Delicate, Delightful, Delicious
~A Blog

Wednesday, August 23, 2006

Jadi, Buanglah Sampah Pada Tong Sampah

Kita semua tahu Jepang. Kalau bicara masalah kebersihan, negara mana pun di dunia ini berhak disebut sombong kalau enggan belajar dari Jepang. Saya bukan bicara sistem penanganan sampahnya, tapi bicara masalah kebiasaan masyarakatnya.

Pernah ada cerita dari salah seorang Indonesia yang bersekolah di Jepang. Pertama kali ia melihat sampah-sampah berserakan ialah di tempat yang paling berbau aroma Indonesia: SRIT (Sekolah Republik Indonesia Tokyo). Sebabnya adalah karena SRIT biasanya selalu menjadi tempat berkumpul orang-orang Indonesia di Jepang ketika lebaran, 17 Agustusan, dan lain-lain. Padahal, perilaku orang Jepang sangat luar biasa sampai ke batas yang sangat sulit dipercaya oleh orang Indonesia kebanyakan. Misalnya saat mereka makan permen karet. Ketika sudah harus dibuang, tapi nggak ada tempat sampah di sekitarnya, maka yang dilakukan adalah membungkusnya dulu dengan bungkus permen karetnya, dan disimpan di saku. Begitu ada tempat sampah, baru dibuangnya.

Ada lagi cerita orang Jepang yang berkunjung ke UI. Dia diberi tempat menginap di guest house PSJ (Pusat Studi Jepang). Begitu kaget dan paniknya ia saat tahu di kamarnya hanya ada satu buah keranjang sampah. Anda bingung dengan reaksinya? Soalnya dia sudah biasa membuang sampah ke tempat sampah sesuai jenisnya; sampah yang bisa dibakar, yang tak bisa dibakar, dan sampah berupa botol plastik dan kaleng. Saat diberi tahu kalau begitulah prosedur di Indonesia, maka ia baru tenang.

Baiklah, sekarang mari kita menjelajah ke Singapore, kira-kira 7 jam perjalanan dengan pesawat kalau dari Jepang. Sekali lagi saya menegaskan bahwa saya nggak membahas tentang sistem penanganan dan pengolahan sampah, melainkan hanya kebiasaan masyarakatnya. Lalu, kalau Anda berharap akan menemukan kisah yang sama di Singapore, maka Anda salah besar.

Memang, Singapore terkenal sangat bersih. Tapi saya menyebutnya, Singapore bersih karena dibersihkan. Kita bisa bilang bahwa Singapore ialah kota yang bersih, tapi kita nggak bisa bilang bahwa orang Singapore juga bersih. Itu dua hal yang sangat berlainan. Faktanya, NEA (National Environment Agency) menghabiskan dana S$ 110 juta setiap tahunnya untuk membersihkan sampah di seluruh penjuru Singapore.

Harian The Straits Times Ahad lalu, 20 Agustus 2006 membuktikan hal itu. Di situ ada headline yang ditulis besar-besar: “Warning: We’re Becoming a Garbage City.” Artikel itu sangat jelas maksudnya. Ada indikasi bahwa orang Singapore semakin jorok. Permasalahan sampah disebutkan memburuk di hawker centre, bus interchange, dan di pusat-pusat perbelanjaan.

Dan secara khusus The Straits Times mengamati sampah-sampah di apartemen-apartemen HDB. Selalu para pembersih yang datang pagi-pagi disambut oleh tumpukan sampah. Dikisahkan di situ bahwa wartawan The Straits Times mengadakan observasi di daerah Eunos Crescent pada jam 5.30 pagi, saat para pembersih apartemen belum datang. Daerah-daerah di setiap blok, terutama di lahan kosong di lantai satu (void deck), dan di lobi lift dipenuhi oleh sampah-sampah seperti kertas surat, kotak rokok yang kosong, dan kertas koran. Daerah yang paling kotor adalah di belakang blok, yang menghadap jendela. Sampah-sampah yang ada lebih meriah lagi: kertas tissue, kulit jeruk, kulit telur, kantong plastik, kotak minuman, dan lain-lain. Rupanya itu dibuang langsung dari jendela oleh penghuni kamar-kamar di lantai atas.

