Delicate, Delightful, Delicious
~A Blog

Sunday, March 11, 2007

Islam Untuk Siapa?

Di Singapore dan Malaysia, ada stigma yang cukup menarik, bahwa Melayu (Malay) adalah Islam. Walaupun nggak sekuat di Singapore dan Malaysia, di Indonesia pun ada stigma seperti itu, biasanya dihubungkan dengan pemisahan pribumi dan non-pribumi, atau pri dan non-pri; seperti di Malaysia yang mengenal bumiputra dan non-bumiputra.

Ada masalah dengan itu? Untuk stigma ini, saya pikir nggak masalah. Malah mungkin positif. Setiap orang yang merasa Melayu, dia sudah punya papan yang menggantung di punggungnya—hanya saja nggak kelihatan. Papan itu bertuliskan “Muslim” dengan huruf yang besar-besar. Iya, setiap orang Melayu akan merasa dirinya Muslim, karena sejak lahir mereka sudah dikenalkan dengan budaya Melayu—atau budaya Islam—sampai nggak bisa dibedakan lagi mana yang Melayu, mana yang Islam. Begitu yang saya perhatikan di Singapore.

Yang lebih menarik, di Malaysia, stigma ini dikuatkan jadi sebuah definisi yang legal oleh konstitusi federal Malaysia. Disebutkan bahwa konstitusi federal mendefinisikan Melayu sebagai orang yang menganut Islam, berbicara bahasa Melayu, dan mematuhi adat istiadat Melayu.

Barangkali politisasi etnis dan agama ini yang menghasilkan citra Islam yang sangat kuat dan kental di etnis Melayu. Hasil studi tahun 2006 menyebutkan bahwa 70% orang Melayu melihat diri mereka sebagai seorang Muslim terlebih dahulu, baru sebagai Melayu, lalu sebagai orang Malaysia.

Tapi sayangnya, kalau paradigma “Melayu adalah Islam” ini kebablasan, akan jadi buruk. Yang saya maksud, kalau ternyata paradigma itu berkembang jadi kebalikannya, Islam adalah Melayu. Hal seperti ini yang tampaknya terjadi di Malaysia, sehingga isu-isu yang kemudian dibahas adalah tentang perlu nggaknya muallaf (Muslim convert) yang kebanyakan adalah dari Chinese menggunakan pakaian tradisional Melayu, atau tentang boleh nggaknya Muslim convert makan dengan sumpit, dan isu-isu trivial lainnya. Jelas, karena dengan paradigma seperti itu, logikanya adalah semua kebudayaan yang non-Melayu menjadi nggak Islami. Hal ini juga semakin diperkuat oleh diksi yang digunakan di Malaysia untuk menyebut Muslim convert sebagai “masuk Melayu”.

Padahal komunitas Muslim Chinese di Malaysia mencapai 60 ribu sampai 70 ribu. Beberapa di antaranya malah sudah memeluk Islam sejak lama, seperti Ridhuan Tee Abdullah, wakil presiden Malaysian Chinese Muslim Association, yang sudah Islam sejak 22 tahun lalu. Selalu setiap tahun, akunya, dia bersama keluarganya pulang kampung ke Teluk Intan di Perak untuk ikut reuni keluarga besarnya. Tuturnya, ini sangat konsisten dengan Islam yang mengajarkan untuk menjaga tali silaturahim dengan kerabat. “Kami bisa makan bersama selama makanannya halal. Keluarga saya sudah mengerti yang boleh dan yang dilarang di Islam, dan lebih banyak yang boleh dibanding yang dilarang,” lanjutnya seperti dikutip di Straits Times.

Mempertimbangkan stigma “Islam adalah Melayu” yang sudah sangat mengakar, usul mufti Perlis, Dr Mohamed Asri Zainul Abidin, kepada pemerintah negara bagian Malaysia untuk mengizinkan komunitas Muslim Chinese membangun masjid bergaya Chinese nggak sepenuhnya bisa disalahkan. Pertimbangan lainnya adalah tentang komunitas minoritas yang biasanya berkelompok. Sehingga dengan memiliki masjid seperti itu, dan diurus oleh pengurus-pengurus dari kelompok Muslim Chinese, bisa jadi akan mempercepat kepentingan syiar Islam di daerah tersebut, seperti yang terjadi di Surabaya dengan Masjid Cheng Ho-nya yang masyhur. Karena merekalah yang lebih mengerti tentang bagaimana cara pendekatan dan marketing dakwah yang baik untuk komunitas mereka sendiri. Bisa jadi dengan adanya masjid seperti itu, akan bisa diadakan kegiatan-kegiatan dan kelas-kelas keagamaan dalam bahasa China juga, mempermudah syiar ke generasi muda Chinese yang umumnya nggak fasih bahasa Melayunya, beda dengan generasi tuanya.

Lalu, tentang arsitektur juga harusnya nggak ada masalah. Karena bagaimana pun kita nggak bisa menyebut arsitektur masjid dengan kubah dan menara-menaranya yang banyak kita lihat sekarang ini adalah arsitektur Islam. Gaya seperti itu sebenarnya diadopsi dari gaya arsitektur Persia saat kaum Muslim ekspansi ke Persia, yang kemudian menyebar hampir ke seluruh wilayah Muslim. Bahkan Masjid Nabawi yang dibangun Rasul pun dulu hanya bangunan persegi sederhana dengan tembok-tembok yang mengelilingi dan tak beratap.

