Delicate, Delightful, Delicious
~A Blog

Thursday, September 07, 2006

Guruku Sekarat

Di Straits Times Selasa lalu, ada berita di halaman depan yang langsung menarik perhatian saya. Tertulis “$250m package to make teaching more attractive.” Ya, S$250 juta untuk peningkatan mutu pendidikan selama 3 tahun ini di Singapore, katanya.

Ini tentunya salah satu upaya pemerintah Singapore untuk meningkatkan kualitas pendidikannya. Mereka ingin menarik sebanyak mungkin minat lulusan-lulusan universitas yang berkualitas, dan juga menahan guru-guru muda yang bagus agar tetap mengajar di sekolah. Karena bagi kelompok yang kedua, banyak yang kemudian meninggalkan profesi mengajarnya dan mengejar karir sebagai profesional.

Uang sebanyak S$250 juta itu salah satunya untuk peningkatan pembayaran insentif atau bonus. Dituliskan, jumlah bonus sampai dengan S$160 ribu akan pindah tangan bagi guru-guru yang bisa bertahan sampai dengan masa pensiun. Selain itu, pembayaran gaji penuh untuk mereka yang cuti untuk pengembangan kualitas diri, misalnya untuk melanjutkan program masternya. Penggantian pengeluaran pribadi untuk urusan pendidikan bisa diklaim sampai dengan S$400-S$700 setiap tahunnya. Masih banyak lagi daftar fasilitas-fasilitas yang dijanjikan MOE (Ministry of Education), yang kalau saya lanjutkan akan membuat guru-guru Indonesia nggak tega untuk melanjutkan membaca tulisan ini.

Padahal kalau di Depok, gaji pokok guru swasta yang mengajar 20 jam sepekan hanya 660 ribu. Itu pun nggak ada tunjangan. Guru-guru Jakarta dalam hal ini lebih beruntung dengan tunjangan 2 jutanya. Memang masalah besaran gaji sangat tergantung pada daerahnya. Depok saja yang dekat dengan Jakarta masih separah itu, lalu bagaimana dengan di Manokwari?

Bisa jadi inilah alasan dari 2 kejadian yang saya alami selama sekolah di Indonesia. Yang pertama ketika dulu di kelas 1 SMA. Di salah satu pelajaran di kelas, seorang guru bertanya ke semua anak di kelas saya, “siapa yang punya cita-cita jadi guru?” Secara mengejutkan—walau sebenarnya bisa ditebak—hanya 2 orang termasuk saya yang mengangkat tangan saat itu. Teman-teman saya yang lainnya menatap kami berdua seperti melihat spesies langka temuan baru. Barangkali kalau guru saya waktu itu melanjutkan dengan menananyakan alasannya, akan terdengar koor serempak dari anak-anak satu kelas, “gajinya Pak!!!”

Lalu, kejadian kedua menyangkut masalah kualitas guru. Yang ini masih sangat lekat di memori saya. Lagi-lagi di SMA. Saat itu, karena ada ulangan, guru saya meminta ketua kelas atau bendahara untuk mengumpulkan Rp 500,00 per anak untuk biaya tes. Dalam bayangan saya—dan juga teman-teman semua—sehabis tes, lembar fotokopian soal akan dibagikan. Kami tunggu, kami tunggu, dan kami tunggu. Sampai terakhir, malah dikumpulkan kembali. Dan, fotokopian itu dipakai untuk ulangan di kelas-kelas lainnya! Bisa Anda bayangkan—respek kami hilang terhadap guru itu. Bukan cuma satu kelas, tapi satu angkatan!

Di sini yang agak susah. Beberapa teman saya mungkin akan memaklumi tindakan guru itu, mengingat beliau laki-laki; punya keluarga, punya tanggungan. Mana cukup dengan gaji pegawai negeri biasa? Nah, di sini yang menurut saya menjadi penting. Kualitas seorang guru bagaimana pun akan dipengaruhi gajinya. Bagi Anda sendiri, mungkin banyak kisah-kisah serupa, saat guru-guru Anda berani mengorbankan harga dirinya untuk uang yang nggak seberapa. Mereka membeli kepercayaan dan respek murid-muridnya dengan uang 200 atau 300 ribu! Dan, saya nggak percaya bahwa murid akan menerima begitu saja pelajaran dari guru-guru yang sudah sama sekali tidak dihormati.

