Delicate, Delightful, Delicious
~A Blog

Monday, October 16, 2006

Dari Balik Dapur (2)

Para pembaca yang budiman*, saya mohon pamit dulu.

Bukan, bukan mau ke mana-mana kok. Cuma mau pamit dari menulis di blog ini sementara waktu. Udah 10 hari terakhir nih, Ramadhannya! Diriwayatkan dalam hadits, sejak tiba di Madinah dulu, Rasul nggak pernah meninggalkan iktikaf di 10 hari terakhir Ramadhan hingga wafat**. Bahkan Rasul pun seserius itu dulu kalo 10 hari terakhir. Jadi, rasanya menghabiskan 2, 3 lembar halaman Quran lebih nyaman buat saya di hari-hari ini dibanding nulis sesuatu di blog.

Tapi semoga pembaca nggak salah paham, berpikir bahwa saya kehabisan bahan tulisan. Nggak, sama sekali nggak. Bahkan sebenarnya sejak selesai menulis "Ramadhan, Bulannya Semua Orang" sepekan lalu, saya setidaknya sudah punya rencana untuk 3 tulisan ke depan. Tunggu saja!

Assalamu'alaikum w.w.
-Radon Dhelika

NB: Ada artikel bagus tentang Lailatul Qadr di sini.

* Dari dulu saya nggak mengerti maksud penyebutan seperti ini. Bukankah "budiman" itu sebuah kata sifat--apa pun artinya? Jadi, ini bukan sebuah doa agar pembaca menjadi budiman, tapi tulisan yang diawali "pembaca yang budiman, ..." sebenarnya hanya diperuntukkan untuk mereka yang budiman. Entahlah.
** HR. Bukhari

Labels:

Saturday, October 07, 2006

Ramadhan, Bulannya Semua Orang (2)

(Baca dulu "Ramadhan, Bulannya Semua Orang (1)")

Lalu, secara umum bagaimana rasanya Ramadhan di negara-negara lain? Abid, Muslim yang seumur hidup belum pernah puasa dan baru mencoba puasa di tahun ini, mengisahkan beberapa hal yang bisa kita jumpai selama Ramadhan di Dubai. Akan ada banyak pohon-pohon yang dihias sepanjang Ramadhan di Dubai. Gambar di kiri bawah adalah gambar makanan yang paling umum saat iftar di Dubai: dahi bhalla. Atau yang lebih umum lagi adalah kombinasi buah, kurma, dan pakoras, seperti di gambar di kanannya. Kalau di Indonesia kita sudah nggak asing dengan kolak pisang. Untuk orang Singapore, buka puasa tanpa bubur mungkin akan terasa hambar buat mereka.


Memang, rasanya luar biasa kalau membayangkan bahwa di waktu yang berdekatan dan saling susul menyusul, orang meneriakkan takbir saat sholat tarawih; yang satu di Singapore, satunya lagi di Masjid Faisal (gambar kiri bawah) di Islamabad, Pakistan. Ingat, bahwa di seluruh dunia kini ada nuansa Ramadhan. Semua—lebih tepatnya mayoritas—Muslim menikmati dan mengisinya dengan kegiatan-kegiatan. Mulai dari Muslim di ujung kota Rabat hingga Papua, mulai dari Islandia hingga Sydney. Kalau di Indonesia selalu ada bunyi kentongan atau teriakan "sahuur... sahuurrr" yang konon membuat anak Singapore terinspirasi, di masjid Nakhoda (gambar kanan bawah) di India selalu menyalakan lampu di puncak menaranya saat sahur dan buka puasa. Katanya agar orang di kejauhan tahu waktu untuk berbuka dan sahur.

Di Mesir, seperti yang dikisahkan Tom, di perempatan jalan yang sangat padat di pusat kota Kairo, akan ada orang yang siap sedia menyediakan kurma untuk supir-supir di dalam mobil yang terjebak macet tersebut. Sang sukarelawan biasanya juga memiliki botol-botol besar berisi air. Jadi, saat waktu Maghrib menjelang, dia mulai berjalan-jalan di sela-sela mobil yang merayap untuk membagikan apa yang dia punya.

