Delicate, Delightful, Delicious
~A Blog

Saturday, August 23, 2008

Buku Rapor Indonesia 2008

Ini kisah tentang seorang mahasiswa bernama Indonesia, sedang kuliah di Universitas Dunia untuk waktu yang tidak terbatas. Dengan ukuran badannya yang besar, Indonesia dulu disegani teman-teman sekelasnya. Ia terkenal kaya, pintar, dan berwibawa. Biasanya dalam beberapa mata kuliah Indonesia juga berprestasi.

Tapi akhir-akhir ini, Indonesia prestasinya menurun. Tidak ada yang tahu mengapa. Bahkan prestasinya kini banyak disalip sama teman-teman satu geng "ASEAN", seperti adik imutnya Singapore yang beda 20 tahun dan kawan "adu mulutnya" Malaysia.

Rapor ini berisi nilai-nilai Indonesia untuk beberapa mata kuliah yang diambil. Karena teman satu kelasnya hampir 200, maka yang dimasukkan ke daftar hanya beberapa nama teman yang punya hubungan dekat dengan Indonesia, di antaranya teman-teman pentolan geng ASEAN (Thailand, Malaysia, Singapore, Vietnam, Filipina); Paman AS yang selalu disegani; saudara tua, Jepang-san yang dulu suka "membully" tapi selalu jadi idola; lalu Koko China yang ukuran tubuhnya juga besar.

Buku rapornya (20 KB) bisa diunduh di (1) (2) (3). Selamat menikmati!

1

Mata Kuliah: Quality of Life Index
Dosen pengajar: Dr. The Economist, MBA
Jumlah mahasiswa: 111 orang.
Nilai rata-rata kelas: 6,208

Di mata kuliah ini, nilai akhir mahasiswa ditentukan dari 9 parameter: kesehatan, kehidupan keluarga, kestabilan politik dan keamanan, kehidupan sosial, kesejahteraan materi, iklim dan geografi, kebebasan politik, persamaan gender, dan tingkat pengangguran. Indonesia nilainya di bawah rata-rata kelas.

2

Mata Kuliah: Human Development Index
Dosen pengajar: UNDP, PhD
Jumlah mahasiswa: 177 orang.

Nilai rata-rata kelas: 0,743


Mata kuliah ini secara umum mengukur standar kehidupan, sehingga umumnya hasilnya digunakan untuk mengelompokkan mahasiswa sebagai “maju”, “berkembang”, atau “under-developed”. Indonesia sedikit di bawah rata-rata kelas, tapi tetap di nomor buncit dibandingkan kawan-kawan geng “ASEAN”.


3

Mata Kuliah: Life Expectancy
Dosen pengajar: Prof. CIA World Factbook
Jumlah mahasiswa: 191 orang.
Nilai rata-rata kelas: 65,82 tahun

Hasil mata kuliah ini menunjukkan rata-rata panjang umur sekelompok orang yang lahir pada tahun yang sama. Teman-teman Indonesia yang rumahnya di Kelurahan Afrika umumnya bernilai kecil karena sakit-sakitan, terutama AIDS. Indonesia di atas rata-rata.

4

Mata Kuliah: GDP per capita

Dosen pengajar: Prof. World Bank

Jumlah mahasiswa: 170 orang.

Nilai median: 3.733 (Bosnia)

Mata kuliah ini menunjukkan Produk Domestik Bruto dibagi dengan jumlah populasi rata-rata di tahun itu. Hasilnya secara umum bisa digunakan untuk membandingkan tingkat kekayaan antar mahasiswa walaupun tidak selalu akurat, karena kadang butuh pembanding dari nilai mata kuliah lain. Ah, akhirnya nilai Indonesia bisa di atas Filipina dan Vietnam!

5

Mata Kuliah: Export per capita
Dosen pengajar: Prof. CIA World Factbook
Jumlah mahasiswa: 153 orang.
Nilai median: 617 (Irak)

Ini menilai jumlah ekspor dibagi dengan jumlah populasi rata-rata di tahun itu. Indonesia masih jauh lebih baik dibanding beberapa mahasiswa yang nilainya lebih kecil dari nomor rankingnya.

