Delicate, Delightful, Delicious
~A Blog

Sunday, August 17, 2008

Masalah Kependudukan dan Paradigma Berkeluarga di Singapore


“After all, children cost their parents more in food and college tuition than they bring in.”

Tingkat kesuburan (fertility rate) adalah salah satu data penting yang digunakan untuk mengetahui karakteristik demografi suatu objek. Misal, Mali yang tercatat berangka 7,34 menunjukkan bahwa setiap wanita di sana melahirkan sebanyak rata-rata 7,34 kali sepanjang hidupnya. Ini adalah angka tertinggi di dunia. Sekadar informasi, angka rata-rata tingkat kesuburan dunia adalah 2,58.

Untuk negara seperti Indonesia dengan tingkat kesuburan 2,34 (tahun 2008), masalah berkurangnya jumlah populasi barangkali tidak pernah terlintas dalam benak para pengambil kebijakan. Tetapi lain halnya dengan negara-negara maju seperti Jepang (tingkat kesuburan 1,27), Jerman (1,36), Korea Selatan (1,21), atau pun Singapore (1,29) karena tingkat kesuburan minimal yang dibutuhkan negara maju agar populasi tidak berkurang drastis dalam jangka panjang adalah sekitar 2,1. Dan jelas, empat negara tadi adalah sedikit dari banyak negara-negara maju yang terancam masalah kependudukan di masa depan.

Memangnya seberapa krusial masalah ini?

Di Korea Selatan, seperti diberitakan Korean Times akhir tahun lalu, 32 persen sekolah dasar di Korsel terpaksa tutup karena begitu rendahnya angka kelahiran.

Sebuah artikel di The New York Times membahas tentang angka 1,29 bagi Singapore. Dengan angka sekecil itu, diproyeksikan populasi negara mini yang jumlah penduduknya setengah dari Jakarta ini akan menciut hingga setengahnya dalam 45 tahun. Lebih jauh, efek penurunan tajam ini disebut mustahil untuk diperbaiki seperti semula.

Pemerintah Singapore bukan berarti berpangku tangan terhadap fakta ini. Sudah berjalan 20 tahun sejak pertama kali Singapore menerapkan kebijakan-kebijakan seputar penambahan jumlah populasi. Harapannya jelas untuk memotivasi masyarakat untuk memiliki anak, tapi kenyataannya hingga saat ini belum memuaskan. Justru beberapa parameter lain mengalami penurunan: rata-rata umur ibu yang melahirkan anak pertama menjadi 29,4 tahun. Pasangan suami istri juga menunggu rata-rata 28 bulan sebelum memiliki anak pertama.

Padahal kalau mau disebut, kebijakan-kebijakan pemerintah perihal kelahiran anak ini akan membuat jutaan ibu Indonesia melongo tidak percaya. Betapa tidak—di tahun 2004, Perdana Menteri Lee Hsien Loong menyebut bahwa anggaran pemerintah sebanyak 300 juta SGD disisihkan untuk keperluan insentif-insentif bagi keluarga. Di antaranya, ada kebijakan baby bonus: pemerintah akan memberi bonus tunai 3000 SGD bagi setiap keluarga untuk kelahiran anak pertama dan kedua, serta 6000 SGD untuk anak ketiga dan keempat.

Belum cukup sampai di situ, kemudahan-kemudahan bagi ibu yang melahirkan pun diberikan. Jika sebelumnya cuti melahirkan bagi ibu yang bekerja hanya boleh sampai 8 pekan, sejak 2004 lalu ditambah menjadi 12 pekan. Orang tua pun diberikan insentif berupa potongan pajak penghasilan hingga 10 ribu SGD untuk anak kedua dan 20 ribu SGD untuk anak ketiga dan keempat. Daftar ini sebenarnya hanya beberapa dari insentif-insentif lain yang kebih banyak lagi.

Tapi sayangnya, memang semua itu belum berhasil. Untuk bisa mencapai "angka keramat" 2,1 berarti harus ada 60 ribu bayi setahun. Sedangkan angka tahun lalu saja hanya 39.490, dengan kecenderungan menurun setiap tahunnya. Keluarga dengan dua anak adalah komposisi yang terbanyak di Singapore saat ini menurut sebuah survei.

