Delicate, Delightful, Delicious
~A Blog

Wednesday, August 02, 2006

Menganalisis Persaingan Pusat Perbelanjaan di Depok

(Khusus untuk orang Depok—pen)

Bagi orang-orang Depok yang tinggalnya sekarang sedang nggak di Depok, pasti kaget kalau balik ke Depok setelah beberapa waktu nggak balik—ya, misalnya setelah 6 bulan.


Ada banyak perubahan, terutama di sepanjang jalan Margonda. Bukan, bukan masalah macetnya yang ingin saya bahas di sini. Lagipula macetnya dari dulu sampai sekarang masih tetap saja, nggak ada perubahan. Perubahan yang paling terlihat mencolok adalah adanya bangunan pusat perbelanjaan baru—nggak hanya satu, tapi tiga—di sepanjang Margonda. Mulai dari MargoCity, Depok Town Square, sampai ITC Depok. Ini belum termasuk Depok Town Center yang ada di Raya Sawangan.

Ini sangat menarik. Terutama mengingat bahwa sebelumnya beberapa pusat perbelanjaan pun sudah eksis cukup lama, seperti Plaza Depok, Mal Depok, Hero, Borobudur—walaupun 2 yang terakhir ini sudah bangkrut. Dan, kalau memasukkan gedung pusat perbelanjaan yang agak kecil ke dalam daftar juga, maka yang paling muda adalah gedung Gramedia yang baru dibuka tahun 2004 lalu dan Tip Top di Jalan Tole Iskandar.

Apa yang Anda rasakan atau saksikan dari pusat-pusat perbelanjaan yang begitu banyak itu? Tentunya persaingan. Bahkan aromanya pun sudah tercium begitu kita memasuki area Depok dari arah Lenteng Agung. “Selamat datang di Kota Depok”, ada tulisan seperti itu. Tapi juga ada papan-papan lain seperti tulisan “ITC 5 menit” dengan gambar panah. Tunggu dulu. Lima menit? Sepertinya bagian marketing ITC lupa memperkirakan macet di Gramedia, di MargoCity, di lampu merah pertigaan Jalan Juanda, di Mal, dan di depan terminal.

Tapi persaingan yang kita saksikan bersama nampaknya kurang sehat. Karena persaingan ini bisa disebut persaingan yang mengorbankan. Lihat saja, belum apa-apa Borobudur sudah gulung tikar. Lalu disusul Hero yang melego bangunannya untuk Mitra. Tentunya konsumen sudah kehilangan alasan untuk pergi ke Borobudur untuk belanja pakaian saat sudah ada Centro. Begitupula dengan Kharisma yang kalah dengan keperkasaan Gramedia. Bagaimana dengan Hero? Apa yang ingin Anda beli di Hero kalau ada persaingan rendah-rendahan harga antara Carrefour dan Giant?

Teman saya, mahasiswa Antropologi UI, secara khusus melakukan pengamatan terhadap fenomena ini. Dia berkomentar, “Depok ini beda sama Jakarta. Konsumen yang diperebutkan di Depok ini nggak bertambah. Itu-itu aja.”

Tentunya nggak akan ada orang Jakarta yang sengaja main ke Depok untuk belanja di Detos, misalnya. Beda dengan Citos yang banyak dikunjungi warga Depok, masih menurut teman saya itu. Makanya nggak heran kalau sebenarnya Detos, MargoCity, dan kawan-kawan hanya mengincar pasar yang sama, begitu substansinya. Jadi, pembukaan ITC, Detos, dan MargoCity sebenarnya hanya memindahkan target pasar Mal dan Plaza ke mereka. Sekarang, tinggal mana yang bertahan lebih lama saja masalahnya. Tergantung dari mana yang bisa menawarkan yang lebih, yang beda, dan mungkin yang murah. Bukan nggak mungkin kalau suatu hari nanti Plaza pun akan bangkrut.

Kalau dirunut dari sekitar tahun 1995-an, maka teori tadi bisa jadi ada benarnya. Saat itu sudah ada 4 pusat perbelanjaan yang dulu cukup mapan: Ramanda, Hero, Target, dan SE (Super Ekonomi). Tapi kemudian kehadiran Mal dan Plaza di saat yang hampir bersamaan di tahun 1996 merebut konsumen Ramanda dan Target yang kemudian terpaksa gulung tikar. SE Menyusul tak lama kemudian.

Sehingga, rasanya, ada satu titik keseimbangan di mana saat jumlah pusat perbelanjaan di Depok lebih dari itu, maka dengan sendirinya konsumen akan terbagi, dan mengakibatkan beberapa bangkrut, dan Depok kembali ke titik keseimbangan jumlah pertokoan.

Lalu, yang juga menarik untuk diamati adalah inovasi-inovasi yang dilakukan pusat-pusat perbelanjaan tadi untuk bisa bertahan dalam persaingan, terutama melawan kelompok-kelompok bermodal besar yang ada belakangan seperti MargoCity dan ITC.

