Delicate, Delightful, Delicious
~A Blog

Saturday, April 21, 2007

Tujuh Gol Itu Bagi AS Roma

Partai kedua perempat final Liga Champions musim ini antara MU dan AS Roma di Old Trafford, 10 April 2007 lalu, memang tidak mudah dilupakan.

Bagi MU, ini adalah partai yang cukup bersejarah. Seperti saat MU membalikkan keadaan di partai final Liga Champions melawan Bayern Munich 8 tahun lalu, partai ini pun mungkin akan dikenang sampai beberapa generasi mendatang. Jelas, sebuah pertandingan melawan klub yang sedang bercokol di posisi kedua klasemen sementara Liga Italia, dengan memasukkan 7 gol yang berkelas akan selalu diingat pendukung MU.

Van Der Sar menyebut

It wasn't that Roma played badly, we were just very, very good." (Buzzle.com)

Media di mana-mana menulis tentang kejeniusan Ferguson, kepantasan Ronaldo sebagai pemain terbaik dunia, terjawabnya keraguan public atas Carrick, dan tema-tema monoton lainnya.

Kebalikannya, media internasional sedikit sekali membahas hasil pertandingan ini dari sisi Roma. Padahal, bagi Roma, momen itu pun akan terus diingat dan membekas sampai beberapa generasi, walaupun mereka berusaha keras ingin melupakannya.

Dari komentar-komentarnya, Luciano Spalletti sampai terdengar begitu terpukul—kalau tidak ingin disebut remuk redam—dengan hasil pertandingan itu.

Would I have changed anything? I would’ve stayed at home!” (Channel4.com)

Sang pangeran Roma, Francesco Totti, juga berkomentar senada

"It was the saddest night of my career." (Soccertimes.com)

Philippe Mexes, yang dituding sebagai penyebab 2 dari 7 gol MU sampai harus meminta maaf kepada pendukung Roma secara resmi.

"We can only apologise to our supporters, despite the bad result in Manchester. Please continue following us." (Eurosport.com)

Tidak aneh sebenarnya mengomentari mengapa Mexes harus sampai sejauh itu. Sepak bola di zaman modern ini sudah berubah menjadi bagian dari dinamika emosi orang banyak melewati apa yang bisa dijelaskan oleh rasio. Ada yang teriak karena gol, tapi ada juga yang menangis sesenggukan karenanya. Ada juga yang bondo nekat berangkat ke Jakarta untuk mendukung timnya, tanpa berpikir panjang tentang duit di dompet untuk ongkos pulang.

Di Roma, seperti ditulis koresponden SoccerTimes, Chris Courtney, sepakbola sudah jadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Di ibukota Italia itu, selain AS Roma, ada lagi Lazio. Basis pendukungnya pun beda. Sebagian besar masyarakat Roma yang tinggal di kota adalah pendukung AS Roma. Sedangkan sisanya yang di pinggir kota Roma adalah pendukung setia Lazio. Sehingga, kalau Anda pendatang baru di kota Roma, lalu ditanya “Anda Romanisti?”, maka bisa dibayangkan bagaimana kelanjutan kisah hidup Anda kalau Anda adalah Laziale yang jujur.

Chris Courtney menulis deskripsi yang menarik tentang suasana kota Roma tiap akhir pekan, saat pertandingan AS Roma disiarkan melalui televisi.

I can hear the drama. When the team scores, one can hear shouts through the windows. When a shot goes wide, groans of disappointment ring out. A defensive gaffe earns a string of comments and corrections in organization.

Sekarang kita punya bayangan apa yang terjadi dengan pendukung Roma setelah menyaksikan “pembantaian” tim kesayangannya itu oleh MU tempo hari. Di pagi hari setelah malam itu, kota Roma yang biasanya cukup riuh rendah, terlihat lebih sepi. Orang-orang yang biasanya duduk-duduk mengobrol di kafe terlihat jarang. Sebuah toko buah, yang penjualnya adalah pendukung fanatik Roma, tidak berjualan di hari itu, bersamaan dengan pekerja-pekerja kantor yang menghilang karena “sakit” di hari itu.

Oleh pendukungnya, pemain dan pelatih Roma disebut “badut” sehari setelah kekalahan menyakitkan itu. Beberapa pendukung sampai mengepung stasiun radio, stasiun TV, dan kantor surat kabar di Roma, menuntut agar Luciano Spalletti dipecat.

Lebih parah lagi, dikabarkan Roma sempat menerima ancaman bom. Itu belum semua, karena masih ada sebuah paket berisi 120 kg wortel dan beberapa bebek hidup dikirim ke salah satu fasilitas latihan Roma beberapa jam sebelum pertandingan melawan Sampdoria, 15 April lalu.

Walaupun berhasil menang 4-0 dan menunjukkan performa yang membaik saat melawan Sampdoria, tetap saja pendukung-pendukung Roma masih kecewa dengan kekalahan 7-1 itu. Tidak ada nyanyian, tidak ada tarian, dan hanya sedikit senyum yang terlihat dari para pendukung Roma pasca kemenangan itu. Tampaknya luka Old Trafford terlalu dalam untuk disembuhkan hanya dengan satu atau dua kemenangan.

Ini memang bagian-bagian dari sepakbola yang tidak bisa dijelaskan dengan logika biasa. Ya semoga saja tidak ada kasus “Andres Escobar”—seperti di Piala Dunia 1994—versi dua di Roma.

Singapore,
Kamis, 19 April 2007


Bahan bacaan:
"AS Roma will need time to recover from Man U rout", SoccerTimes.com
"AS Roma targeted by bomb scare and prank packages", International Herald Tribune
"Fans label Roma 'clowns'", Mirror

Labels: ,

3 Comments:

  • Reuters bilang itu penampilan terbaik MU dalam 50 tahun terakhir.

    Roma sedang berada dalam waktu dan tempat yang salah. Mereka ga main terlalu jelek, tapi MU-nya yang bagus banget. Siapapun lawannya pas MU main kaya gitu, pasti bakal kalah.

    Lepas dari itu dan tanpa bermaksud menggurui, Roma terlalu PD di Old Trafford dengan main terlalu terbuka. Dan ini ada faktor belum pengalamannya Spalletti di Eropa. :D

    By Anonymous Anonymous, at 3:30 AM, April 22, 2007  

  • MAAF...KAMI LAGI SIDAK SEBENTAR DI TEMPAT ANDA.. :)

    By Blogger KEMENTERIAN DESAIN INDONESIA, at 3:29 AM, April 27, 2007  

  • hedi>>
    Salam kenal, Mas Hedi.
    Radon,
    Internisti

    Wahyu Aditya aka KDRI>>
    Wah, ini salah satu program kerja Pak Menteri ya? Btw, kena reshuffle gak nih, Pak Menteri?

    By Blogger Radon Dhelika, at 9:52 AM, May 02, 2007  

Post a Comment

<< Home