi ide orang lain. Beda dengan tukeran apel.

Saya coba cari padanan katanya, dan tampaknya “berbagi cita-cita” cukup bagus untuk menjelaskan konsep itu. Bahwa cita-cita kita jangan hanya terbatas pada keegoisan diri. Pingin nikah umur 24, pingin naik haji sebelum 30, pingin lulus Doktor sebelum 35, dan lain-lainnya. Tapi rupanya teman saya itu berpendapat bahwa itu belumlah cukup. Kalau cuma hal-hal tadi aja, bisa jadi kita masih termasuk orang egois. Kapan kita berpikir untuk bisa berkontribusi pada pembangunan masjid komplek? Atau kapan kita berpikir untuk bisa menyekolahkan 50 anak yatim dengan penghasilan kita? Atau kapankah kita berpikir untuk bisa mendanai LSM-LSM yang secara ikhlas mengumpulkan dan mendidik ratusan anak-anak jalanan, misalnya? Atau kapankah kita bisa mendirikan LSM seperti PPSDMS (Pusat Pengembangan SDM Strategis)?

Bisa jadi, inilah alternatif definisi untuk muslim yang luar biasa: muslim yang bisa berbagi cita-cita dan tentunya merealisasikannya. Khairunnaas anfa’uhum linnaas. Sebaik-baik di antaramu adalah yang paling banyak manfaat bagi orang lain (HR. Bukhari dan Muslim).

Singapore,
Selasa tengah malam, 25 Juli 2006

Labels:

Friday, July 21, 2006

Pulau Rosette


Tersebutlah sebuah kerajaan yang makmur luar biasa. Hasil pertaniannya melimpah. Sebagian kecilnya bisa untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, sedangkan lebihannya yang sangat melimpah menjadi sumber pendapatan bagi kerajaan itu.

Dikisahkan, saking makmurnya, di kerajaan itu bahkan sudah nggak ada lagi keluarga yang miskin. Masing-masing sudah lebih dari cukup untuk bisa memiliki rumah yang megah, kendaraan yang mewah, dan segala kemewahan lainnya. Tetapi rakyat kerajaan itu terlanjur berpikir bahwa tanpa pemerintahan pun kehidupan mereka sudah bisa makmur. Makanya sampai saat itu pun kerajaan itu nggak memiliki pemerintah—dalam hal ini raja. Tetapi lama-lama rakyatnya mulai berpikir bahwa bagaimana pun kerajaan mereka butuh pemerintahan. Minimal untuk mengurus masalah administrasi, dan mungkin hubungan dengan kerajaan lain—jika memang perlu.

Maka, diadakanlah fit and proper test yang dibuka untuk umum untuk menyaring calon-calon raja terbaik bagi kerajaan mereka. Dalam beberapa hari, beberapa pemuda datang melamar ke kerajaan tersebut. Bahkan orang-orang dari negeri seberang pun tertarik demi mendengar janji-janji tentang gaji dan segala kemewahan bagi raja terpilih.

Akhirnya terpilihlah satu orang. Sebelumnya, panitia pemilihan mengingatkan ke orang tersebut, “ingat wahai raja terpilih, masa jabatanmu hanya lima tahun. Berbuatlah sesukamu dalam masa itu. Tentunya kamu akan kami gaji, dan beberapa fasilitas kenegaraan juga akan menjadi milikmu. Tapi jangan lupa akan satu hal itu.”

“Tentang Pulau Rosette, maksud kamu ?” timpal sang raja terpilih.

“Ya, setelah masa jabatanmu habis, maka sesuai dengan undang-undang di kerajaan kami, kamu harus menghabiskan sisa hidupmu di pulau itu. Jangan tanyakan aku kenapa. Itu adalah hal yang sudah disepakati bersama antara warga kerajaan ini. Semoga kamu beruntung ...”