6

Mata Kuliah: Unemployment Rate

Dosen pengajar: Prof. CIA World Factbook

Jumlah mahasiswa: 199 orang.

Nilai rata-rata kelas: 30%

Kali ini menunjukkan jumlah pengangguran dibanding jumlah populasi, dinilai dalam persentase.

7

Mata Kuliah: Medali Emas Olimpiade (hasil Olimpiade Beijing 2008 tidak disertakan)

Dosen pengajar: Mbah Wikipedia

Jumlah mahasiswa: 205

Walaupun di hampir semua mata kuliah ekonomi Indonesia nilainya jeblok, tidak demikian untuk olahraga. Di mata kuliah Emas Olimpiade Sepanjang Masa, Indonesia bisa cukup bangga dengan 5 (sekarang 6) emasnya (hidup Markis Kido/Hendra Setiawan!).

Buku rapor aslinya bisa diunduh di
mirror (1) (2) (3)

Singapore,
Sabtu, (17+6) Agustus 2008

NB: Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk berbicara sinis tentang Indonesia. Hanya memaparkan realita, kemudian semoga menjadi motivasi bagi kita untuk bangkit. Bangkitlah negeriku, harapan itu masih ada!

Dirgahayu Indonesia!

Labels: ,

Sunday, August 17, 2008

Masalah Kependudukan dan Paradigma Berkeluarga di Singapore


“After all, children cost their parents more in food and college tuition than they bring in.”

Tingkat kesuburan (fertility rate) adalah salah satu data penting yang digunakan untuk mengetahui karakteristik demografi suatu objek. Misal, Mali yang tercatat berangka 7,34 menunjukkan bahwa setiap wanita di sana melahirkan sebanyak rata-rata 7,34 kali sepanjang hidupnya. Ini adalah angka tertinggi di dunia. Sekadar informasi, angka rata-rata tingkat kesuburan dunia adalah 2,58.

Untuk negara seperti Indonesia dengan tingkat kesuburan 2,34 (tahun 2008), masalah berkurangnya jumlah populasi barangkali tidak pernah terlintas dalam benak para pengambil kebijakan. Tetapi lain halnya dengan negara-negara maju seperti Jepang (tingkat kesuburan 1,27), Jerman (1,36), Korea Selatan (1,21), atau pun Singapore (1,29) karena tingkat kesuburan minimal yang dibutuhkan negara maju agar populasi tidak berkurang drastis dalam jangka panjang adalah sekitar 2,1. Dan jelas, empat negara tadi adalah sedikit dari banyak negara-negara maju yang terancam masalah kependudukan di masa depan.

Memangnya seberapa krusial masalah ini?

Di Korea Selatan, seperti diberitakan Korean Times akhir tahun lalu, 32 persen sekolah dasar di Korsel terpaksa tutup karena begitu rendahnya angka kelahiran.

Sebuah artikel di The New York Times membahas tentang angka 1,29 bagi Singapore. Dengan angka sekecil itu, diproyeksikan populasi negara mini yang jumlah penduduknya setengah dari Jakarta ini akan menciut hingga setengahnya dalam 45 tahun. Lebih jauh, efek penurunan tajam ini disebut mustahil untuk diperbaiki seperti semula.

Pemerintah Singapore bukan berarti berpangku tangan terhadap fakta ini. Sudah berjalan 20 tahun sejak pertama kali Singapore menerapkan kebijakan-kebijakan seputar penambahan jumlah populasi. Harapannya jelas untuk memotivasi masyarakat untuk memiliki anak, tapi kenyataannya hingga saat ini belum memuaskan. Justru beberapa parameter lain mengalami penurunan: rata-rata umur ibu yang melahirkan anak pertama menjadi 29,4 tahun. Pasangan suami istri juga menunggu rata-rata 28 bulan sebelum memiliki anak pertama.

