Delicate, Delightful, Delicious
~A Blog

Wednesday, August 16, 2006

Siap Untuk Menulis?

Seringkali saat saya memerhatikan beberapa dosen saya di School of Electrical and Electronic Engineering, NTU, saya jadi suka bertanya-tanya sendiri. Soalnya, banyak hal-hal yang menarik untuk diamati.

Contohnya, saya membandingkan dosen berinisial SR dengan TKC. Yang pertama adalah orang India yang berperawakan agak gempal, mengajar beberapa kelas tutorial. Sedangkan yang kedua orang lokal. Dari wajahnya, kita bisa tahu kalau TKC masih agak muda untuk memiliki gelar Associate Professor di depan namanya. Mungkin masih pertengahan 30-an usianya. Tapi TKC sudah menjadi salah satu pengajar utama di mata kuliah Signal and System. Bandingkan dengan SR yang kira-kira sudah di pertengahan 40-an. Sampai sekarang SR masih bertitel Assistant Professor.

Pertanyaannya, apa yang membedakan keduanya sehingga yang satu karirnya bisa lebih mulus dibandingkan yang lainnya?

Ada lagi sebuah pemikiran saya yang cukup mengganggu. Selalu sehabis exam, banyak anak NTU—bahkan mayoritasnya—lupa total, atau sengaja menghapus memori tentang rumus-rumus, teknik pengerjaan soal di mata kuliah itu. Sehingga, saat memulai lagi kuliah di semester berikutnya untuk mata kuliah yang masih berhubungan, nggak sedikit waktu yang dikonsumsi sekadar untuk mengulang bahasan semester kemarin. Saya sendiri termasuk yang mengalaminya, tentu saja. Lalu, mengapa bisa seperti itu?

Kagetkah Anda, kalau saya katakan bahwa jawaban kedua pertanyaan tersebut ada kaitannya dengan kebiasaan menulis? Memang, ini hanya pemikiran saya, tapi saya yakin bahwa kebiasaan menulis mempunyai efek yang luar biasa—membuat seseorang cepat dipromosikan menjadi Profesor, dan membuat orang susah lupa akan suatu hal yang dipelajarinya.

Ada setidaknya dua sikap positif yang timbul dari kebiasaan menulis. Yang pertama, sikap “pemaksaan diri” untuk membaca. Mengapa banyak orang yang bilang kalau menulis itu merupakan dimensi pembelajaran yang satu tingkat lebih tinggi dari membaca? Saya pikir, alasannya sederhana: karena dengan menulis, kita juga membaca. Karena kita menulis, kita butuh referensi. Jadinya, kita membaca juga. Dari hanya meniatkan satu aktivitas, kita mendapatkan 2 aktivitas.

Yang lebih istimewa lagi, dengan menulis, sama saja dengan memuseumkan ilmu kita. Seperti memasukkan ilmu-ilmu ke tempat-tempat yang sesuai, membuatnya rapi, dan mempersilakan orang lain untuk melihat koleksi ilmu kita. Tentunya hal ini jauh lebih baik dari sekadar membaca.

Sikap yang kedua adalah seperti yang ditunjukkan Romi Satria Wahono. Pendiri ilmukomputer.com yang menghabiskan S1 sampai S3-nya di Jepang ini dulu ketika kuliah mengaku punya penyakit “rakus ilmu”. Gejalanya adalah suka mengambil mata kuliah jurusan lain. Bahkan, di tahun keempat, beliau sampai ditegur Profesornya agar nggak overdosis SKS. Akhir cerita, secara menakjubkan beliau lulus dengan jumlah SKS 170 dari hanya 118 yang disyaratkan. Dalam blognya, Romi Satria Wahono menyatakan, “Saya suka membaca dan belajar bidang apa pun yang belum saya kuasai... Dan secara tidak sadar, orientasi dalam belajar adalah untuk mengajarkannya kepada orang lain. Begitu membaca sebuah buku, saya selalu berorientasi bagaimana saya membuat penjelasan yang lebih mudah untuk saya sampaikan ke orang lain.”

Inilah sikap kedua yang saya maksudkan: berorientasi menyampaikan. Bahwa setiap kata di buku yang dibaca, setiap ucapan dosen di ruang kuliah, semuanya dipersepsi oleh Romi Satria Wahono demikian. Dalam pikirannya, “gimana ya, biar ucapan dosen ini enak disampaikan ke orang lain?” Luar biasa. Ini sekaligus sebagai jawaban dari pertanyaan kedua yang saya ajukan di awal tulisan ini. Seandainya saja kita belajar dengan persepsi seperti itu, tentunya akan lebih lengket.

Dan, saya percaya bahwa menciptakan kebiasaan menulis adalah salah satu cara menuju cara berpikir seperti itu—belajar untuk disampaikan ke orang lain. Dengan menulis, kita terbiasa menyampaikan. Nggak hanya membaca—yang terkadang nggak ada kelanjutannya kecuali hanya menimbun ilmu. Dan kalau kita bisa menyebut orang yang menimbun beras atau sembako sebagai orang yang egois, maka orang yang hanya menimbun ilmunya pun bisa jadi berhak mendapat sebutan yang sama: egois.

Ya, 2 sikap inilah yang bisa jadi membedakan kecepatan promosi Profesor yang satu dengan yang lainnya. Karena menurut Wikipedia, ada 4 hal yang bisa mempercepat promosi seorang Profesor: mengajar, penelitian, pelayanan masyarakat, dan pelatihan mahasiswa-mahasiswa pasca sarjana. Secara spesifik, bahasan layak tidaknya seseorang dipromosikan sebagai Profesor tergantung pada banyaknya publikasi ilmiah dan patennya. Makanya di NTU ada orang seperti Goh Wang Ling yang masih tampak muda, tapi sudah Associate Professor. Hal ini nggak mengherankan kalau kita lihat CV-nya. Satu buku, 14 paten, dan lebih dari 60 paper adalah buah karyanya.