Masalahnya di mana?

Paradigma mungkin. Saya mengutip beberapa pendapat orang Singapore yang dikutip The Straits Times 12 Juli 2008:

Karen (bukan nama sebenarnya), 30, direktur di sebuah perusahaan berkomentar, “After all, children cost their parents more in food and college tuition than they bring in.”

“If people want to maximize their subjective well-being, they should stop at one. Progression from one to two children has ramifications for the family finances, time use and the socialization for the parents, and the well-being of the child … I want to nurture myself without neglecting my daughter.”

Walaupun ini hanya pendapat satu orang, jangan kaget kalau ternyata pendapat ini diakui mewakili pemikiran sebagian besar orang Singapore. Pemikiran seperti ini sebenarnya tidak muncul secara tiba-tiba, karena bisa jadi faktor lingkungan adalah yang terbesar yang melahirkan banyak orang dengan pemikiran seperti itu secara pelan-pelan tanpa disadari.

Di Singapore, normanya adalah suami istri bekerja dua-duanya untuk sebuah gaya hidup yang meliputi mobil, wisata tahunan ke luar negeri, dan les-les tambahan untuk pelajaran, musik, dan lainnya bagi anak.

Nuansa persaingan karir di level korporat juga seperti tidak ada henti. Ini membuat pasangan suami istri yang bekerja berpikir bahwa memiliki anak berarti opportunity cost yang sangat besar menanti mereka.

“With three months maternity leave, morning sickness and numerous medical certificates, a mum will be less productive than a peer who is free of the above. Children can slow a woman’s climb up the career ladder,” komentar seorang manajer finansial, 29 tahun.

Memang tidak semua orang Singapore seperti itu. Toh ada juga keluarga yang beranak lebih dari dua, seperti kisah suami istri Peter dan Jilyn Tan yang dianugerahi lima anak.

Harus diakui, resikonya bagi mereka, banyak kemewahan-kemewahan yang harus mereka lupakan, seperti liburan tahunan ke Indonesia atau Malaysia seperti para tetangganya. Anak pertama mereka juga harus rela tidak ikut kursus musik dan sebangsanya di saat kebanyakan teman-temannya ikut. Untuk menghemat uang, mobil serba guna berkapasitas tujuh orang yang awalnya mereka miliki juga terpaksa diganti dengan yang lebih sederhana, Nissan Sunny yang hanya muat untuk 4-5 orang.

Tapi Mrs. Jilyn Tan berkomentar bahwa tidak pernah terpikir penyesalan sedikit pun di benaknya, “The pleasures of seeing them grow up—you can’t put a price to that.”

Singapore,
Sabtu, 16 Agustus 2008

Sumber:
The Straits Times 12 Juli 2008, The State's Lulaby: Baby, come Back,
Wikipedia, List of countries and territories by fertility rate
Kompas.com, Krisis bayi di Korea Selatan

Yang juga menarik:
Link, Irwan Prayitno anaknya 9!
Kompas.com, Indonesia Terancam Baby Booming

Labels: ,

24 Comments:

  • pertamax
    Anak2 di sini banyak harus ikut les ini itu sih,kan kiasu..

    By Blogger BiPu, at 9:00 AM, August 17, 2008  

  • Btw, ada artikel yang bagus nih. Rasanya sayang banget kalo nggak di-share. Jadi saya copy paste di sini ya:

    Tulisan Harry Sufehmi

    A Geek (Parent)’s Love

    As a computer geek, I love my kids a bit differently (is it an understatement ?) than others.
    I love them very much, but I’m also able to discipline them fairly when needed. My kids are all able to use computer since they’re babies :) All are able to use Linux daily :D
    They love books, as I do. They don’t watch TV (I forbid one in my house), but they browse the internet under our supervision. And so on.