DTC di Sawangan mungkin adalah yang paling aman. Mengingat lokasinya yang di Sawangan, mereka masih bisa merebut pasar tanpa harus bersaing dengan yang lain. Tinggal bagaimana memaksimalkan daya tariknya untuk menggarap konsumen-konsumen yang masih belum tersentuh—mungkin di daerah Sawangan, Meruyung, Mampang, dan sekitarnya. Usaha mereka sudah tampak. Saya pernah baca spanduk mereka di Sawangan yang intinya mengajak warga Sawangan untuk merayakan pesta mereka (ulang tahun atau pernikahan) di DTC. Akan diberi bonus kue cantik, katanya.

Tapi, tentunya gebrakan Mal Depok adalah yang paling luar biasa. Secara kasat mata pun bisa dilihat kalau Mal Depok sedang berbenah. Tembok-temboknya dicat ulang, tempat parkir dipercantik dengan ditambah eskalator langsung ke pertokoan lantai satu, dan ditambah musholla yang luas dan nyaman. Belum lagi adanya tambahan beberapa gerai yang baru dibuka. Yang paling mencolok adalah tempat luas di lantai 3, Depok Handphone Center, yang diklaim sebagai sentra handphone terbesar di Depok.

Inovasi yang hebat. Dengan memanfaatkan resources yang terbatas, Mal Depok setidaknya berhasil menciptakan 2 alasan bagi konsumen untuk datang ke Mal Depok. Itu yang berhasil saya tangkap. Pertama, bagi yang ingin membeli HP baru. Bayangkan saja pemandangan seorang anak yang diajak orang tuanya untuk membeli HP baru. Lalu, anaknya nyeletuk, “di Mal aja, Pa. Ada sentra HP-nya lo. Sekalian bandingin harga.” Kedua, bagi yang sekadar ingin belanja atau jalan-jalan, tapi waktu kunjungannya akan memotong Maghrib. Lalu, mungkin bila ada sekelompok anak muda yang ingin jalan-jalan, bisa jadi salah seorangnya mengusulkan, “ke Mal aja, yuk. Mushollanya gede dan nyaman lo.”

Citra Mal Depok di mata beberapa orang yang saya kenal pun sudah berubah. Padahal sebelumnya Mal selalu inferior dibandingkan Plaza, terutama karena masalah lokasi. Tapi Plaza yang kurang inovasi sepertinya semakin ditinggal konsumen setianya. Sekarang Mal cukup komplit, dan cukup nyaman. Tetangga saya—anak SMP—pernah bilang kalau setiap dia mencari sesuatu, pasti ketemunya di Mal. Entah itu sepatu, atau lainnya. Makanya pilihan pertama dia kalau ingin jalan-jalan sama temannya pasti ke Mal.

Kita lihat saja perkembangan selanjutnya.


Singapore,
Rabu pagi, 2 Agustus 2006

Labels:

5 Comments:

  • Waduh, rasa narsisme sebagai orang Depok sangat kental terasa nih

    Oiya, dah tau blom, ada fakta aneh dan nyebelin nih:

    Kota Depok dan Kota Cilegon itu lahirnya sama (gw lupa tanggalnya). Klo ga percaya, cari aja Undang2 atau PP yang memutuskan kelahiran kota Depok, pasti ditemukan kata Cilegon di sebelahnya.

    Knapa gw bilang nyebelin: itu karena Depok punya UI, sedangkan Cilegon hanya punya KS. Kan curang tuh! Walaupun gtu, itu tidak mengurangi semangat gw untuk mencintai Cilegon lebih dari Depok..

    *commentnya kepanjangan yah? bodo amat

    By Anonymous Anonymous, at 3:34 PM, August 02, 2006  

  • Eh eh eh eh ikut nimbrung yee, maklum warge depok juge (nyoba niru gaya zuhdi :P)

    Itu tuuh, nonton pelm, juge katenye, termasuk murah di depok, berapee gitu, kate si ade sih, kemaren sih gue belom sempet pergi kesane.

    By Blogger BiPu, at 7:17 PM, August 02, 2006  

  • Quote Tegar:

    Kota Depok dan Kota Cilegon itu lahirnya sama (gw lupa tanggalnya).

    iye, nyebelin banget ya. Masa' Depok disamain sama Cilegon... Jauh panggang dari api (becanda, tapi 68% serius).
    Narsis vs narsis

    By Blogger Radon Dhelika, at 7:22 AM, August 03, 2006  

  • Quote Apranum:

    ... maklum warge depok juge ...

    Eh, warga Depok pinggiran jangan ngaku warga Depok, deh :)

    nonton pelm, juge katenye, termasuk murah di depok

    Wah, gak tau deh. Terakhir nonton pelm udah lama banget.

    By Blogger Radon Dhelika, at 7:26 AM, August 03, 2006  

  • dasar!! kerenan Cilegon donk, kan ada gw... =p (emang gw mau, kalah narsis sama lo!)

    By Anonymous Anonymous, at 11:57 AM, August 03, 2006  

Post a Comment

<< Home