Tapi sang raja seperti sudah nggak memperhatikan lagi akhir omongan orang itu karena dalam otaknya kini sudah penuh dengan rencana-rencana pribadinya untuk membangun istana yang megah, membeli pulau wisata beserta isinya, dan lainnya. Ia seperti sudah nggak peduli dengan kabar-kabar yang beredar di masyarakat tentang Pulau Rosette itu. Dikabarkan bahwa pulau itu merupakan pulau tak berpenghuni yang belum pernah dijamah manusia. Bukan karena belum ada orang yang ke situ, tapi karena belum ada yang bisa bertahan di pulau itu lebih dari 5 menit. Menurut kabarnya, mereka yang datang ke pulau itu akan langsung diterkam binatang-binatang buas yang tersebar di penjuru pulau itu. Belum lagi hutan tropis yang begitu lebat yang juga menyimpan tumbuhan-tumbuhan carnivora di dalamnya.

Seperti yang diperkirakan sebelumnya, dengan berbagai gaji dan fasilitas yang ditawarkan, sang raja selama 5 tahun menjadi terlena. Kegiatannya tiap hari hanya hura-hura dengan mengadakan pesta, mengundang kerajaan-kerajaan tetangga. Selebihnya hanya sebagian kecil waktunya yang dihabiskan untuk menjalankan tugas sebagai seorang raja.

Setelah 5 tahun, pasukan kerajaan datang menjemput sang raja. Tok, tok, tok, mereka mengetuk pintu kamar sang raja. “Baginda raja, sesuai janji, sekarang saatnya kami mengantar Anda ke Pulau Rosette.” Sang raja bergetar hebat tubuhnya seraya menunjukkan keengganannya. Tapi nggak ada yang bisa dilakukkannya kecuali memberontak sia-sia ketika tangan-tangan kekar penjaga mencekeram lengannya dan menyeret sang raja untuk naik kapal menuju Pulau Rosette.

Sang raja pun ditinggal sendirian di pulau itu. Beberapa menit setelah kapal pasukan kerajaan meninggalkan Pulau Rosette, teriakan keras yang melolong dahsyat terdengar hingga radius beberapa mil. Tamat sudah riwayat raja pertama.

Begitulah tradisi aneh kerajaan tersebut. Setelahnya mereka pun kembali mengadakan fit and proper test yang kedua untuk memilih raja berikutnya.

Raja berikutnya pun sama saja. Tergiur oleh kemewahan-kemewahan yang ada, dia selama 5 tahun hanya menghabiskan gajinya untuk membeli barang-barang antik dan mahal dari seluruh dunia unutk memenuhi lemari-lemarinya. Maka, saat 5 tahun berakhir dan para pasukan kerajaan mengirimnya ke Pulau Rosette, kisah nan tragis pun berulang dengan sendirinya.

Nah, sekarang tiba giliran raja ketiga di singgasana kerajaan. Raja ini sedikit berbeda dengan para pendahulunya. Ia menjalankan tugasnya dengan sangat baik sebagai raja, dan yang paling berbeda adalah dia menabung semua gaji yang diterimanya.

Gebrakan yang paling mengejutkan terjadi di akhir tahun pertama masa jabatannya. Rupanya dengan semua gaji yang ditabung selama ini, dibawanya pawang-pawang terbaik untuk menjinakkan semua binatang yang ada di Pulau Rosette. Bahkan dengan hewan-hewan itu, dia berhasil membuka kebun binatang di kerajaan.

Di akhir tahun kedua, dia membayar puluhan orang terbaik untuk pergi ke Pulau Rosette dan menebang habis semua pohon dan semak-semak yang ada. Lagi-lagi dengan semua gaji yang ditabungnya.

Di akhir tahun ketiga, dia membangun istana yang megah di Pulau Rosette. Pondok-pondok untuk dayang-dayang pun dia bangun di akhir tahun keempat bersamaan dengan dikirimnya ratusan dayang ke pulau itu. Hingga akhirnya di akhir tahun kelima sebelum masa jabatannya habis, dia mengirim seluruh keluarganya ke Pulau Rosette.

Saat pasukan kerajaan menjemput, “Pak, sudah saatnya kami mengantar Anda ke Pulau Rosette,” maka ini seperti sebuah momen yang ditunggu-tunggu olehnya sejak lama. “Ayo kita berangkat,” katanya singkat.

Begitulah kisah ini berakhir.

Singapore, 21 Juli 2006
Terinspirasi dari kisah yang diangkat oleh Ahadiyat, S.Sos
diambil dari majalah Annida

re-narrated by Radon

Labels: ,