Delicate, Delightful, Delicious
~A Blog

Sunday, July 30, 2006

Berbaik Sangka Kepada Indonesia

Saya pernah ngobrol dengan teman saya dari Vietnam. Saya tanya, “Vietnam itu gimana sih ?”

Lalu dia membalas, “apa yang kamu tahu tentang Vietnam ?”

Alisku terangkat. Hmm, “nggak banyak,” timpalku. “Paling Hanoi dan Ho Chi Minh City saja.”

“Ya, itulah Vietnam,” katanya.

Dia kemudian bercerita panjang lebar tentang Vietnam dan pembangunan yang nggak merata. Bahwa di antara 2 kota besar itu boleh dibilang masih membentang hutan-hutan yang masih lebat. Bahwa masyarakatnya nggak teratur. Bahwa pendidikannya pun masih acak-acakan.

Lalu, di kesempatan lain, saat saya tanya keadaan India ke teman India saya, jawaban dia pun setali tiga uang dengan orang Vietnam—lebih kurang ceritanya berkisar dari transportasi publik yang sistemnya amburadul, korupsi yang merajalela, dan sebagainya. Uniknya, India sekarang ini adalah termasuk negara yang pertumbuhan ekonominya paling pesat selain Cina. Di Singapore, pertumbuhan jumlah orang yang belajar bahasa Hindi semakin meningkat, terutama di tahun 2006 ini (link). Tentunya buat mengantisipasi eksodus bisnis Singapore ke India. Google pun punya kantor cabang di Bangalore, India—satu-satunya di Asia. Bukan di Singapore, bukan pula di Jepang. Entah apa pertimbangannya. Sehingga, banyak orang percaya bahwa politik dan bisnis itu hal yang nggak ada sangkut pautnya di India. Politik boleh seperti kapal pecah, tapi bisnis jalan terus, begitu kata mereka.

Lalu, bagaimana dengan orang Indonesia ketika ditanya tentang negaranya ? Ya, hampir sama, boleh dibilang. Termasuk saya yang biasanya menjawab, “ya seperti yang Anda lihat di berita atau TV. Masih sama.”

Saya masih berpikir bahwa itu jawaban yang paling bijaksana sampai saya bertemu dengan seseorang yang baru tiba di NTU beberapa hari lalu dari Jakarta. Beliau berencana mengambil program MBA selama setahun di NTU. Saya ngobrol banyak dengan beliau, termasuk keadaan Indonesia sekarang, khususnya Jakarta. Tentang dakwah yang semakin menyebar dan semakin banyak diterima berbagai kalangan, tentang rencana pembangunan MRT, dan sebagainya.

“Padahal Indonesia sekarang sudah membaik lo,” kata beliau. “Gerakan anti korupsi setidaknya sudah tampak hasilnya walaupun belum seberapa, Busway pun cukup nyaman sebagai sarana transportasi umum, belum lagi rencana pembangunan MRT.”

Obrolan kami berlanjut. Dan ada poin-poin menarik yang menjadi bahan pemikiran saya setelahnya. Benar juga, buat apa kita menjelek-jekekkan Indonesia di depan orang lain ? Bisa jadi, image buruk Indonesia terjadi justru karena disebarkan kita sendiri. Padahal dengan membiarkan Indonesia—yang notabene negara Muslim terbesar—memiliki image buruk, sama saja dengan iklan buruk buat Muslim.

Kita tampaknya terlalu fasih kalau bicara ranking korupsi Indonesia, terlalu banyak bahan untuk bicara masalah mutu pendidikan Indonesia. Bahkan sudah menjadi sarapan sehari-hari untuk bicara buruknya birokrasi, suap-menyuap di perusahaan, skandal-skandal politik, dan lainnya. “Kenapa kita nggak bilang, ‘Indonesia udah mulai membaik lo’ ke teman-teman kita?” masih menurut beliau.

Teman saya yang lain menimpali, “teori yang menarik. Bisa jadi kalau sekarang kita disodori selembar kertas dan disuruh me-list keburukan dan kebaikan Indonesia, kita akan lebih lancar menulis keburukannya satu persatu sampai ujung bawah kertas. Sedangkan untuk kebaikan ? Wah, nggak tahu deh.”

Saya teringat teman saya yang lain pernah bercerita tentang temannya yang alumni pesantren. Alumni pesantren itu mengaku bahwa setelah bertahun-tahun di pesantren, dia bisa menyimpulkan bahwa Islam itu sebenarnya agama yang penuh ancaman. Teman saya itu tertawa. “Wah, itu sih salah belajar, tuh.”

Memang dia nggak bisa disalahkan 100% kalau memang selama ini diajarin dengan metode “sholat kamu! Kalau nggak sholat masuk neraka lo!” Daripada begitu, kenapa nggak kita ngajarin anak kita dengan metode “sholat yuk, kalau sholat masuk surga lo!” tentunya akan ada efek yang beda, begitu kesimpulan teman saya. Karena if a child lives with criticism, he learns to condemn, kata Dorothy Law Nolte dalam puisinya yang terkenal.

Sebuah teori yang sederhana, menurut saya. Kalau kita kebanyakan baca Pos Kota, maka cara berpikir kita bisa jadi akan seperti cara berpikir Pos Kota. Tapi beda kalau kita baca KOMPAS atau harian lainnya. Tapi tunggu dulu. Memang saya akui KOMPAS atau harian lainnya pun sekarang sudah agak mirip dengan Pos Kota. Hanya saja, Pos Kota skala besar. Pemerkosaan di Pos Kota, pemerkosaan APBN di KOMPAS. Maling komplek perumahan di Pos Kota, maling hutan di KOMPAS. Ya, nggak sepenuhnya salah media dalam hal ini. Soalnya bagi mereka, good news means no news.

Jadi, tergantung kita. Kitanya yang harus thinking out of the box. Yang jelas, harus seimbang. Kenapa nggak kita bicarakan keberhasilan Muhammad Firmansyah, si anak SMP peraih perak itu di sela-sela waktu istirahat kita ? Atau membicarakan Kabupaten Kutai Kartanegara yang berhasil membebaskan uang SPP anak sekolah dari SD sampai SMA di diskusi kuliah ? Atau tentang Kabupaten Sragen dengan aplikasi pengurusan perizinan “satu pintu satu atap” yang inovatif ?

Jadi, bagaimana keadaan Indonesia sekarang menurut Anda ?

Singapore,
Ahad pagi, 30 Juli 2006

Labels:

3 Comments:

Post a Comment

<< Home