Ada tulisan menarik di Kompas yang menyebut mengenai lingkaran setan kualitas guru. Mengapa kualitas guru rendah? Karena gajinya rendah. Karena gajinya rendah, profesi guru menjadi nggak menarik bagi lulusan-lulusan terbaik anak bangsa. Lulus SMA, lebih banyak yang memilih untuk melanjutkan studi di teknik, kedokteran, ekonomi, dan sebagainya. Jarang yang meneruskan ke IKIP. IKIP-IKIP pun banting setir menjadi universitas untuk meningkatkan gengsinya. Bahkan UPI (Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung) sering dipelesetkan menjadi “universitas, padahal IKIP”. Akhirnya generasi-generasi Indonesia pun hanya dibesarkan oleh lulusan-lulusan yang bukan kelas satu.

Tapi, walau bagaimana pun saya tetap hormat sama guru-guru saya sendiri. Mereka sebenarnya orang-orang yang luar biasa. Terkadang, kita bisa melihat pancaran keikhlasan dari setiap ucapannya, atau dari binar matanya.

Saya ingat, guru saya di SD lah yang waktu itu mengecek hapalan propinsi-propinsi di Indonesia beserta ibukotanya. Jadi, saat itu tiap anak disuruh maju satu-satu dan menyebutkannya dari ujung barat sampai timur. Guru SD saya juga lah yang dulu setiap sebelum pulang menyuruh anak-anak untuk menyebut keras-keras asmaul husna. Hapalan itu ditambah satu demi satu setiap harinya.

Kalau bukan karena penjelasan guru SMP, kita sekarang nggak akan mengerti tentang rantai makanan, rumus Q=mc∆t, atau tentang konsep Pelita (Pembangunan Lima Tahun). Rentetan pelajaran dari guru-guru SD, SMP, SMA lah yang membuat kita hapal tentang tahunnya perang Diponegoro, 1825-1830. Mereka lah yang membentuk konsep pemahaman kita tentang banyak hal-hal yang mendasar.

Iya, memang orang Indonesia masih lebih senang memuji mereka daripada memberikan sesuatu buat mereka. Seperti pada alunan lagu ini

Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa

Dalam menyanyikannya, kita menyebut kata “pahlawan bangsaaaa ..” dengan panjang sampai dengan napas terakhir, dan melanjutkan “tanpa tanda jasa” dengan bisik-bisik, dengan sisa napas kita. Memang begitulah. Tanda jasa tak ada, gaji pun secukupnya.

Padahal, yang menginspirasi penerapan beberapa fasilitas tambahan bagi guru-guru Singapore adalah ucapan Lee Hsien Loong, “everything about our vision for education—every niche, every area of excellence, every approach to cater to a different learning style—is really about teachers.”

Singapore,
Kamis malam, 7 September 2006

Rekomendasi bacaan:
Meningkatkan Mutu Guru, Dari Mana Dimulai? Kompas
Menunggu Kematian Guru De Britto
Agustus, Gaji Guru Sekitar 4 Juta ITS

Labels: ,

10 Comments:

  • 矢っ張り...

    Btw linknya sma 1 depok salah tuh ;)

    By Blogger BiPu, at 6:39 AM, September 08, 2006  

  • Nice try for the binary codes...

    Bener-bener deh...

    By Anonymous Anonymous, at 12:39 AM, September 09, 2006  

  • Perasaan yang binary itu udah sering ngeliat deh...

    By Blogger BiPu, at 1:05 AM, September 09, 2006  

  • Apa seharusnya profesi guru tidak lagi disebut "pahlawan tanpa tanda jasa"? Karena guru pun kini membutuhkan kompensasi yang layak.

