Delicate, Delightful, Delicious
~A Blog

Wednesday, September 27, 2006

Lusuh di Balik Kubah Emas

Beberapa bulan yang lalu, di salah satu milis yang saya ikuti, salah seorang anggota milis saat itu menyebarkan kabar tentang keberadaan sebuah masjid yang konon lebih besar dari Istiqlal. Menariknya, menurut orang itu, masjid itu ada di Depok.

Saat itu nggak ada orang yang membenarkan kabar itu di milis. Pun saya yang memiliki KTP Depok dan tinggal cukup lama di Depok menyangsikan kabar itu. Sejauh yang saya tahu, masjid yang agak besar di Depok hanya Masjid Baitul Kamal di komplek Walikota dan Masjid UI yang biasa dikenal sebagai Masjid Ukhuwah Islamiyah.

Kabar itu hanya berlalu sekilas di memori saya sebelum tertumpuk informasi-informasi lain. Praktis, informasi tentang masjid itu terkubur begitu saja.

Tapi, saat saya berada di Depok bulan Juli lalu, memori itu seperti terkuak kembali. Salah seorang teman SMA saya bercerita demikian. “Eh, udah tahu masjid besar yang katanya kubahnya dari emas di daerah Sawangan belum?”

Kali ini rasa penasaran saya benar-benar membuncah. Harus dicek nih kebenarannya, pikir saya. Maka, di tengah berbagai aktivitas selama liburan, di pertengahan Juli saya menyempatkan mencari lokasi masjid yang diceritakan teman saya itu. Kira-kira 1 km dari arah pertigaan Parung Bingung ke arah Cinere, sebelum SMA 6. Dan, benar saja, pemandangan yang saya temui benar-benar membuat orang yang tadinya sudah mengantuk siap tidur bisa terbelalak dan bangun kembali. Bukan saja karena kemegahan dan struktur bangunannya, tapi lebih karena lokasi masjid sebesar dan sebagus itu yang letaknya di pinggiran Depok yang masih belum berkembang. Anda masih bisa menjumpai sawah, kebun, dengan rumah-rumah yang jarang. Hanya ada satu angkot yang melayani trayek itu, sehingga lalu lintas masih relatif lancar di sepanjang jalan raya yang nggak terlalu lebar itu. Persisnya di kelurahan Meruyung, kira-kira 6-7 km dari pusat Kota Depok.

Yang mengherankan, di bulan Juli itu saja masih banyak teman saya yang belum sadar akan keberadaan masjid fenomenal itu di Depok. Saya coba tanyakan tentang masjid itu ke beberapa teman saya, dan rasanya hanya 1 dari 10 orang yang tahu, atau minimal pernah mendengar tentangnya.

Memang, saat saya mengunjunginya di bulan Juli itu, sekelilingnya masih ditutupi seng-seng. Lokasi masjidnya sendiri pun nggak langsung berbatasan dengan jalan raya; kira-kira 200 meter dari pintu masuknya. Di sekitarnya tampak seperti komplek yang asri dengan tanaman-tanaman dan air mancur. Pantas saja belum banyak orang yang tahu. Bisa jadi orang-orang yang lewat di depannya saja nggak sadar karena masih tertutup.

Dan akhirnya Kompas memuat beritanya di bulan Agustus lalu. Menurut tulisan di Kompas, masjid itu kepemilikannya atas nama pribadi. Pemiliknya, Hj Dian Djuriah Maimun Al Rasjid, adalah ketua umum Yayasan Dian Al Mahri. Beliau membangun masjid itu dari tahun 2001. Menurut teman saya yang tinggal di daerah itu, semuanya berawal dari pengajian rutin yang diadakan di daerah itu. Dengan inisiatif dari Dian Djuriah, mereka kemudian membangun masjid yang kini digunakan untuk pengajian dengan jumlah orang ribuan.

Lalu, beberapa hari lalu saya membaca sebuah artikel bagus yang cukup inspiratif, yang secara kontras membahas sisi yang sangat bertolak belakang dengan kisah saya barusan. Menyentuh sebuah sisi Kota Depok yang jarang diketahui atau dipikirkan orang.

Sang penulis secara khusus membahas fenomena anak-anak jalanan—bisa berarti anak-anak terminal, anak-anak stasiun—dalam balutan gemerlapnya mal-mal dan pusat perbelanjaan yang berderet di jantung Kota Depok. Nggak jarang kita menjumpai anak-anak jalanan yang berkeliaran di depan Plaza Depok, atau mengemis di jembatan penyeberangan. Atau di depan Detos (Depok Town Square), atau di seberangnya, di depan MargoCity. Dengan cahaya yang sangat gemerlap dari MargoCity di malam hari, terutama dari lampu sorotnya yang membelah langit malam, komplitlah ironi pemandangan itu. Lampu beribu-ribu watt seperti yang dipakai mercusuar itu menjadi pemandangan latar untuk anak-anak berpenampilan lusuh yang tampak tetap ceria bermain. Sang penulis memberi judul tulisannya dengan “Taman Bermain Ribuan Lampu.”