Padahal kalau mau disebut, kebijakan-kebijakan pemerintah perihal kelahiran anak ini akan membuat jutaan ibu Indonesia melongo tidak percaya. Betapa tidak—di tahun 2004, Perdana Menteri Lee Hsien Loong menyebut bahwa anggaran pemerintah sebanyak 300 juta SGD disisihkan untuk keperluan insentif-insentif bagi keluarga. Di antaranya, ada kebijakan baby bonus: pemerintah akan memberi bonus tunai 3000 SGD bagi setiap keluarga untuk kelahiran anak pertama dan kedua, serta 6000 SGD untuk anak ketiga dan keempat.

Belum cukup sampai di situ, kemudahan-kemudahan bagi ibu yang melahirkan pun diberikan. Jika sebelumnya cuti melahirkan bagi ibu yang bekerja hanya boleh sampai 8 pekan, sejak 2004 lalu ditambah menjadi 12 pekan. Orang tua pun diberikan insentif berupa potongan pajak penghasilan hingga 10 ribu SGD untuk anak kedua dan 20 ribu SGD untuk anak ketiga dan keempat. Daftar ini sebenarnya hanya beberapa dari insentif-insentif lain yang kebih banyak lagi.

Tapi sayangnya, memang semua itu belum berhasil. Untuk bisa mencapai "angka keramat" 2,1 berarti harus ada 60 ribu bayi setahun. Sedangkan angka tahun lalu saja hanya 39.490, dengan kecenderungan menurun setiap tahunnya. Keluarga dengan dua anak adalah komposisi yang terbanyak di Singapore saat ini menurut sebuah survei.

Masalahnya di mana?

Paradigma mungkin. Saya mengutip beberapa pendapat orang Singapore yang dikutip The Straits Times 12 Juli 2008:

Karen (bukan nama sebenarnya), 30, direktur di sebuah perusahaan berkomentar, “After all, children cost their parents more in food and college tuition than they bring in.”

“If people want to maximize their subjective well-being, they should stop at one. Progression from one to two children has ramifications for the family finances, time use and the socialization for the parents, and the well-being of the child … I want to nurture myself without neglecting my daughter.”

Walaupun ini hanya pendapat satu orang, jangan kaget kalau ternyata pendapat ini diakui mewakili pemikiran sebagian besar orang Singapore. Pemikiran seperti ini sebenarnya tidak muncul secara tiba-tiba, karena bisa jadi faktor lingkungan adalah yang terbesar yang melahirkan banyak orang dengan pemikiran seperti itu secara pelan-pelan tanpa disadari.

Di Singapore, normanya adalah suami istri bekerja dua-duanya untuk sebuah gaya hidup yang meliputi mobil, wisata tahunan ke luar negeri, dan les-les tambahan untuk pelajaran, musik, dan lainnya bagi anak.

Nuansa persaingan karir di level korporat juga seperti tidak ada henti. Ini membuat pasangan suami istri yang bekerja berpikir bahwa memiliki anak berarti opportunity cost yang sangat besar menanti mereka.

“With three months maternity leave, morning sickness and numerous medical certificates, a mum will be less productive than a peer who is free of the above. Children can slow a woman’s climb up the career ladder,” komentar seorang manajer finansial, 29 tahun.

Memang tidak semua orang Singapore seperti itu. Toh ada juga keluarga yang beranak lebih dari dua, seperti kisah suami istri Peter dan Jilyn Tan yang dianugerahi lima anak.

Harus diakui, resikonya bagi mereka, banyak kemewahan-kemewahan yang harus mereka lupakan, seperti liburan tahunan ke Indonesia atau Malaysia seperti para tetangganya. Anak pertama mereka juga harus rela tidak ikut kursus musik dan sebangsanya di saat kebanyakan teman-temannya ikut. Untuk menghemat uang, mobil serba guna berkapasitas tujuh orang yang awalnya mereka miliki juga terpaksa diganti dengan yang lebih sederhana, Nissan Sunny yang hanya muat untuk 4-5 orang.

Tapi Mrs. Jilyn Tan berkomentar bahwa tidak pernah terpikir penyesalan sedikit pun di benaknya, “The pleasures of seeing them grow up—you can’t put a price to that.”

