Delicate, Delightful, Delicious
~A Blog

Tuesday, October 03, 2006

Uniquely Singapore Idol

Kalau saya membahas tentang Singapore Idol di tulisan kali ini, bukan berarti saya penggemar Singapore Idol. Anda salah besar kalau mengira bahwa saya rutin menonton remaja-remaja tanggung nyanyi di depan panggung setiap pekannya, menanti-nanti siapa yang bakal tergusur, dan menghabiskan beberapa dollar pulsa telepon untuk SMS.

Bahkan, seingat saya, kontak saya dengan berita-berita Singapore Idol hanya dua kali. Yang pertama ketika masih di fase delapan atau tujuh besar. Saya yang sedang duduk di bus menuju kampus “terpaksa” menonton apa yang sedang ada di TV Mobile yang ada di bus. Ah, ada Singapore Idol. Saya tanya ke teman yang duduk bersama saya ketika itu, “kira-kira siapa nih yang menang?”

“Hmm, agak susah juga sih. Soalnya yang kegusur justru orang-orang yang bisa nyanyi. Yang cuma modal tampang doang malah masih selamat. Tapi, rasanya sih Hady Mirza. Minimal, dia yang paling keliahtan menonjol sampai sekarang.”

Hmm, orang Melayu berarti. Hady Mirza, saya catat namanya di memori saya waktu itu. Soalnya saya jadi penasaran juga siapa yang benar-benar akan dinobatkan sebagai Singapore Idol tahun ini di ajang kedua setelah ajang serupa 2 tahun lalu di 2004. Sekadar informasi, 2004 lalu kontes Singapore Idol dimenangi oleh Taufik Batisah, seorang Melayu. Makanya saya punya perasaan kalau kontes yang sekarang nggak mungkin dimenangi oleh orang Melayu lagi. Ya, hanya perasaan.

Kontak saya yang kedua dengan Singapore Idol ialah beberapa hari menjelang finalnya. Saat itu ada 2 nama: Hady Mirza dan Jonathan Leong. Wah, Hady Mirza benar-benar sampai ke final; saya cukup dibuat terkesan dengan prediksi teman saya itu.

Saya baca beberapa beritanya di Straits Times. Disebutkan, 2 finalis itu punya karakter dan daya pikatnya masing-masing. Hady Mirza bertipe nice boy; model yang kalem dengan pesona mirip Taufik Batisah, katanya. Sedangkan Jonathan Leong mewakili tipe bad boy dengan daya tariknya sendiri. Dengan tampangnya yang mirip personil F4, saran karir untuk Jonathan Leong oleh Straits Times waktu itu hanya satu: jangan pernah potong rambutnya.

Hasilnya, secara mengejutkan Hady Mirza merebut sekitar 70% pilihan pemirsa, yang berarti ia mendapat pilihan dari hampir 700 ribu orang. Tentunya ini dengan kenyataan bahwa satu orang hanya dibatasi satu SMS. Hasil ini mengejutkan buat saya yang salah memprediksi. Dan tampaknya juga mengejutkan bagi banyak orang di Singapore. Sampai ada satu artikel tertanggal 29 September lalu di Straits Times yang berjudul “lessons in democracy, Singapore Idol-style.” Sang penulisnya, Chui Mui Hoong sampai mengaitkan fenomena Singapore Idol 2 dengan demokrasi dan teori-teori Sosiologi.

Mari kita ikuti percakapan wanita berusia 37 tahun ini dengan keponakannya yang ditulis saat ia mengawali tulisannya.

“Kayaknya Hady Mirza yang bakal menang nih. Dia emang nyanyi lebih bagus.”

Lalu, sang keponakan perempuannya menimpali, “tapi semua orang menilai Jonathan lebih cute (tolong bantu saya menerjemahkan ini—manis?—pen).

Hari berikutnya ia mengizinkan gadis 10 tahun itu menggunakan ponsel miliknya untuk voting via SMS. “Rasanya aku akan pilih Hady.”

“Tapi kamu nggak apa-apa nanti lihat Jonathan sedih karena kalah?”

Matanya melebar sedikit. “Ya-ah,” ujarnya dengan sedikit santai.

“Kalau Jonathan menang, nanti Hady yang sedih, dong?” Chui Mui Hoong kembali menanyakan.

Tapi reaksinya datar-datar saja. “Hmm, kamu yakin kamu nggak terlalu peduli siapa yang menang? OK, kalau misalnya tante tawarin, mau SMS 60 sen buat salah satu kontestan, atau mau tante kasih 60 sen-nya buat kamu; kamu mau yang mana?”

“60 sen aja.”

***

Lalu, bagaimana bisa Hady Mirza menang? Teori favorit menurut sang penulis adalah bahwa semua orang dari semua ras dan umur memilih kandidat terbaik—nggak peduli ras dan gender. Ini teori yang paling ideal. George Yeo, menteri luar negeri Singapore, sampai terheran-heran dengan hasil 70% yang dinilainya cukup fantastis. Ia menulis di blognya, “angka 70% itu jauh lebih bagus dibanding 56% saya di Aljunied.” Angka terakhir itu mengacu pada hasil pemilihan umum bulan Mei lalu.

Tapi ada teori yang kedua; bagaimana pun Hady Mirza bisa menang karena dorongan faktor ras. Kalau melihat statistik demografi Singapore, ras Chinese menempati posisi pertama dengan 76.8%. Selanjutnya disusul oleh ras Melayu 13.9% dan India 7.9%. Komposisi yang demikianlah—ras Melayu sebagai minoritas—yang bisa jadi menumbuhkan rasa kebersamaan orang-orang Melayu untuk turut ambil bagian berkontribusi lewat SMS mendukung Hady.

Konon katanya pula, di Ahad siang menjelang pengumuman pemenang pada malamnya, muncul desas-desus yang sangat cepat beredar di Hawker Centre bahwa suara Hady tertinggal dari Jonathan. Saat itu katanya begitu banyak SMS mengalir mendukung Hady. Juga kalau kita mengacu pada cerita Chui Mui Hoong dengan keponakannya itu, bisa jadi sifat stereotype orang Chinese yang pragmatis dan lebih memilih menyimpan uangnya untuk sesuatu yang lain telah mengurangi secara signifikan kue suara untuk Jonathan Leong. Ya, ini kalau mengacu ke teori kedua yang berbasiskan ras.

Tapi, rasanya teori seperti itu terlalu sederhana untuk menjelaskan Singapore yang cukup kompleks. Mungkin akan sangat menarik kalau perusahaan telekomunikasi penyedia jasa SMS premium untuk Singapore Idol membeberkan daftar orang-orang yang memberikan dukungan untuk masing-masing kandidat. Di situ kita akan bisa melihat angka-angka persentase yang saya jamin menarik untuk dianalisis. Tapi saya tahu ini mustahil.

Bagaimana pun, ini salah satu sisi yang menarik dari Singapore Idol. Salah satu medium untuk mengetahui watak dan karakter orang Singapore yang juga heterogen seperti orang Indonesia. Kalau memakai bahasanya sang penulis, ini adalah democracy, Singapore (Idol)-style.

Singapore,
Senin malam, 2 Oktober 2006

Labels:

12 Comments:

Post a Comment

<< Home