    But what make me in awe everyday is because I happen to understand computers : I know how stupid it is. So I’m constantly amazed when my kids are able to accomplish something new. Because it made me remember that, despite the latest advances in the artificial-intelligence field, they are nowhere close to the intelligence level of my baby : self-aware & sentient. And capability to learn pretty much **anything**.
    Try to top that :)

    Anyway, so it was with great feeling I read this comment again and again. It moved me so much.
    It was exactly my experience, but written so much more eloquently that I could ever hoped for.

    I hope I’ll be successful in my duty : to raise all of my kids to be good adults. To all other geek parent’s out there, here’s one for you :

    I won’t lie to you — being a parent is no laughing matter. It is a ton of work. It can be amazingly stressful and expensive. I’ve been through periods that I look back on now and wonder how the hell I managed to pull through without going completely insane.

    But if you ask me, the rewards outweigh the difficulties ten to one.

    When your child first looks up at your face and you see actual recognition in her eyes… when you see all the blocks fall into place as she figures out how to do something for the first time… look, I know it sounds really sappy and smarmy, but seriously (srsly) it is absolutely indescribable.

    This thing started out as a bit of genetic code from two people, and now it is actually self-aware and sentient. How cool is that? What geek can’t be astonished at these emergent properties, derived from a program more complicated than you can possibly imagine — a program that has spontaneously evolved over time?

    And you get to see her mental map evolve. You watch branches get added to her decision tree. You observe as she learns how to acquire information, process it, and decide how to act upon it. And all the while, you mold her view of the world based on your interactions with her. I don’t know about you, but I find that not only fascinating, but incredibly rewarding.

    Before my daughter was born, I was terrified too, and (if) somebody had said these things to me, I would’ve said, “Yeah, okay, I’m sure it’s great and all, but I’m sure you’re exaggerating somewhat.” That’s because there is something that happens to you when it’s your kid. There’s some very ancient, very basic code that gets turned on in your brain that says “this life is your responsibility, and you must do everything you can to ensure its safety, survival, and growth“. I can’t explain it because I honestly believe it’s something buried deep beneath the conscious mind.

    By Blogger Radon Dhelika, at 9:01 AM, August 17, 2008  

  • Ke artikel mas Harry: kapan ya otak manusia bisa kita reverse engineer.

    Ke artikel mas Radon: pernah issue ini muncul di EngSoc, waktu itu gw bilang: "Well, appealing to kiasu-ness, mreka bisa gak dibujuk buat mempertahankan gene nya di gene pool manusia; biar gak kalah di natural selection"

    By Blogger ryy_, at 11:43 AM, August 17, 2008  

  • kira-kira ada pengaruhnya gak ya keterlambatan usia anak2 singapura (khususnya cowok) untuk masuk kuliah (dibanding kita mahasiswa internasional) sehingga lulusnya ?

    kan perkembangan karir dan gajinya juga jadi lebih lambat. dan jadi less motivated buat punya anak, which is butuh duit. :D

    By Blogger phy, at 4:24 PM, August 17, 2008  

  • Huhu ada artikel baru lagi
    http://sg.news.yahoo.com/ap/20080817/tap-as-singapore-babies-832f4ab.html

    By Blogger Unknown, at 12:16 AM, August 18, 2008  

  • tadi mlm, gw barusan ntn national day rally nya Lee Hsien Loong. dia nyinggung masalah yang sama persis ama yg lo bhs skrg. padahal,lo nulis artikelnya kan 1 hr sblmnya (barengan ama rally yg LIVE)

    agak sedikit penasaran gw:
    1) purely coincidence
    2) summary atas kehadiran lo LIVE di rally ini, ato
    3) emang lo bener2 kebanyakan waktu sampe tren sekecil kependudukan/bayi/tkt kesuburan aja bisa lo tangkep??

    either way... Halo apa kabar???

    By Blogger SMU 1 Serang 2004, at 12:50 AM, August 19, 2008  

  • Ngejawabin Tegar, *ikut berkonspirasi*

    1. Jangan2 emang dibayar PM tuh, biar mensupport omongan di rallynya dia.
    2. Gak perlu datang waktu livenya lah, harus jauh2 hari sebelumnya bisa mengcapture apa yang akan PM omongin.
    3. Ya jelas harus punya waktu dong, kan sebagai pak polisi, yang begini pun harus bisa ditangkap *hoho*.