Singapore,
Sabtu, 16 Agustus 2008

Sumber:
The Straits Times 12 Juli 2008, The State's Lulaby: Baby, come Back,
Wikipedia, List of countries and territories by fertility rate
Kompas.com, Krisis bayi di Korea Selatan

Yang juga menarik:
Link, Irwan Prayitno anaknya 9!
Kompas.com, Indonesia Terancam Baby Booming

Labels: ,

Tuesday, August 05, 2008

Kampung Mandiri di Pinggiran Depok

“Di saat orang-orang baru membicarakan pentingnya go green lewat seminar-seminar, kami sudah lama mempraktekkannya.” Bertambah satu lagi tempat wisata Kota Depok setelah Masjid Kubah Emas: Kampung 99 Pepohonan.

Kedatangan saya dan keluarga disambut hangat oleh seorang wanita ramah di usia kepala tiga. Dia memerkenalkan diri sebagai Mbak Nia.

Sepintas memang tidak ada yang spesial dari kampung ini. Dari depan hanya tampak sebuah lapangan rumput yang luas, pepohonan jati yang rindang mengelilinginya, serta sebuah rumah kayu yang belakangan saya ketahui sebagai restoran dan musholla.

Hanya setelah Mbak Nia mengajak kami berjalan menyusuri jalan setapak dari rumah ke rumah di lahan seluas 5 hektar itulah saya baru bisa membayangkan betapa menariknya kehidupan 10 keluarga sanak saudara Mbak Nia di Kelurahan Meruyung itu.

Saya langsung terkesima. Konsep Kampung 99 Pepohonan yang lebih dikenal sebagai Kampung Rusa ini sebenarnya sederhana. Mereka membuat sebuah keluarga yang bisa memenuhi kebutuhan pangan sehari-harinya sendiri. Beras: mulai dari menanam padi hingga memanen mereka lakoni sendiri; susu: mereka punya sapi dan kambing yang diternakkan untuk diperah; sayur-mayur: ini pun mereka tanam sendiri. Karena memang semuanya diusahakan sendiri, tidak ada kata bahan pengawet dalam kamus mereka. Begitupun untuk pupuk dan pakan ikan, selalu kotoran hewan ternak yang mereka gunakan. Semua serba organik! Oh ya, dan tidak ada yang merokok di keluarga ini.

Diawali oleh satu keluarga yang ingin hidup dekat dengan alam, mereka kemudian membeli tanah di Meruyung, membangun rumah, dan mengembangkan lahan yang ada. Setelah merasa nyaman, mereka mengajak sanak saudara yang lain untuk juga pindah dan tinggal di situ.

Semua rumah berbahan dasar kayu. Lingkungannya dikonsep supaya tidak berpagar dan bisa menyatu dengan penduduk sekitar. Masing-masing rumah biasanya diberi “fungsi” masing-masing. “Ada rumah yang dijadikan pusat mencuci piring, pakaian; ada juga rumah yang dijadikan pusat memasak. Ini karena biasanya masing-masing penghuni rumah memiliki keahlian atau hobi tertentu. Sehingga, biar efektif, kami membuat sistemnya terpusat seperti itu,” jelas Mbak Nia.

Lebih jauh, Mbak Nia kemudian menunjukkan kandang hewan ternaknya. Ada rusa, sapi, dan kambing. Dari peternakan inilah mereka setiap harinya bisa memproduksi susu, mengolahnya menjadi yogurt, dan lain-lain. “Kami juga punya rencana untuk membeli sapi perah dari Australia. Tapi rupanya harganya mahal,” terangnya.

Yang juga menarik, tampaknya potensi SDM keluarga besar yang senang kedatangan tamu itu benar-benar dimanfaatkan dengan baik. Ada yang latar belakangnya ilmu pangan lulusan IPB, sehingga ilmunya langsung dipraktekkan dengan menghasilkan produk-produk seperti yogurt, cuka apel, dan sebagainya. Ada yang punya keahlian beternak ikan, makanya dibangunlah tambak ikan. Ikan patin, bawal, gurami adalah beberapa di antara yang diternakkan.

Memang tidak terlalu berlebihan kiranya jika Kampung Rusa ini disebut kampung yang mandiri. Kehidupannya sangat produktif, bukan konsumtif.

Benar, saya terkesima. Baru diajak berputar-putar sejenak saja saya sudah yakin bahwa Kampung 99 Pepohonan ini menyimpan potensi yang luar biasa untuk tempat pariwisata. Tapi bukan cuma pariwisata alam biasa, tapi lebih ke arah pariwisata pendidikan. Saya membayangkan anak-anak sekolah dibawa ke tempat ini untuk disuguhi kegiatan-kegiatan yang tidak pernah mereka temui sehari-hari di kehidupan anak kota: membajak sawah, menangkap ikan, memandikan kerbau, membuat cincau, membuat kue serabi, dan sebagainya.

Selepas berputar-putar di area 5 hektar itu, kami yang kembali ke area restoran disambut oleh seorang petugas Pemerintah Kota (Pemkot) Depok dari Kantor Pariwisata, Seni, dan Budaya dengan senyumnya yang lebar. Sebutlah namanya Mas Satria.

Seperti saya yang terkesima pada Kampung Rusa, Pemkot Depok pun tampaknya demikian. Menjadikan Masjid Kubah Emas dan Kampung Rusa sebagai bagian dari objek wisata yang dijual, mereka terlihat cukup serius untuk memajukan sisi pariwisata Kota Depok dengan membuat pos-pos Tourist Information Center (TIC) di setiap kecamatan. Dalam hal ini Mas Satria lah yang ditugaskan untuk menjaga TIC Limo yang memang ditempatkan di area Kampung Rusa ini.

Sembari menunggu susu kambing dan yogurt diracik di dapur, Mas Satria menjadi teman ngobrol kami. Pengembangan sektor pariwisata Kota Depok menjadi topik yang diangkat.

“Konsepnya, kita pingin orang-orang yang pergi mengunjungi Masjid Kubah Emas akan mengunjungi tempat ini, lalu mengetahui informasi-informasi tentang tempat wisata lainnya di Kota Depok,” jelasnya panjang lebar. Tak lupa ia juga menunjukkan beberapa brosur pariwisata. Ada juga semacam buklet resmi dari Pemkot, serta peta Kota Depok beserta “tempat-tempat wisata andalan”.

Selesai mendengar penjelasan Mas Satria, saya berpikir. Rasanya masih butuh waktu yang lama sampai tempat-tempat wisata di Depok bisa dikunjungi dengan nyaman oleh para wisatawan. Alasannya sederhana saja: akses ke tempat wisata andalan masih sangat buruk.

Kampung Rusa dan Masjid Kubah Emas adalah contoh riil. Bagi orang Depok kebanyakan, kemacetan yang mereka alami sepanjang Raya Sawangan dan Limo bisa jadi sangat menjengkelkan sehingga mengurungkan niat mereka mengunjungi Masjid Kubah Emas. Fly over di Jalan Arif Rahman Hakim memang sangat membantu, tapi tidak berpengaruh pada macet di Jalan Dewi Sartika. Jalan Limo Raya juga terkenal kurang lebar padahal ini adalah jalur utama akses menuju Masjid Kubah Emas dan Kampung Rusa. Jika ada bus besar rombongan pariwisata—kini semakin sering lewat— tidak jarang arus lalu lintas menjadi tersendat.

Akses dari Cinere pun setali tiga uang. Ruas Jalan Limo Raya dari perbatasan Depok-Jakarta sampai dengan wilayah SMA 6 Depok sudah rusak parah di beberapa titik. Jalan yang berlubang memaksa mobil untuk berjalan melambat dan menciptakan antrian panjang kendaraan.

Mas Satria saya perhatikan merogoh sakunya. Sebatang rokok kemudian dihisap pelan-pelan. Saya hanya tersenyum dan membatin, “Rupanya semua hal di Kampung Rusa alami kecuali ini.”

Singapore,
Sabtu, 2 Agustus 2008

Tautan:
Membangun Surga di Meruyung
Blog Kampung 99
Teduhnya Kampung 99 Pepohonan

Labels: ,