Delicate, Delightful, Delicious
~A Blog

Thursday, January 03, 2008

Ibu Sepakbola Sedang Menangis

Malam itu akan menjadi sangat bersejarah bagi orang-orang Inggris. 21 November 2007 di Wembley, Inggris takluk 2-3 dari Kroasia, yang membuat mereka terpaksa merelakan tiket ke putaran final Piala Eropa 2008, yang tadinya sudah di genggaman tangan, ke Rusia.

Gerrard, Lampard, Joe Cole, Beckham—nama-nama besar itu rupanya tidak cukup besar di lapangan untuk mengantarkan kemenangan bagi Inggris.

Reaksi media Inggris pasca-pertandingan sudah bisa ditebak. Kecaman-kecaman bermunculan. Semua mengerucut ke beberapa objek, terutama McClaren yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap hasil buruk itu. “Kenapa bukan Robinson?”, “kenapa Beckham tidak dari awal?”, dan masih banyak lagi.

Yang membuat saya terkejut, rupanya justru penggemar Inggris menanggapi itu dengan bersikap pasif-apatis. Konon selalu saja ada percakapan antar penggemar tentang sepakbola Inggris, pertandingan-pertandingannya di sarana-sarana transportasi umum di London, tapi tidak untuk pagi setelah malam bersejarah itu. Semuanya terdiam.

Lalu, siapa atau apa yang salah dengan tim Inggris sebenarnya? Tidak salah kalau orang banyak yang mengecam McClaren, atau Robinson atau Carson dengan blunder-blundernya yang terkadang bisa merubah arah pertandingan. Roy Keane sedikit berbeda dengan menyorot ego masing-masing pemain Inggris yang menurutnya menjadi penyebab utama.

Tetapi kalau dari pengamatan sederhana saya selama 9 tahun ini—sejak saya mengikuti perkembangan sepakbola Eropa tahun 1998—menurut saya permasalahan di tim Inggris sebenarnya lebih fundamental dibanding sekadar kesalahan pelatih, kesalahan kiper, atau ego pemain. Inggris telah kehilangan kebanggaannya sebagai bangsa pesepakbola.

Menggantikan Kevin Keegan yang berprestasi buruk, Inggris sejak tahun 2001 sampai 2006 mempekerjakan Sven Goran Eriksson sebagai pelatih mereka. Inggris dilatih oleh orang Swedia! Ini salah satu pertanda buruk lunturnya kebanggaan sebuah bangsa sepakbola yang seharusnya punya kultur yang kuat. Saya tidak sedang membicarakan tim seperti Yunani yang boleh dibilang tidak mempunyai sejarah kuat di sepakbola; atau mungkin Jepang yang kompetisi liga profesionalnya saja baru terbentuk sejak 1993; tapi ini Inggris, Bung!

Tidak ada pelatih Inggris yang berkualitas. Itu faktanya, dari sejak saya kenal sepakbola hingga sekarang. Klub-klub teratas Liga Inggris semuanya menggunakan jasa pelatih asing. Alex Ferguson sudah menancapkan akarnya di MU sejak 1986, Arsene Wenger di Arsenal sejak 1996. Chelsea dan Liverpool pun secara terus menerus memakai pelatih asing sejak 90-an.

Kalau ditelusuri, Inggris tidak cuma mengalami krisis pelatih, tapi juga krisis kiper. Malah ini bisa jadi lebih parah kondisinya sekarang dibanding krisis pelatih. 4 klub teratas di Inggris semuanya memakai kiper asing. Bahkan klub-klub papan tengah seperti Everton atau Bolton saja sampai harus berusaha keras mengikat Tim Howard (Amerika) dan Jääskeläinen (Finlandia). Pada akhirnya pilihan kiper bagi timnas Inggris memang hanya tinggal Robinson atau Carson.

Melihat itu semua, saya jadi berpikir—jangan-jangan orang Inggris sekarang ber-mindset “kami tidak akan sukses tanpa orang asing.” Memang ini hanya hipotesis saya, tapi kecenderungan ke arah situ rasanya cukup jelas akhir-akhir ini.