    Notes jawaban di atas purely fiksi

    By Blogger BiPu, at 10:13 AM, August 19, 2008  

  • @bipu: tadinya mau nulis tentang kiasu juga sih. Tapi dah kepanjangan tulisannya.

    @ryy_: no idea. 30 tahun lagi? Dan yang contribute Engineer dari Vestas?

    @phy: dulu sih di kelas Engineer and Society, justru dibilangin kalo cowok2 NS graduate justru diharapkan akan lebih termotivasi buat nikah setelah ngeliat cewek2 yang lebih muda 3-4 tahunan dibanding mereka di kampus :)

    @tegar & bipu: unfortunately, bukan 1, 2, atau 3, tapi
    4. Kan gw yang bikin teks buat speech PM, haha.
    NB: yang ini juga fiksi

    By Blogger Radon Dhelika, at 5:18 PM, August 19, 2008  

  • Aku masih gak ngerti tentang artikel yang geek itu Don, maksudnya meng-append artikel itu apa? Point yang mana yang mau kamu sorot, kenapa kamu bilang bagus dan sayang kalo ga dishare, terus apa hubungannya dengan artikel kamu sendiri. Point secara ke-geek-annya kah, ttg anaknya yang bisa komputer dan ttg komputer tidak bisa sepintar sang anak, atau tentang bahwa melihat anak tumbuh itu punya nilai tersendiri?

    むかしむかし、君にあの事を話したんだ。楽しい事でした。「あいつたち」の事見たんだ。んんん、見つめたんだ、見守ったんだ。「小さい」一年生から今まで。いろいろの事変わったんだ。楽しかったです。ああ、さいごで、よくくなかったです、でも。。やっぱり、まだ楽しかった。

    答えて下さいねえ。

    By Blogger BiPu, at 11:16 AM, August 20, 2008  

  • @bipu: hmm, itu cuma ngeshare beberapa pendapat orang tentang "the joy of parenting" sih. Soalnya kan kebanyakan orang Singapore lebih banyak ngebahas anak dari sisi bebannya aja--yang kemungkinan jadi alasan mereka males punya anak.

    By Blogger Radon Dhelika, at 12:17 PM, August 21, 2008  

  • Haha. Baru nyadar yang ngasih comment cowok semua, ga perlu pendapat cewek yah? :P

    *kekekekekekek*

    By Blogger Fanny, at 1:57 PM, August 26, 2008  

  • @fanny: Hehe, bener juga. Terus, kalo cewek pendapatnya apa? :)

    By Blogger Radon Dhelika, at 4:54 PM, September 01, 2008  

  • cewek komen...
    kata mama, orang tua itu bekerja keras untuk anak-anaknya. supaya anak-anaknya bisa hidup enak, belajar sekolah, seneng-seneng.Dan nanti, ada masanya anak-anak yang berperan jadi orang tua, dan ngerasain seperti yang orang tua rasain sekarang. begitu terus.
    belum jadi ortu siy... tapi paling nggak bisa ngebayangin...kuw sendiri suka banget sama anak kecil. dan sekarang udah latihan ngasuh lewat kelinci-kelinci lucu kecil nan imut. seneng banget aja rasanya ngeliat mereka tumbuh sehat dan lucu. sedih waktu ada yang mati. begitu deh. bikin hidup lebih seru dan ceria aja.
    kalo sebagai anaknya, nggak ngebayang kalo kuw cuma dua bersaudara atau jadi anak tunggal. kuw aja yang enam bersaudara masih ngerasa sepi....apalagi kalo udah pada sekolah.pulang pada sore. kalo kuw pulang ke rumah, sepi.....sebel...
    nggak perlu mungkin ya, hidup dengan standar orang lain, kalo itu bikin tertekan. yang penting kita bisa hepi dan seneng ngejalanin semuanya: sekolah, kerjaan, deelel. (maap, pikiran anak kecil nieh... hehehe ^^)