Barangkali, di benak sebagian besar kita, masih ada anggapan bahwa budaya atau gaya hidup orang China sangat jauh dengan Islam, terlebih kalau bahasan kita mengacu ke makanan. Karena makanan China bisa jadi adalah salah satu di dunia yang banyak sekali memakai bahan dari daging babi.

Tapi Anda salah besar kalau menganggap kita nggak bisa menemukan kehidupan keislaman di China seperti layaknya yang kita lihat di Indonesia, misalnya. Jumlah Muslim di China sendiri mencapai sekitar 20 juta, jauh melebihi total Muslim di Malaysia yang sekitar 16 juta. Lebih-lebih, secara historis, Muslim China sudah memeluk Islam sejak lama sebelum kemudian Islam datang ke semenanjung Malaya. Dari 20 juta itu, sebagian besar adalah etnis Hui yang tinggal di wilayah-wilayah di Barat Laut China, terutama di propinsi Tsinghai, Kansu, dan Ningsia. Saya sampai brebes mili menyaksikan seorang gadis perempuan Chinese membaca hapalannya, surat Al-Mulk, saat kita semua tahu anak-anak Indonesia seusianyadan mungkin termasuk kitamasih banyak yang berkutat dengan juz 30-nya.

Jadi, inilah stigma “Islam adalah Melayu” yang mengakar di Malaysia. Tentang ini, timbul pertanyaan: kalau ada Chinese yang muallaf, lalu dia bicara bahasa Melayu dan memakai pakaian adat Melayu, apakah secara hukum dia telah menjadi Melayu seperti yang didefinisikan konstitusi? Lalu, dia pun berhak atas fasilitas ekonomi dari pemerintah, begitukah? Ternyata nggak serta-merta semudah itu cara berpikirnya. Bahkan, di tingkat yang ekstrim, masih ada orang Malaysia yang mengagungkan etnis di atas agama, dengan nggak menjawab salam Chinese Muslim, misalnya.

Dalam isu ini, PAS rasanya lebih cantik dalam mengambil sikap. Mereka lebih berdasar pada agama, bukan seperti UMNO yang berdasar pada ras. Di negara bagian Kelantan yang dipimpin oleh PAS, sudah ada Chinese Muslim yang masuk jajaran birokrasi.

Seperti yang dulu Rasul perjuangkan, Islam memang bukan hanya untuk kelompok atau etnis tertentu. Islamlah yang dulu menyatukan bangsa Arab yang tadinya terpecah-belah karena ego masing-masing kabilah. Dan kita tahu, sampai sekarang Islam nggak berubah. Maka, Islam—by design—bukan hanya untuk orang Melayu, melainkan untuk orang Jawa, Padang, China, Jerman, Inggris, Jepang, Mesir, Kenya, India, Rusiauntuk semua.

Singapore,
Ahad, 11 Maret 2007


Bahan bacaan:
"Breaking the link between ethnicity and Islam," The Straits Times, 22 February 2007
"Singapore: 500 convert to Islam every year," IslamicSydney.com
"Islam in China," Wikipedia
"Islam n China," Muslimwikipedia
"The sad tale of Islam in Malaysia," Cakap Tak Serupa Bikin

Wajib nonton:
Gadis Chinese Muslim baca Quran, YouTube

Labels:

7 Comments:

  • Radon, makasih sekali buat tulisannya, very inspiring :)

    By Anonymous Anonymous, at 2:09 AM, March 12, 2007  

  • Makasih juga udah baca :) Anyway, harusnya credit goes to wartawannya Straits Times. Soalnya ide tulisan ini, juga kira-kira 40% datanya diambil dari artikel Straits Times.

    By Blogger Radon Dhelika, at 9:13 PM, March 12, 2007  

  • Menarik Don :). Mungkin menarik juga kalo nanti ada pembahasan tentang etnis Hui dll di Cina juga, karena kalo gak salah dengan jumlah pemeluk kurang lebih 20 juta, Islam sekarang agama terbesar di Cina setelah Budha. (mostly atheist). :)

    By Blogger Adilla, at 12:35 PM, March 13, 2007  

  • hem....bingung mau komentar apa ?

    By Blogger -ian-, at 1:02 PM, March 13, 2007  

  • adilla>>
    Kalo mau lebih lengkap tentang etnis Hui, sila ke Mbah Wiki :)
    Sebenernya nggak disebut atheis juga sih. Aku dulu sempet ngambil PE Religion and Social Life, dan sebenernya Antropolog atau Sosiolog nyebut agama di China sebagai Chinese Religion: gabungan Taoisme, Buddha, sama Konfusianisme. Yah, tapi emang mungkin generasi mudanya yang udah lebih "liberal". Kebanyakan mereka ngakunya free thinker.

    septian>>
    Hmm, sama; bingung juga mau nanggepin apa :)

    By Blogger Radon Dhelika, at 9:48 AM, March 14, 2007  

  • "Dan Kami tidak Mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam" (QS 21:107)

    Yah, Islam memang untuk semua =)

    By Anonymous Anonymous, at 8:36 PM, March 14, 2007  

  • fika>>
    iya...

    By Blogger Radon Dhelika, at 4:02 PM, March 15, 2007  

Post a Comment

<< Home