Ada lagi sebuah proyek buka puasa akbar untuk orang miskin yang disebut oleh Tom sebagai proyek meja Tuhan atau “tables of God”. Ratusan restoran membagikan makanan secara gratis kepada ratusan ribu orang-orang paling miskin se-Kairo. Biasanya di atas meja yang panjang di tengah kota. Bahkan di sebuah jalan saja bisa ada 500 orang yang tersebar di 3 atau 4 lokasi. Kegiatan ini ada sepanjang Ramadhan, dikoordinir oleh grup-grup tertentu atau Masjid, dengan melibatkan banyak sukarelawan untuk pegaturan tempat, pemasakan makanan, dan lainnya. Sangat biasa di Kairo untuk menjumpai sebuah grup yang mencari 100 donor yang mau menyumbang uang senilai $175.

Seperti diukutip dari Yahoo! News, Ismael Mohammed berkomentar, “ini adalah hari-hari yang luar biasa buat kami. Sebulan dalam setahun, rasanya semua masalah terselesaikan." Ia adalah ayah dari 10 anak yang hanya hidup dari uang pensiun kecil dari Kementrian Kelistrikan.

Saya teringat perkataan seorang dosen yang mengajak ngobrol saya saat pameran Islamic Awareness Program di kampus. Saya yang saat itu menjaga stand yang berisi foto-foto arsitektur bangunan Islam di seluruh dunia didekati orang itu. “Ini gambar Blue Mosque di Turkey,“ ujar saya sembari mempersilahkan orang itu melihat-lihat poster-poster dan gambar-gambar yang ada.

Saya sudah berpikir untuk membawanya ke stand pembagian Quran terjemahan bahasa Ingris gratis ketika ia tersenyum. “Saya sudah pernah ke sana.” Saya sedikit terkejut. Ia malah melanjutkan kisahnya, “Blue Mosque sangat luar biasa; bangunan yang sangat bagus."

“Saya juga sudah pernah ke Mesir, ke Mongolia, Cina bagian utara—tempat Muslim Cina kebanyakan tinggal, dan beberapa negara Eropa. Terkadang, apa yang kita lihat di surat kabar atau TV nggak sesuai dengan yang kita saksikan dengan mata kepala sendiri,” kisah dari orang Chinese ini terus mengalir. Saya yang bahkan baru tahu tentang Blue Mosque di hari itu hanya seperti orang Jepang yang mendengarkan kisah-kisah orang lain sembari berucap, “a, sou desuka ...”—“oh, begitu ya ...”

Mengetahui kisah-kisah Ramadhan dari seluruh dunia tentunya juga menginspirasi kita. Setidaknya membuka wawasan tentang dunia-dunia Islam yang lain selain yang kita jumpai sehari-hari. Saya saja baru tahu setahun lalu kalau Kazakhastan sebenarnya adalah negara Muslim (mayoritas penduduknya Muslim—pen). Hal ini baru saya tahu saat kenalan dengan Daniyar, satu dari sedikit orang Kazakhstan di NTU. Hanya saja, menurut cerita dia, kebanyakan Muslim Kazakhstan—walaupun mengaku Muslim—sebenarnya hanya Muslim KTP yang jarang sholat. Daniyar sendiri bercerita kalau dia baru masuk Islam 3 tahun lalu. Tapi kini dia sudah puasa, dan beberapa kali ikut sholat Tarawih.

Selain itu juga dari kisah Hannah atau Daniel. Kisah Muslim di Dubai, di Mesir. Inilah mengapa banyak orang merindukan Ramadhan, bulan yang penuh rahmat Allah. Tapi bulan itu kini sudah berlalu setengahnya.

Singapore,
Sabtu, 7 Oktober 2006,
14 Ramadhan 1427H


Sumber:
Ramadan Kareem, blog berisi tulisan orang-orang tentang pengalamannya bersama Ramadan
Blogging Ramadan, juga berisi kisah-kisah

Bahan Bacaan:
Idiot's Guide to Ramadan, bagus untuk mengetahui Ramadan dari kacamata orang non-Muslim
Hadits-hadits tentang puasa, dari blog Andri Setiawan (coba cari posting-postingnya selama Ramadhan)
Islam in Kazakhstan, Wikipedia

Labels: , ,

Ramadhan, Bulannya Semua Orang (1)

Ramadhan memang punya pengaruh yang luar biasa. Kapan lagi kita bisa melihat Masjid dan Musholla bisa penuh saat sholat Subuh dan Isya? Lalu, kalau kita lihat di TV Indonesia, artis-artis akan merasa malu kalau nggak menampilkan sisi “keislamannya”. Juga, mengutip istilah teman saya, hanya di bulan inilah ada yang namanya kontrol sosial yang kasat mata. “Puasa lo, nggak boleh bohong,” atau “puasa nih, nggak boleh ngomongin orang lah.”