    By Blogger -green(farah)jewel-, at 3:31 PM, September 03, 2008  

  • Wah baru satu cewe yang komen...mo komen juga ah :D

    Menurutku pandangan orang2 Singapur itu realistis..maksudnya...mereka bener2 menimbang2 whether mereka punya cukup 'modal' ato nggak buat ngebesarin anak. Hal ini adalah salah satu bentuk tanggung jawab juga. Kalo mau punya anak ya harus tanggung jawab dong tentang welfare si anak, harus bisa nyekolahin, nyukupin kebutuhan gizinya, dll. Lain sama keyakinan kebanyakan orang indonesia yang 'banyak anak banyak rezeki'. Kan kasian juga kalo anaknya nggak bisa sekolah karena kegagalan financial planning dalam keluarga. Ujung2nya malah si anak dibuang ke panti asuhan, padahal kedua orang tuanya masih hidup.
    Check out this CNN video for further story:
    Kisah Ahri - Dibuang ke panti asuhan

    BTT, tapi realistisnya orang singapur terlalu kejam sih...
    Masa ngeliat anak dari burdennya doang. Padahal melihat anak yang tumbuh dari kecil hingga besar itu touching sekali. Dari tengkurap, duduk, jalan, berlari. Belum kalau gedenya jadi anak pinter, soleh/solehah....
    Manusia itu punya kebutuhan untuk menyalurkan rasa sayangnya.
    Kalo sayang sama pacar/pasangan hidup itu bisa putus.
    Tapi kalo sayang sama anak...hubungan itu bakal last sampe ajal menjemput..insya Allah.






    *Jadi kangen adek huhuhuhuhu

    By Blogger Gita, at 2:41 PM, September 06, 2008  

  • Assalamualaikum :)

    Hear ye! Hear ye! Im not only a cewek but also a Singaporean. :)

    Thanks Gita for pointing out that Singaporeans are very much realistic in nature.

    There are many things to consider before having a child.Like what have been mentioned so far,the cost of living practically kills us out there, just look at our cost of transport, even as a student, I cringe everytime I need to top up my bus concession.

    I can of course go on listing down more reasons why Singaporeans rather not have children or start having children at a later stage.There are two sides to every coins;its very tempting to sum everything up by concluding that Singaporean are very realistic but please allow me to give another depth to it.

    Being good/outstanding is a norm, short of mandatory.And this translates into having a family,bringing up children etc.

    Being Singaporeans, I feel that we are being conditioned that there are no rooms for mistakes to such an extent that, some are afraid to start families.Or they feel that they need to 'prepare' before they settle down.Prepare would mean being emotionally and mentally ready for children (rather than financially) and this also lies in the dynamics of both husband and wife. And yes, they are realistic and pragmatic about it.And I might be one of them too.

    As a women, even with maternity leave and other allowances, it hinders moving up the career ladder. Just be absent for 2 months and the company would have found you obselete and another replacement.

    These are things which we cant change here in Singapore.Which we cant run away from.It is a price to pay for the comfort of living that we are in as compared to the other parts of the world.

    There is something else I feel that we could do and this is to stop putting a tag price on babies(haha..which is not going to happen very soon.)

    The culture in Singapore traps us in the need to put a tangible value or cost to everything.Yes, its realistic and pragmatic but they also fail to put a non-tangible value to it as well.Important things such as love,comfort,inward peace,companionships are what makes us human beings.

    I think another reason for not wanting babies or even getting married is mainly about the paradigm which is , "its all about me/us".

    etc.
    I want to have a fufilling career.
    I want to travel.
    I have a 20 year plan.
    I want...
    And what I want, I must get , and nothing stands in my way.

    And that is why they see having families as a stumbling block to achieve thier dreams. And I would be a hypocrite to say that I dont feel the same way.

    But I am willing to take the risk that I want both my dreams and a family and me and my future life partner is going to work things out. I guess that very much draws a line between me and some of the other singaporeans.They are not willing to take the risk as they are afraid of failure of balancing both worlds and prefer to gain their own self-fulfillment.

    And why are they hesitant to take this risk?

    Im not sure but perhaps one could attribute it to their past experiences growing up.Perhaps their youthful days were filled with much stress with schoolwork, less than happy family lifes etc.
    And they dont see the need to bring life to someone who is probably going to go through the same process.

    Having said that, dont be frightened; Singaporeans (including me,especially me)are very nice people.Haha..

    Its just that we suffer from all the price we pay for a high comfort of living and some of us are not able to absorb the expense fast enough that we endanger our own Singaporean species. And our emotional well beings in the form of having families.

    Wa'Allahualam

    *ps.I would love to write in Bahasa but trust me, my Bahasa would have confused us all more than my english might be :P

    By Anonymous Anonymous, at 7:39 AM, September 07, 2008  

  • @green jewel: Punya saudara 5 kayaknya seru ya. Hehe, saya cuma 2 bersaudara lo :)

    @gita: Rasanya kalo mau jujur, kisah kayak Ahri itu banyak banget di Indonesia: yang dibuang 'literally', yang disuruh ngamen, yang disuruh jualan plastik di pasar, yang 'dijual', dll. Realistis (pragmatis)-nya orang Singapore emang terlalu ekstrim, dan kebalikannya kebanyakan orang Indonesia justru ada di ekstrim yang satunya lagi.

    @anonymous: hey anonymous (I think I know you), thanks for putting up a such lengthy yet insightful and thought-provoking comment here.
    Now that a Singaporean cewek has had a say, there's not much left for me (foreigner-cowok, haha) to comment, isn't it?
    Btw, I really really like those lines of yours: "It is a price to pay for the comfort of living that we are in as compared to the other parts of the world"; this line by itself has wrapped up all. And of course the way you put the baby bonus as "putting a tag price on babies"; wow, very well-said. Only by now I can feel how err—inhuman those policies are.
    However, you are correct as well to say that there are two sides of every coins. Singapore on one side, Indonesia on the other. That is to say that those two belong to different extremes in this case. Now I wonder which country can fall under 'the edge' of the coin instead of 'the side' :)

    By Blogger Radon Dhelika, at 1:18 PM, September 13, 2008  

  • @Anonymous:

    :D


    btw don...word verificationnya matiin dong...wkwk

    By Blogger Gita, at 11:25 PM, September 18, 2008  

  • cited from kartun lingkungan-nya larry gonick, salah satu cara menyelesaikan masalah kelangkaan energi adalah dengan nggak punya anak banyak-banyak. Brutal sih, tapi lumayan makes sense :D

    By Blogger Iko, at 11:49 PM, September 18, 2008  

  • @gita: huhu, kalo dimatiin ntar banyak spam comment-nya, Git ...

    @iko: ada yang lebih ekstrim lagi sih biar hemat energi: bikin hari tidur nasional.

    By Blogger Radon Dhelika, at 11:35 AM, September 21, 2008  

  • @radon:
    kalo nggak dimatiin banyak spam ya?
    kok aku nggak pake oke oke aja ya wkwkwk...
    berarti traffic blogmu tinggi


    *blogku kalah jauh
    halah

    By Blogger Gita, at 8:04 AM, September 26, 2008  

  • @gita: nggak juga euy :) blog ini trafficnya nggak tinggi2 amat kok. Lha wong jarang diupdate, haha.

    By Blogger Radon Dhelika, at 12:20 PM, September 30, 2008  

  • ah.. bisa aja ni mas Radon.. sibuk ya Mas, jarang update?

    By Blogger SMU 1 Serang 2004, at 12:21 PM, September 30, 2008  

  • @tegar: hehe, ya sibuk-sibuk-santai lah. Kalo mas Tegar kayaknya sibuk-sibuk-sibuk ya :)

    By Blogger Radon Dhelika, at 12:25 PM, September 30, 2008  

  • Bokeps Memekbersih jilatpussy mekirapet Tempik pundek cibay lancaw kontolgede toketmontok toketkenyal toketgede incest doggie jav sedarah anal bokong adult jandamontok jandahorny jandasange jandabening jandamulus sange horni

    By Anonymous pasti hot pasti crot, at 6:18 PM, July 21, 2019  

Post a Comment

<< Home