    By Anonymous Anonymous, at 2:11 AM, September 11, 2006  

  • To Tegar n Apranum:
    OOT tuh

    To Hedi:
    Mungkin betul. Karena terlalu sering disebut gitu, makanya dalam pikiran kita, image guru jadi sangat lekat dengan "kebersahajaannya" itu. Biarin lah gak dikasih hadiah, kan guru. Biarin lah rumahnya masih ngontrak, kan guru, dst.

    By Blogger Radon Dhelika, at 10:04 PM, September 19, 2006  

  • お帰り!
    Btw Don...
    築く!=気づく

    By Blogger BiPu, at 3:21 AM, September 20, 2006  

  • assalamualaikum.
    udah lama ga ada postingan baru di blog nya Radon :)

    By Anonymous Anonymous, at 11:31 AM, September 20, 2006  

  • To Fanny:
    Itu namanya fenomena 'sedikit demi sedikit, lama2 ketagihan'; sedikit demi sedikit gak nulis, lama2 keterusan.. :)
    Wa'alaikumussalam

    By Blogger Radon Dhelika, at 8:21 PM, September 21, 2006  

  • tulisan yg bagus lho...
    thanks dah dibelain, soalnya masih banyak guru yg "males" ngajar gara2 cuman dibayar di bawah 200 ribu per bulan.
    keluarga mo makan pake apa !!!

    By Anonymous Anonymous, at 5:53 PM, November 06, 2006  

  • hi salam kenal..saya novi Tulisanmu ini bener-bener bikin saya netesin air mata lhoo..saat saya kuliah semester akhir saya kerja sebagai guru honor di salah satu sd swasta islam di jkt, sd itu ada di tengah pusat kota jakarta,siapa sih yang ga tau kuningan n setiabudi jkt..di daerah karet kuninganlah sd itu berada. sd itu masih berlantai kayu dan berbatas triplek diantara gedung-gedung yang kokoh dan tinggi, serta untuk menulis di papan tulisnyapun masih menggunakan kapur. Saat itu mungkin saya belum merasakan betapa sedikitnya gaji yg didapat karena saya masih mendapat tunjangan dari orang tua yang bahkan perbulannya jauh lebih besar dibanding gaji saya. Tetapi di sd ini saya banyak belajar mengenai keikhlasan dari guru dan terutama kepala sekolah yang merupakan anak dari pemilik, ia rela meninggalkan keinginan berkarirnya untuk menggantikan ayahnya yg sudah tua untuk menjadi kepala sekolah di sd tersebut. Tidak seperti sd swasta biasanya yang berorientasi pada keuntungan, sd ini berdiri ketika sd negeri belum digratiskan, sd ini didirikan dengan maksud agar anak-anak kurang mampu dapat bersekolah. Rata-rata yang bersekolah disini adalah anak-anak dari keluarga menengah ke bawah. Tetapi guru-gurunya ikhlas mengajar anak-anak tersebut tanpa mengurangi kualitas mengajar atau meninggalkan kelas di jam pelajaran. Saya mendapatkan pengalaman yang luar biasa di sekolah ini..saat skripsi saya mulai harus membuat saya lebih fokus ke skripsi, saya harus meninggalkan sekolah ini. Sampai saat ini jujur saya masih belum mendapatkan logikanya bagaimana guru-guru disana dapat bertahan hidup dengan segala biaya hidup yang tinggi akan tetapi penghasilan mereka sangat dibawah standar umr, bahkan menurut saya untuk hidup 2minggu seorang diripun tidak cukup. Ironis sekali ditengah megahnya gedung-gedung pusat kota jkt dan penghasilan rata-rata penduduk jkt ada sekolah kayu dengan guru-guru berpenghasilan rendah yang mengajar dengan ikhlas disana...semoga kita dapat mengambil hikmahnya dari kehidupan guru-guru ini :)

    By Blogger diary novi, at 8:40 AM, August 20, 2013  

Post a Comment

<< Home