Selain itu, kalau kita menjelajah dunia maya, ada banyak hal-hal menarik dari kisah-kisah Ramadhan orang-orang seluruh dunia yang sama sekali berbeda latar belakangnya dengan kita. Tentang bagaimana Ramadhan sangat dinikmati oleh mereka.

Pernahkah membayangkan bagaimana seorang muallaf berpuasa? Saya menemukan kisah seorang Hannah dari Portland, Oregon. Dia muallaf yang baru mengucapkan syahadat bulan Desember lalu. Benar, berarti Ramadhan kali ini adalah Ramadhan pertama buat Hannah. Tapi dia sudah sangat serius ingin menjalankan salah satu rukun Islam ini, begitu akunya di tulisannya.

Yang menarik, suaminya sendiri bukan seorang Muslim. Teman-teman kantornya pun kebanyakan bukan Muslim, yang berarti dia puasa sendirian. Tapi dia mengaku sangat bersyukur karena suaminya sangat toleran dengan mengizinkan dia puasa. Bahkan saat ada di rumah, suaminya berusaha nggak makan di depan Hannah. Teman-teman kerjanya yang non-Muslim pun demikian. Mereka, termasuk bosnya, berlaku sangat baik kepada Hannah. Malah, mengetahui Hannah baru beberapa bulan berpindah keyakinan ke Islam, mereka mendukungnya. Memang, sebagai muallaf, tantangan puasa sangat berat bagi Hannah. Karenanya sesekali di siang hari dia meneguk satu atau dua gelas jus sekedar untuk mengembalikan kadar gulanya.

Katanya, “What I’ve loved about Ramadan so far has been the knowledge that my fellow Muslims all over the world are sharing this month together, and that it’s making me so much more aware of the blessing of having and sharing food.” Makanya kemudian Hannah mengaku sangat menikmati momen iftar dengan teman-temannya. Menurutnya pula, Ramadhan ini adalah saat Muslim mendekati non-Muslim dengan mengundang mereka. Salah satunya bisa ke acara iftar.

Bagaimana pula menurut Anda Ramadhannya seorang Muslim yang tinggal di negara non-Muslim? Kalau seandainya dia tinggal bersama komunitas Muslim lainnya, hal ini biasanya nggak menjadi masalah. Biasanya Ramadhan ini justru jadi waktu-waktu di mana ukhuwah menjadi sangat terasa. Sahur bareng, iftar bareng, masak bareng, dan juga belanja bareng. Semangkok kolak yang dimakan sendiri dengan yang dibumbui gelak tawa atau senyum dari orang lain akan terasa beda.

Di NTU sini banyak kisah-kisah menarik dari teman-teman saya. Ada yang kisahnya tentang telur yang meledak di microwave, atau tentang susahnya masak rawon untuk sahur. Ya, setiap pagi adalah eksperimen. Teman saya yang masak rawon itu biasanya sahurnya berlima—dengan anak-anak Indonesia dan seorang Thailand. Benar-benar warga negara nggak menjadi batas. Asal sama-sama Muslim, semuanya jadi gampang; langsung klop.

Tapi, yang tinggal jauh dari komunitas Muslim biasanya akan sedikit kesulitan. Kisah seorang Pakistan yang memiliki nickname Boo! bisa menjadi contoh. Dia baru dua setengah bulan tinggal di Hongkong untuk bekerja. Memang, dia akui Hongkong negaranya sangat teratur; sangat pemerintah-sentris. Hampir semuanya diatur pemerintah. Tapi keteraturan seperti itu nggak mengobati kerinduan suasana Ramadhan bersama keluarganya di Pakistan. Makanya dia menyempatkan diri pulang ke Pakistan selama 3 hari. Akunya, “I got a couple of Suhoors and Iftaars with family, which made me realize (even more than before) what I'm missing, spending Ramadan alone in Hong Kong. It is just so much different spending the Ramadan alone in a country where you don't hear the Azaan.”