Ah, memang begitu. Selalu ada hal-hal yang tampak bertolak belakang satu sama lain di dunia ini. Padahal jaraknya sangat dekat; padahal masih sama-sama di Depok. Yang satu megah dengan lapisan emas di kubahnya. Yang satu lagi, berkilo-kilo meter menuju jantung Kota Depok, tepat di belakang bangunan gedung kantor Walikota yang baru, ada sebuah rumah singgah untuk anak-anak jalanan. Nggak banyak yang tahu hal ini.

Melihat kondisi ini pun lagi-lagi seperti sebuah kelakar. Sangat lucu menurut saya; di balik tembok komplek walikota, kira-kira 100 meter ke arah belakang, dibatasi oleh rel kereta api, masih banyak rumah-rumah penduduk yang sangat kumuh di Kampung Lio.

Rumah singgah yang barusan saya sebut pun sebuah fenomena. Pak Gito dan Bu Anna adalah sepasang suami istri yang merelakan rumahnya dipakai sebagai rumah singgah itu sejak beberapa tahun lalu. Mereka mengajak anak-anak sekitar, atau yang ditemui di terminal; yang nggak terurus oleh orang tuanya atau yang nggak bisa sekolah untuk ikut belajar di rumah singgah. Anak-anak usia sekitar 4 tahun sampai SMP itu diajari oleh mereka berdua untuk membaca, menulis, menggambar, dan sebagainya. Tapi yang terutama adalah pelajaran tentang akhlak, juga tentang nggak baiknya meminta-minta dan turun ke jalanan, dan sebagainya. Banyak dari mereka yang sekarang sudah bisa membantu orang tuanya secara finansial, dengan berjualan kantong plastik di pasar, misalnya.

Tetapi, rumah singgah di Depok bukan cuma itu saja. Ada juga rumah singgah lainnya di terminal Depok. Belum lagi kalau kita bicara tentang rumah-rumah di sekeliling danau Lio milik tukang-tukang becak. Beberapa membangun rumah itu persis di atas rawa-rawa. Saya nggak tahu bagaimana urusan sanitasi untuk rumah-rumah kumuh seperti itu.

Yang saya lihat, ada sesuatu yang terlupakan. Saya berandai-andai bila dana pembangunan masjid itu setengahnya saja disalurkan untuk pendidikan anak-anak jalanan itu. Atau bila biaya listrik untuk lampu sorot MargoCity itu digunakan untuk kepentingan lain. Ah, tapi memang saya belum tahu banyak untuk bisa berkomentar. Karena saya yakin pemikiran seperti ini bagaimana pun terlalu dangkal kalau hanya dilihat dari satu sisi.

Singapore
Selasa malam, 26 September 2006
Hari ke-3 Ramadhan

Sumber foto-foto:
Foto-foto Masjid Yahoo! Photos
Foto-foto anak-anak Yoyok’s Site, Our Words Our Power

Rekomendasi bacaan:
Masjid Berkubah Emas Dibangun di Depok Kompas

Labels: ,

Friday, September 22, 2006

Dari Balik Dapur (1)

1. Ah, akhirnya; setelah 15 hari nggak menulis! (Sepertinya tulisan saya “Siap Untuk Menulis?” sedang menangis)

Sebenarnya selama sepekan terakhir, Windows saya bermasalah. Otomatis komputer nggak bisa dipakai, dan tentunya mobilitas jadi terbatas. Tapi saya nggak segera mengurusnya, karena dibuat sibuk oleh 2 kuis.

Tapi alasan apa pun nggak lebih menjelaskan dibanding penjelasan saya di comment terbaru di tulisan “Guruku Sekarat”. Saya menyebutnya dengan fenomena ‘sedikit demi sedikit lama-lama ketagihan.’ Mungkin ini yang sebenarnya terjadi.

2. Anyway, marhaban Ramadhan; selamat datang tamu yang agung. Saya mohon maaf lahir batin atas semua kesalahan lisan, tingkah laku, mau pun tulisan. Semoga Ramadhan tahun ini bisa kita manfaatkan lebih maksimal. Insya Allah.

Assalamu’alaikum w.w.
-Radon Dhelika

Labels:

Thursday, September 07, 2006

Guruku Sekarat

Di Straits Times Selasa lalu, ada berita di halaman depan yang langsung menarik perhatian saya. Tertulis “$250m package to make teaching more attractive.” Ya, S$250 juta untuk peningkatan mutu pendidikan selama 3 tahun ini di Singapore, katanya.

Ini tentunya salah satu upaya pemerintah Singapore untuk meningkatkan kualitas pendidikannya. Mereka ingin menarik sebanyak mungkin minat lulusan-lulusan universitas yang berkualitas, dan juga menahan guru-guru muda yang bagus agar tetap mengajar di sekolah. Karena bagi kelompok yang kedua, banyak yang kemudian meninggalkan profesi mengajarnya dan mengejar karir sebagai profesional.

