Marketing Dakwah (Part 1)
Padahal, kalau dipikir-pikir, yang namanya teh hijau itu kan bukan favorit orang Indonesia. Sejak dulu sampai sekarang, boleh dibilang orang Indonesia lidahnya hanya kenal sama teh biasa semacam Sariwangi. Ya, lagi-lagi, bisa jadi ini gara-gara marketing.
Jadi, sungguh dahsyat sebenarnya efek marketing. Kalau mau dibahas secara sederhana, perihal marketing dasarnya hanya pada bungkus-membungkus. Entah produknya bagus atau nggak, yang penting harus dibungkus sedemikian rupa biar laku. Tentunya berita tentang penarikan produk obat nyamuk Hit dari pasaran masih lengket dalam ingatan kita. Nah, dari sini saja kita bisa tahu kalau iklan nggak selamanya benar. Bagaimanapun iklan itu hanya bungkus. Dan pepatah bijak bilang, “don’t judge a book by its cover.” Lalu, bagaimana dengan air heksagonal, misalnya, yang sekarang sedang booming di Indonesia ? Silahkan baca tulisan dari priyadi.net berikut ini: link. Insya Allah cukup komprehensif.
Lalu, apa hubungannya dengan dakwah ? Saya dulu sempat berpikir bahwa inti dakwah adalah menyampaikan sesuatu—lebih tepatnya meyakinkan orang tentang sesuatu. Berarti, sebenarnya sama saja dengan marketing yang menjual produk. Karenanya dakwah bisa saja dianggap sebuah produk, sehingga, seharusnya prinsip-prinsip marketing bisa juga diterapkan untuk dakwah. Apalagi mengingat content-nya sudah bagus. Kalau sebuah produk sudah memiliki content yang bagus, lalu dibungkus yang bagus juga, tentunya akan dahsyat.
Mari kita lihat salah satu produk Sampoerna yang paling fenomenal: A Mild. Bukan basa basi. Ringan sama dijinjing, berat elo yang pikul. How low can you go ? Others can only follow. Tanya kenapa. Pasti kita semua tahu tagline-tagline terkenal itu. Gimana nggak—di billboard perempatan jalan ada, di papan iklan rumah makan ada, di koran ada, di TV apalagi. Makanya, kalau kita pernah atau sering bersama teman membahas maksud tagline-tagline A Mild itu, bisa jadi kita sudah termakan siasat marketing Sampoerna.
Padahal A Mild baru diluncurkan oleh Sampoerna pada 1989 saat belum ada produsen rokok lain yang berani berinvestasi di kelas rokok mild—low tar low nicotine (LTLN). Tapi seiring dengan isu global tentang bahaya merokok yang menyebar cepat, banyak orang yang beralih ke rokok LTLN di dekade tahun 90-an. Sekarang, A Mild menjadi raja di kelasnya, boleh jadi karena produsen lain sudah kalah start. Dan, menurut seorang tukang ojek kenalan saya yang juga perokok, hampir semua perempuan yang merokok, rokoknya A Mild. Fakta yang menarik, tentunya.
Tapi, lebih menarik lagi kalau kita memerhatikan strategi marketing mereka. Karena A Mild benar-benar memuali dari nol—di saat masyarakat sama sekali belum tertarik, atau bahkan belum tahu tentang rokok LTLN, maka tagline A Mild saat itu adalah “taste of the future”, yang kemudian diganti menjadi “how low can you go ?”. Tujuannya jelas: “mendidik” masyarakat untuk kenal rokok kelas baru yang rendah tar dan rendah nikotin. Makanya, mereka lebih menyentuh aspek functional value dari A Mild di awal-awal masa produksinya.
Namun, setelah itu mereka mengubah taglinenya ke sesuatu yang sudah kita kenal bersama. Selama beberapa tahun, tagline yang satu ini benar-benar sering mengeluarkan baris-baris yang unik, provokatif, aneh: “Bukan basa basi”. Bukan basa basi lagi kalau ternyata dengannya, A Mild berhasil mencitrakan diri sebagai yang kreatif, cerdas, dan sebagai trendsetter. Cerdasnya, kali ini marketing strateginya sudah bergeser dari sekedar menyentuh functional value ke emotional value. Bahwa dengan merokok A Mild, orang akan tampak bergengsi. Kenapa ? Karena A Mild kreatif, cerdas, dan trendsetter.(bersambung ke Part 2)
2 Comments:
kok kamu jadi malah ikut-ikutan promosi rokok tho?? ;-)
By Unknown, at 3:12 PM, June 17, 2007
lili>>
Sebenernya inti pesannya di marketingnya sih :)
By Radon Dhelika, at 5:21 PM, June 20, 2007
Post a Comment
<< Home