Yang lebih mengherankan lagi, saya baru menemukan bahwa ada sebagian kecil orang non-Muslim yang juga sebenarnya ikut berpuasa di Ramadhan ini. Salah satunya Daniel, warga negara Swedia yang dibesarkan di keluarga yang nggak agamis. Bapaknya atheis, dan ibunya pernah mencoba semua agama dari Kristen hingga “agama” new age.

Danielnya sendiri mengaku mewarisi sifat ibunya yangingin mencari agama-agama. Akunya, ia bukan mencari agama, tapi mencari ritual penyembahan (ritual of worship). Untuk itu ia bertualang ke Inggris dan bertemu dengan komunitas Muslim di sana. Kemudian ia tertarik untuk mencoba “ritual” puasanya orang Muslim. Nggak tanggung-tanggung, ia ingin mencobanya sebulan penuh di Ramadhan kali ini. Makanya banyak sekali kisah-kisah menarik yang dialami sendiri oleh Daniel. Ada kisahnya yang kelewatan sahur, atau kisahnya menghindar dari godaan perempuan. Tapi, tantangan terbesar puasa menurutnya adalah rasa haus.

(bersambung ke "Ramadhan, Bulannya Semua Orang (2)")

Labels: , ,

Tuesday, October 03, 2006

Uniquely Singapore Idol

Kalau saya membahas tentang Singapore Idol di tulisan kali ini, bukan berarti saya penggemar Singapore Idol. Anda salah besar kalau mengira bahwa saya rutin menonton remaja-remaja tanggung nyanyi di depan panggung setiap pekannya, menanti-nanti siapa yang bakal tergusur, dan menghabiskan beberapa dollar pulsa telepon untuk SMS.

Bahkan, seingat saya, kontak saya dengan berita-berita Singapore Idol hanya dua kali. Yang pertama ketika masih di fase delapan atau tujuh besar. Saya yang sedang duduk di bus menuju kampus “terpaksa” menonton apa yang sedang ada di TV Mobile yang ada di bus. Ah, ada Singapore Idol. Saya tanya ke teman yang duduk bersama saya ketika itu, “kira-kira siapa nih yang menang?”

“Hmm, agak susah juga sih. Soalnya yang kegusur justru orang-orang yang bisa nyanyi. Yang cuma modal tampang doang malah masih selamat. Tapi, rasanya sih Hady Mirza. Minimal, dia yang paling keliahtan menonjol sampai sekarang.”

Hmm, orang Melayu berarti. Hady Mirza, saya catat namanya di memori saya waktu itu. Soalnya saya jadi penasaran juga siapa yang benar-benar akan dinobatkan sebagai Singapore Idol tahun ini di ajang kedua setelah ajang serupa 2 tahun lalu di 2004. Sekadar informasi, 2004 lalu kontes Singapore Idol dimenangi oleh Taufik Batisah, seorang Melayu. Makanya saya punya perasaan kalau kontes yang sekarang nggak mungkin dimenangi oleh orang Melayu lagi. Ya, hanya perasaan.

Kontak saya yang kedua dengan Singapore Idol ialah beberapa hari menjelang finalnya. Saat itu ada 2 nama: Hady Mirza dan Jonathan Leong. Wah, Hady Mirza benar-benar sampai ke final; saya cukup dibuat terkesan dengan prediksi teman saya itu.

Saya baca beberapa beritanya di Straits Times. Disebutkan, 2 finalis itu punya karakter dan daya pikatnya masing-masing. Hady Mirza bertipe nice boy; model yang kalem dengan pesona mirip Taufik Batisah, katanya. Sedangkan Jonathan Leong mewakili tipe bad boy dengan daya tariknya sendiri. Dengan tampangnya yang mirip personil F4, saran karir untuk Jonathan Leong oleh Straits Times waktu itu hanya satu: jangan pernah potong rambutnya.