Bagaimana kebiasaan menulis di Indonesia? Dalam pengamatan saya yang paling sederhana, rasanya kebiasaan menulis kita masih sangat kurang. Lihat saja milis-milis yang kita ikuti. Apakah posting-posting dari membernya lebih banyak tulisan sendiri atau hasil forward dari milis tetangga? Tentu kita lebih tahu.

Ada tulisan yang menarik dari Brian Yuliarto, Doktor lulusan Jepang, yang membahas tentang fenomena publikasi paper di seluruh dunia. Pada negara-negara maju, paper ilmiah yang dipublikasikan di jurnal-jurnal internasional merupakan salah satu parameter penting untuk mengukur kualitas penelitianselain tentunya parameter dunia tulis-menulis di tingkat yang lebih tinggi. Dan bagaimana peta persebaran paper-paper di dunia? Majalah Nature 21 Juli 2005 memuat bahwa 25% paper yang terbit di seluruh dunia pada 2004 berasal dari Asia, sedangkan Eropa 38%, dan Amerika 33%. Angka 25% yang ditunjukkan Asia menjadi sangat fenomenal karena kenaikannya yang luar biasa. Faktanya, pada tahun 1990, Asia hanya menerbitkan 16% publikasi paper.

Indonesia? Bisa ditebak. Indonesia pada 2004 hanya menerbitkan 522 paper ilmiah. Dengan angka ini, Indonesia duduk manis di peringkat 4 negara se-Asia Tenggara. Singapore ada di nomor satu dengan 5781 paper, Thailand 2397 paper, dan Malaysia 1438 paper. Sekadar gambaran, Jepang pada 2004 mempublikasikan 83484 paper.

Jadi, siapkah kita untuk menjadi Profesor lebih cepat? (baca: siapkah kita untuk menulis?—pen)

Singapore,
Selasa malam, 15 Agustus 2006
yang juga sedang belajar menulis secara rutin

Labels:

12 Comments:

  • assalamu'alaikum..

    tulisan yang menarik sekali, radon..sedang belajar menulis juga rupanya..

    hehe..
    mudah2an ilmu nya berguna..amin..

    By Anonymous Anonymous, at 2:31 AM, August 16, 2006  

  • waduh, kok gw jadi ikutan tersindir yah??

    Hehe... makasih Don atas wejangannya. Btw, nulis blog ttg hal2 useless dan ga penting termasuk kategori nulis ga?

    *masa harus ilmu aja sih??

    By Anonymous Anonymous, at 9:23 AM, August 16, 2006  

  • This comment has been removed by a blog administrator.

    By Blogger Radon Dhelika, at 10:20 AM, August 16, 2006  

  • Buat Fanny:
    Wa'alaikumussalam.
    Sebenernya sih belajar merutinkan corat-coret ini. Soalnya, technically, nggak ada lah yang namanya belajar nulis--apalagi teori-teori tentang kepenulisan.
    Anyway, makasih.

    Buat Tegar:
    Tersindir yang mana, Gar? yang tentang m***s? :)
    Tapi, jujur, bisa nulis apa pun itu udah keren kok. Angkat topi deh. Soalnya buat nulis kayak NSFW gitu kan juga butuh modal, dan itu nggak sembarangan.
    Tahu Raditya Dika, yang punya buku "Kambing Jantan"? Buku transfer-langsung-dari-blog itu sekarang udah di mana-mana. Padahal isinya kebanyakan ya hal-hal sepele (walaupun lucu sih, emang). Yang jelas, dia udah punya buku. Kita? Haha. Ya Insya Allah kapan-kapan lah.

    By Blogger Radon Dhelika, at 10:25 AM, August 16, 2006  

  • Don... entah kenapa aku terpikir kamu itu cocok jadi polisi (polisi yang nanganin kasus2 kayak di film2 gitu lho) instead of jadi wartawan/penulis...

    tapi kenapa semua orang ngomongin "nulis" sih, padahal ini kan "ngetik" :P

    By Blogger BiPu, at 2:11 AM, August 18, 2006  

  • huehehe, terserah aja deh. apapun itu, btw, m***s itu males bukan? gw mikir skitar 10 menit. Pertama, gw mikir, apa monas gtu? trus, masak mules? ato minus? hoo.. ternyata males, betul gak?

    By Anonymous Anonymous, at 10:09 AM, August 18, 2006  

  • Apranum: tapi kenapa semua orang ngomongin "nulis" sih, padahal ini kan "ngetik" :P

    no comment. Kayaknya gak penting buat dijawab deh :)

    By Blogger Radon Dhelika, at 5:18 PM, August 19, 2006  

  • Duh tau sih Don, namanya juga ngegaring

    By Blogger BiPu, at 10:36 PM, August 19, 2006  

  • Buat Yanti:
    makasih

    By Blogger Radon Dhelika, at 11:08 PM, September 09, 2006  

  • kalau buku [membaca] itu jendela dunia, tulisan itu mungkin pintu dunia ya, bung?

    By Anonymous Anonymous, at 11:20 PM, September 18, 2006  

  • Buat Ndoro kakung:
    Ungkapan yang menarik... Kalo ada pintu, berarti harus ada kuncinya dong. Kira-kira, kuncinya apa ya?

    By Blogger Radon Dhelika, at 10:23 PM, September 19, 2006  

  • assalammualaikum.
    motivasi yang bagus.. makasi ka radon =)

    _Lintg_

    By Anonymous Anonymous, at 5:29 PM, July 09, 2007  

Post a Comment

<< Home