Dulu saat Eriksson diangkat sebagai pelatih Inggris di tahun 2001, masih banyak komentar media yang cukup pedas mengkritik FA atas keputusan itu. Saat itu, bagaimana pun masih banyak orang Inggris yang menginginkan timnas Inggris dilatih oleh orang Inggris sendiri. Tapi kini, saat McClaren dipecat tempo hari, nyaris tidak ada yang tidak mendukung FA untuk mencari pelatih asing. Nama-nama yang muncul pun akhirnya sejenis Capello, Klinsmann, Mourinho, dan Scolari. Itulah, kebanggan bangsa pesepakbola yang semakin luntur.

Cerita di Chelsea pun setali tiga uang. Mourinho dipecat, lalu diganti oleh Avram Grant, orang Israel yang tadinya tidak ada yang kenal, dan kini tiba-tiba muncul ke permukaan. Padahal reputasinya sebagai pelatih bukanlah yang terbaik.

Indikasi tentang mindset itu, dan juga tentang lunturnya kebanggan orang Inggris terlukis jelas di Arsenal, tim multi nasional yang disebut sebagai tim Inggris hanya karena bermain di Liga Inggris.

Arsenal yang sekarang sudah tidak terlihat aneh lagi bagi publik Inggris saat menurunkan 11 pemain beserta 5 cadangannya tanpa seorang pun pemain Inggris. Awalnya media Inggris, dan juga penggemar Arsenal cukup kritis. Debat terjadi di media-media. Ada yang pro, ada yang kontra. Tapi kini sudah terasa biasa. Debat dan kritikan seperti itu sudah lama tidak terdengar lagi.

Yang saya sorot adalah tentang rasa kebanggaan. Biasanya, penggemar sebuah klub akan merasa sangat bangga ketika ada pemainnya yang dipanggil untuk membela timnas. Lalu, bersama para penggemar klub lain, mereka mendukung timnas negaranya, dengan membuang identitas klubnya. Hal seperti ini adalah yang umum terjadi di dunia sepakbola.

Tidak heran pendukung Bolton pernah berkampanye “Nolan for England” di tahun 2006. Mereka akan merasa sangat bangga kalau saja Kevin Nolan yang mewakili Bolton bisa dipanggil timnas Inggris.

Lalu, saat Arsenal sekarang hanya menyisakan Theo Walcott saja di timnya, inilah indikasi yang cukup kuat bahwa pendukung Arsenal telah membuang kebanggan mereka sebagai orang Inggris saat timnasnya bermain.

Secara umum, saya merasa bahwa kegagalan Inggris di tahun 2007 ini bukan kasus instan. Kegagalan tahun 2007 adalah rentetan kegagalan dan degradasi selama bertahun-tahun. Sehingga penyelesaiannya pun bukan dengan cara yang instan. Membayar Fabio Capello mahal-mahal belum tentu menyelesaikan masalah. Sebuah pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi bangsa Inggris, kalau seandainya mereka masih memiliki kebanggaan sebagai bangsa pesepakbola.

Dulu di tahun 1998, saya percaya kalau Inggris akan juara dunia di tahun 2006. Tapi permainan Inggris justru semakin menurun. Ironisnya, permainan terbaik Inggris dalam 9 tahun terakhir ini dalam pengamatan saya adalah di Piala Dunia 1998. Itu adalah generasinya Shearer, Ince, Adams, Seamen, di bawah asuhan Glenn Hoddle.

Saat itu, saya percaya—atau mungkin berharap—masanya Inggris adalah di tahun 2006. Tapi kalau melihat kondisinya sekarang, angan-angan itu rasanya masih sangat jauh.

Singapore,
Senin, 3 Desember 2007

Hanya curahan hati seorang penggemar Inggris

NB: Tulisan ini dibuat sebelum Capello ditunjuk sebagai pelatih Inggris

Labels:

5 Comments:

Post a Comment

<< Home