Hasilnya, secara mengejutkan Hady Mirza merebut sekitar 70% pilihan pemirsa, yang berarti ia mendapat pilihan dari hampir 700 ribu orang. Tentunya ini dengan kenyataan bahwa satu orang hanya dibatasi satu SMS. Hasil ini mengejutkan buat saya yang salah memprediksi. Dan tampaknya juga mengejutkan bagi banyak orang di Singapore. Sampai ada satu artikel tertanggal 29 September lalu di Straits Times yang berjudul “lessons in democracy, Singapore Idol-style.” Sang penulisnya, Chui Mui Hoong sampai mengaitkan fenomena Singapore Idol 2 dengan demokrasi dan teori-teori Sosiologi.

Mari kita ikuti percakapan wanita berusia 37 tahun ini dengan keponakannya yang ditulis saat ia mengawali tulisannya.

“Kayaknya Hady Mirza yang bakal menang nih. Dia emang nyanyi lebih bagus.”

Lalu, sang keponakan perempuannya menimpali, “tapi semua orang menilai Jonathan lebih cute (tolong bantu saya menerjemahkan ini—manis?—pen).

Hari berikutnya ia mengizinkan gadis 10 tahun itu menggunakan ponsel miliknya untuk voting via SMS. “Rasanya aku akan pilih Hady.”

“Tapi kamu nggak apa-apa nanti lihat Jonathan sedih karena kalah?”

Matanya melebar sedikit. “Ya-ah,” ujarnya dengan sedikit santai.

“Kalau Jonathan menang, nanti Hady yang sedih, dong?” Chui Mui Hoong kembali menanyakan.

Tapi reaksinya datar-datar saja. “Hmm, kamu yakin kamu nggak terlalu peduli siapa yang menang? OK, kalau misalnya tante tawarin, mau SMS 60 sen buat salah satu kontestan, atau mau tante kasih 60 sen-nya buat kamu; kamu mau yang mana?”

“60 sen aja.”

***

Lalu, bagaimana bisa Hady Mirza menang? Teori favorit menurut sang penulis adalah bahwa semua orang dari semua ras dan umur memilih kandidat terbaik—nggak peduli ras dan gender. Ini teori yang paling ideal. George Yeo, menteri luar negeri Singapore, sampai terheran-heran dengan hasil 70% yang dinilainya cukup fantastis. Ia menulis di blognya, “angka 70% itu jauh lebih bagus dibanding 56% saya di Aljunied.” Angka terakhir itu mengacu pada hasil pemilihan umum bulan Mei lalu.

Tapi ada teori yang kedua; bagaimana pun Hady Mirza bisa menang karena dorongan faktor ras. Kalau melihat statistik demografi Singapore, ras Chinese menempati posisi pertama dengan 76.8%. Selanjutnya disusul oleh ras Melayu 13.9% dan India 7.9%. Komposisi yang demikianlah—ras Melayu sebagai minoritas—yang bisa jadi menumbuhkan rasa kebersamaan orang-orang Melayu untuk turut ambil bagian berkontribusi lewat SMS mendukung Hady.

Konon katanya pula, di Ahad siang menjelang pengumuman pemenang pada malamnya, muncul desas-desus yang sangat cepat beredar di Hawker Centre bahwa suara Hady tertinggal dari Jonathan. Saat itu katanya begitu banyak SMS mengalir mendukung Hady. Juga kalau kita mengacu pada cerita Chui Mui Hoong dengan keponakannya itu, bisa jadi sifat stereotype orang Chinese yang pragmatis dan lebih memilih menyimpan uangnya untuk sesuatu yang lain telah mengurangi secara signifikan kue suara untuk Jonathan Leong. Ya, ini kalau mengacu ke teori kedua yang berbasiskan ras.

Tapi, rasanya teori seperti itu terlalu sederhana untuk menjelaskan Singapore yang cukup kompleks. Mungkin akan sangat menarik kalau perusahaan telekomunikasi penyedia jasa SMS premium untuk Singapore Idol membeberkan daftar orang-orang yang memberikan dukungan untuk masing-masing kandidat. Di situ kita akan bisa melihat angka-angka persentase yang saya jamin menarik untuk dianalisis. Tapi saya tahu ini mustahil.

Bagaimana pun, ini salah satu sisi yang menarik dari Singapore Idol. Salah satu medium untuk mengetahui watak dan karakter orang Singapore yang juga heterogen seperti orang Indonesia. Kalau memakai bahasanya sang penulis, ini adalah democracy, Singapore (Idol)-style.

Singapore,
Senin malam, 2 Oktober 2006

Labels: