Delicate, Delightful, Delicious
~A Blog

Tuesday, May 22, 2007

Agar “Sistem Pencernaan” Sehat: Menulis

Sebuah artikel yang pernah saya baca mengetengahkan fakta yang menarik: penulis-penulis terkenal ternyata hanya menghabiskan sedikit sekali waktu untuk menulis. Sama sekali jauh dari bayangan kita bahwa mereka menghabiskan belasan jam sehari untuk menulis, bahkan terkadang sampai begadang untuk mengejar deadline seperti dalam gambaran-gambaran mangaka Jepang.

Charles Dickens yang terkenal dengan Oliver Twist-nya ternyata hanya menghabiskan 4 jam sehari untuk menulis. Dia hanya menulis antara waktu sarapan sampai waktu makan siang. Sisanya dihabiskan untuk apa? Rupanya dia lebih memilih menikmati 2 jam untuk berjalan-jalan menyusuri jalanan kota London, mengamati banyak hal. Fakta bahwa dia menghabiskan waktunya untuk jalan-jalan selama setengah dari waktu yang dia alokasikan untuk menulis menjadi menarik buat kita.

John Maynard Keynes, ekonom kenamaan, juga hanya menghabiskan 4 jam sehari—terkadang hanya 2 jam—untuk menulis.

Graham Greene yang seumur hidupnya menghasilkan 26 novel—ditambah cerita-cerita pendek, naskah film, naskah drama, dan lain-lain—malah hanya mengalokasikan 2 jam sehari, dari jam 7 sampai 9 pagi. Selama 2 jam itu dia bisa menulis hingga 900 kata.

Penulis kontemporer semacam J.K. Rowling konon katanya menghabiskan sampai 8 jam sehari untuk menulis buku keenamnya, Harry Potter and the Half-Blood Prince.

Barangkali karena tuntutan persaingan yang semakin ketat yang membuat penulis-penulis zaman sekarang menghabiskan lebih banyak waktu untuk menulis dibandingkan rekan-rekannya di masa lalu.

Jadi, pertanyaannya: mengapa sebagian besar penulis hanya menghabiskan sedikit sekali waktu mereka untuk menulis? Apa penjelasan rasionalnya?

Banyak yang menyebut menulis itu sebuah proses kreatif. Tidak lain karena menulis itu mirip dengan proses pencernaan. Pengibaratan ini cukup representatif dengan menitikberatkan pada input dan output. Dengan kata lain, seperti proses pencernaan, menulis juga membutuhkan input agar bisa menghasilkan output.

Dengan pengibaratan seperti ini, kita nggak terlalu heran mendapati Graham Greene atau Charles Dickens hanya menghabiskan waktu 2 sampai 4 jam sehari untuk menulis. Sisa waktunya dalam sehari jelas untuk mencari inspirasi. Charles Dickens melakukannya dengan jalan-jalan di kota London. H.C. Andersen melakukan perjalanan keliling Eropa untuk mendapatkan ide untuk cerita-ceritanya.

Dengan pengibaratan seperti ini juga, mustahil kalau kita mengharapkan output lebih banyak dari input. Nggak mungkin bagi penulis untuk menulis terus menerus tanpa mendapatkan input tambahan, entah dari membaca koran, buku fiksi, buku non fiksi; bertemu atau diskusi dengan orang baru; mengalami kejadian-kejadian atau pengalaman-pengalaman baru dan lainnya.

Yang juga menarik bila menulis disamakan dengan sistem pencernaan adalah kalau kita melihatnya dari sisi lain. Bagaimana kalau kasusnya adalah kebanyakan input tanpa output? Mungkin secara langsung kita bisa memprediksi akan terjadi penyakit pencernaan, apa pun itu. Berarti, orang yang terlalu banyak input, tapi nggak pernah mengusahakan input-inputnya menjadi karya-karya sebagai outputnya bisa disebut akan berpenyakit. Begitu logika sederhananya.

Berita buruknya, kitatermasuk sayabisa jadi termasuk kelompok itu! Iya, betul sekali; sebagian besar dari kita termasuk kelompok orang-orang yang terlalu banyak input tapi minim output dalam masalah tulisan. Saya ingat omongan teman saya, “kita ini sebenanya sudah baca ratusan judul buku lo, dari kecil. Tapi kok sampai sekarang untuk menulis satu buku saja nggak bisa ya?”

Ratusan buku? Anda kurang setuju dengan teman saya? Mari kita korek memori kita. Sejak SD, walaupun buku pelajaran, kita sudah membaca banyak buku. Ambil contoh buku Matematika. Kalau dulu satu tahun kita baca satu buku Matematika, berarti sampai SMA kita sudah baca minimal 11 buku Matematika—bahkan tamat sampai latihan-latihan soalnya. Itu baru Matematika. Jangan lupakan juga Bahasa Indonesia, PPKn, Sejarah, Biologi, Fisika, Sosiologi, dan lainnya.

Selain buku-buku pelajaran, untuk saya pribadi, puluhan judul komik; puluhan buku petualangan anak-anak semacam Lima Sekawan, Trio Detektif, dan lainnya; puluhan novel; puluhan buku Islam termasuk Quran dan terjemahannya; puluhan buku non-fiksi lainnya; ratusan artikel yang tersebar di internet; dan masih banyak lagi akan saya masukkan ke dalam daftar buku atau bacaan yang pernah saya baca.

Dengan kata lain, banyak ide-ide yang sempat mampir di otak saya. Sayangnya, sebagian besar—kalau bukan semuanya—hanya mampir, kemudian terlupakan. Padahal Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, “ikatlah ilmu dengan menuliskannya.”

Dengan kenyataan seperti ini, omongan teman saya itu menjadi sangat tepat sasaran.

Padahal itu baru dari satu jenis input: buku. Belum lagi pengalaman-pengalaman hidup kita selama ini. Maka dengan begitu banyak input yang sudah kita serap selama ini, sangat nggak seimbang kalau outputnya hanya karangan-karangan setengah hati untuk tugas mengarang pelajaran Bahasa Indonesia selama di sekolah dulu. “Sistem pencernaan” kita akan bermasalah kalau begitu.

Baiklah, menulis buku memang nggak semudah membalikkan telapak tangan; banyak faktor di situ. Tapi di zaman sekarang ini, membuat blog sudah semudah mengangkat jari kita. Tinggal beberapa klik di mouse kita, dan bisa langsung jadi. Memulai menulis di blog bisa kita coba. Secara khusus tentang blog, Ikhlasul Amal bahkan sampai mengeluarkan ungkapan yang menarik: “Ikatlah ilmu dengan blog.”

Betul, blog bisa jadi salah satu penyemangat kita untuk bisa menyeimbangkan input dengan output.

Singapore,
Selasa, 22 Mei 2007

Bahan bacaan:
"Ikatlah Ilmu dengan Blog", oleh Ikhlasul Amal

Labels: ,

Dari Balik Dapur (3)

-------------------
Introducing Snacks for Thought

Labels: