Delicate, Delightful, Delicious
~A Blog

Wednesday, July 26, 2006

Berbagi Cita-Cita

Adhyaksa Dault (AD). Menteri Pemuda dan Olahraga. Lahir pada 1963, berarti sekarang masih 43 tahun—atau 41 tahun ketika terpilih menjadi menteri pada 2004.

Ada sebuah kisah menarik tentang beliau yang saya dengar dari seorang teman. Di ulang tahunnya yang ke-40, AD secara khusus merayakannya dengan mengundang beberapa tokoh nasional, di antaranya tokoh-tokoh LSM, pejabat-pejabat kepolisian, pejabat-pejabat ABRI, tokoh-tokoh politik, dan lainnya. Wiranto saat itu diberi kesempatan untuk memberikan semacam sambutan kepada hadirin. Di situ, Wiranto bilang begini, “AD yang saya kenal adalah seorang yang unik dan luar biasa. Di usianya yang baru 40 tahun, beliau sudah bisa mengundang segini banyak orang ke acaranya. Sedangkan saya—di usia 40 tahun dulu bukanlah siapa-siapa.”

Ini hanyalah motivasi. Tentunya dengan membuat kita berpikir, “jadi apakah saya di usia 40 tahun nanti?” Seorang Doktor elektro yang punya beberapa paten dan terus berkarya sebagai akademisi? Ataukah menjadi seorang profesional yang melanglang buana dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya, mengejar posisi tinggi? Atau terjun ke politik? Atau punya bisnis skala besar? Akankah kita jadi orang BESAR (baca: luar biasa)?

Lalu, kenapa 40 tahun? Adakah sesuatu yang spesial dengan angka 40? Tentunya untuk menentukan target dalam hidup itu terserah kita masing-masing. Nggak ada batasan yang pasti dan mengikat. Hanya saja, “life begins at 40”—ada ungkapan seperti itu yang kita kenal. Dan banyak yang bilang kalau umur 40 itu batasan bagi setiap orang untuk mau mempertahankan atau mengubah kebiasaannya. Soalnya, setelah umur segitu, setiap orang akan merasa kesulitan untuk mengubah kebiasaan hidup yang sudah terpatri di dalam otak. Entah itu kebiasaan bangun siang, kebiasaan suka marah, dan lainnya. Akan susah diubah ketika umur kita beranjak 40.

Lalu, teman saya yang berkisah tentang AD itu melanjutkan kisahnya. Menurutnya, untuk menjadi orang luar biasa, rahasianya cuma 3: banyak membaca buku-buku luar biasa, banyak ketemu orang-orang luar biasa, dan banyak mengalami kejadian-kejadian luar biasa. Akan lebih spesial lagi buat kita—yang secara sadar atau nggak—membawa papan bertuliskan “muslim” di punggung kita, untuk bercita-cita menjadi orang luar biasa. Karena, dengannya nggak cuma menjadi orang yang luar biasa, tapi juga akan menjadi MUSLIM yang luar biasa. Kalau sebelum usia 40 tahun kita sudah punya sebuah “kebiasaan” menjadi muslim yang luar biasa, tentunya setelah umur 40, akan susah untuk merubah itu.

Hal-hal tadi adalah rentetan alur kisah yang biasa saya bawakan ketika harus sharing ke orang lain tentang cita-cita, atau lebih tepatnya cita-cita seorang muslim.

Tapi saat mengisi pengajian salah satu kelas XI (maklum, KBK—pen) SMA 1 Depok di suatu hari di bulan Juli, saya secara khusus meminta teman-teman yang hadir saat itu untuk menuliskan cita-cita mereka, atau capaian-capaian yang ingin meraka raih dalam sebuah tabel dalam range umur 18 tahun-40 tahun.

Saya kemudian membacakan tulisan beberapa orang untuk dibahas, dan tentunya buat memperkaya wawasan. Ada yang menulis “masuk UI Ilmu Komunikasi dan meraih IP di atas 3” untuk range umur 18-25 tahun. Ada lagi “ingin meraih nilai UN tertinggi se-IPS” untuk range umur yang sama. Atau “sudah punya anak pertama” untuk umur 25-30 tahun. Tentunya sampai sini nggak ada aneh. Tapi kemudian saya tertegun. Saya dibuat berpikir oleh sebuah tulisan: “sudah punya sekolah gratis untuk anak-anak kurang mampu yang berprestasi.” Dia menuliskan itu di kolom 35 tahun-40 tahun. Subhanallah.

Ada sebuah sisi yang saya lupakan. Dan itu saya dapatkan dari sebuah sharing dengan seorang anak kelas 2 SMA. Karena memang di situlah letak manfaat diskusi, atau tukeran ide. Saat kita pulang, maka kita bisa pulang dengan membawa 2 ide, satu ide kita dan satunya lagi ide orang lain. Beda dengan tukeran apel.

Saya coba cari padanan katanya, dan tampaknya “berbagi cita-cita” cukup bagus untuk menjelaskan konsep itu. Bahwa cita-cita kita jangan hanya terbatas pada keegoisan diri. Pingin nikah umur 24, pingin naik haji sebelum 30, pingin lulus Doktor sebelum 35, dan lain-lainnya. Tapi rupanya teman saya itu berpendapat bahwa itu belumlah cukup. Kalau cuma hal-hal tadi aja, bisa jadi kita masih termasuk orang egois. Kapan kita berpikir untuk bisa berkontribusi pada pembangunan masjid komplek? Atau kapan kita berpikir untuk bisa menyekolahkan 50 anak yatim dengan penghasilan kita? Atau kapankah kita berpikir untuk bisa mendanai LSM-LSM yang secara ikhlas mengumpulkan dan mendidik ratusan anak-anak jalanan, misalnya? Atau kapankah kita bisa mendirikan LSM seperti PPSDMS (Pusat Pengembangan SDM Strategis)?

Bisa jadi, inilah alternatif definisi untuk muslim yang luar biasa: muslim yang bisa berbagi cita-cita dan tentunya merealisasikannya. Khairunnaas anfa’uhum linnaas. Sebaik-baik di antaramu adalah yang paling banyak manfaat bagi orang lain (HR. Bukhari dan Muslim).

Singapore,
Selasa tengah malam, 25 Juli 2006

Labels:

2 Comments:

Post a Comment

<< Home