Begitu juga yang saya saksikan di asrama-asrama di NTU. Sama saja—toilet, lorong-lorong, dapur, semuanya tampak bersih karena dibersihkan rutin setiap paginya. Setiap pagi sekitar jam 7, para pembersih sudah datang. Tapi masa kerja mereka hanya sampai hari Sabtu siang. Jadi, mereka libur satu setengah hari tiap pekannya. Nah, di sinilah yang perlu diamati. Ada waktu sebanyak satu setengah hari sisa—setengah hari Sabtu dan satu hari Ahad—yang nggak dibersihkan kecuali menunggu Senin pagi. Dan seperti yang bisa Anda tebak; keadaan dapur, toilet, tempat sampah di ujung-ujung lorong sangat kotor dan berantakan saat hari Senin. Kalau Anda pergi dari Jakarta ke asrama saya pada pukul 5 pagi hari Senin dengan pintu ke mana saja milik Doraemon, saya yakin Anda akan berpikir bahwa pintu ke mana saja-nya sedang butuh reparasi.

Sekarang, mari kita pindah ke negara tetangganya—apa lagi kalau bukan Indonesia. Sebenarnya saya pun agak enggan untuk membicarakan negara yang satu ini, apalagi mengenai sampah. Karena kita sebaiknya memiliki stok prasangka baik yang banyak ke Indonesia, dengan membicarakan hal yang positif dan negatif secara seimbang.

Di Indonesia—kita tahu sama tahu—baik sistem maupun kesadaran masyarakat dalam hal sampah sangat buruk. Kasus sampah yang menggunung di Bandung beberapa bulan yang lalu itu menjadi bukti. Selebihnya, Anda lebih tahu.

Saya sampai merasa bahwa pelajaran PPKn yang mengajarkan kalimat sakti “buanglah sampah pada tempatnya” hanya sia-sia. Padahal, seingat saya, soal PPKn berbentuk pilihan ganda yang menanyakan hal seperti itu sudah ditanyakan sejak SD, dan masih ada sampai sekitar SMP. Mustahil kalau kalimat sakti itu nggak mengendap di benak setiap anak Indonesia yang mengenyam pendidikan sekolah.

Maka, kesimpulan saya hanya satu: bahwa orang Indonesia sudah nggak paham dengan kalimat itu. Mereka nggak paham dengan makna “tempat” pembuangan sampah. Bisa jadi, bagi orang Indonesia, yang disebut “buanglah sampah pada tempatnya” itu sama saja maknanya dengan buanglah sampah pada pojok kelas, di bawah bangku, di kolong meja, di selokan, di halaman rumah, atau di sungai. Jadi, marilah sekarang kita kampanyekan penggantian "buanglah sampah pada tempatnya" itu dengan yang nggak menciptakan kerancuan, “buanglah sampah pada tong sampah.” Nah, yang ini sangat jelas.

Sebenarnya, apa rahasia Jepang hingga bisa seperti itu? Ada fakta yang cukup menarik. Tahukah Anda bahwa Jepang pada tahun 1960-an sampai 1970-an juga sebenarnya sama saja kondisinya dengan Indonesia sekarang? Di kota-kota besarnya, seperti Tokyo dan Osaka, sampah-sampah yang berserakan sudah sangat umum. Tapi rupanya pemerintahlah yang mengubahnya. Pemerintah Jepang berhasil menciptakan pembiasaan di masyarakat Jepang, dan mengubah orientasi pengelolaan sampah dari masyarakat yang menghasilkan sampah secara massal menjadi masyarakat yang dapat melakukan siklus material secara menyeluruh. Sehingga di tahun 1990-an, budaya bersih dan disiplin sudah berhasil diklaim oleh orang Jepang. Ini fakta yang jarang diketahui.

Boleh dibilang, Jepang praktis hanya membutuhkan 30 tahun untuk berubah. Dari penciptaan sistem yang baik, pemaksaan kebiasaan ke masyarakat, dan kemudian berubah.

Mari kita hitung-hitungan sedikit untuk kasus di Indonesia. Baiklah, saya pikir ada perbedaan yang mendasar antara karakter manusianya. Jadi, saya lipat gandakan jadi 60 tahun—waktu yang dibutuhkan oleh Indonesia untuk berubah. Berarti tahun 2066 kita sudah nggak melihat lagi sampah di sepanjang Jalan Raya Lenteng Agung? Eh tunggu dulu, menghitungnya mulai tahun berapa nih?

Singapore,
Sore hari, 23 Agustus 2006

Labels:

7 Comments:

Post a Comment

<< Home