Uang sebanyak S$250 juta itu salah satunya untuk peningkatan pembayaran insentif atau bonus. Dituliskan, jumlah bonus sampai dengan S$160 ribu akan pindah tangan bagi guru-guru yang bisa bertahan sampai dengan masa pensiun. Selain itu, pembayaran gaji penuh untuk mereka yang cuti untuk pengembangan kualitas diri, misalnya untuk melanjutkan program masternya. Penggantian pengeluaran pribadi untuk urusan pendidikan bisa diklaim sampai dengan S$400-S$700 setiap tahunnya. Masih banyak lagi daftar fasilitas-fasilitas yang dijanjikan MOE (Ministry of Education), yang kalau saya lanjutkan akan membuat guru-guru Indonesia nggak tega untuk melanjutkan membaca tulisan ini.

Padahal kalau di Depok, gaji pokok guru swasta yang mengajar 20 jam sepekan hanya 660 ribu. Itu pun nggak ada tunjangan. Guru-guru Jakarta dalam hal ini lebih beruntung dengan tunjangan 2 jutanya. Memang masalah besaran gaji sangat tergantung pada daerahnya. Depok saja yang dekat dengan Jakarta masih separah itu, lalu bagaimana dengan di Manokwari?

Bisa jadi inilah alasan dari 2 kejadian yang saya alami selama sekolah di Indonesia. Yang pertama ketika dulu di kelas 1 SMA. Di salah satu pelajaran di kelas, seorang guru bertanya ke semua anak di kelas saya, “siapa yang punya cita-cita jadi guru?” Secara mengejutkan—walau sebenarnya bisa ditebak—hanya 2 orang termasuk saya yang mengangkat tangan saat itu. Teman-teman saya yang lainnya menatap kami berdua seperti melihat spesies langka temuan baru. Barangkali kalau guru saya waktu itu melanjutkan dengan menananyakan alasannya, akan terdengar koor serempak dari anak-anak satu kelas, “gajinya Pak!!!”

Lalu, kejadian kedua menyangkut masalah kualitas guru. Yang ini masih sangat lekat di memori saya. Lagi-lagi di SMA. Saat itu, karena ada ulangan, guru saya meminta ketua kelas atau bendahara untuk mengumpulkan Rp 500,00 per anak untuk biaya tes. Dalam bayangan saya—dan juga teman-teman semua—sehabis tes, lembar fotokopian soal akan dibagikan. Kami tunggu, kami tunggu, dan kami tunggu. Sampai terakhir, malah dikumpulkan kembali. Dan, fotokopian itu dipakai untuk ulangan di kelas-kelas lainnya! Bisa Anda bayangkan—respek kami hilang terhadap guru itu. Bukan cuma satu kelas, tapi satu angkatan!

Di sini yang agak susah. Beberapa teman saya mungkin akan memaklumi tindakan guru itu, mengingat beliau laki-laki; punya keluarga, punya tanggungan. Mana cukup dengan gaji pegawai negeri biasa? Nah, di sini yang menurut saya menjadi penting. Kualitas seorang guru bagaimana pun akan dipengaruhi gajinya. Bagi Anda sendiri, mungkin banyak kisah-kisah serupa, saat guru-guru Anda berani mengorbankan harga dirinya untuk uang yang nggak seberapa. Mereka membeli kepercayaan dan respek murid-muridnya dengan uang 200 atau 300 ribu! Dan, saya nggak percaya bahwa murid akan menerima begitu saja pelajaran dari guru-guru yang sudah sama sekali tidak dihormati.

Ada tulisan menarik di Kompas yang menyebut mengenai lingkaran setan kualitas guru. Mengapa kualitas guru rendah? Karena gajinya rendah. Karena gajinya rendah, profesi guru menjadi nggak menarik bagi lulusan-lulusan terbaik anak bangsa. Lulus SMA, lebih banyak yang memilih untuk melanjutkan studi di teknik, kedokteran, ekonomi, dan sebagainya. Jarang yang meneruskan ke IKIP. IKIP-IKIP pun banting setir menjadi universitas untuk meningkatkan gengsinya. Bahkan UPI (Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung) sering dipelesetkan menjadi “universitas, padahal IKIP”. Akhirnya generasi-generasi Indonesia pun hanya dibesarkan oleh lulusan-lulusan yang bukan kelas satu.

Tapi, walau bagaimana pun saya tetap hormat sama guru-guru saya sendiri. Mereka sebenarnya orang-orang yang luar biasa. Terkadang, kita bisa melihat pancaran keikhlasan dari setiap ucapannya, atau dari binar matanya.

Saya ingat, guru saya di SD lah yang waktu itu mengecek hapalan propinsi-propinsi di Indonesia beserta ibukotanya. Jadi, saat itu tiap anak disuruh maju satu-satu dan menyebutkannya dari ujung barat sampai timur. Guru SD saya juga lah yang dulu setiap sebelum pulang menyuruh anak-anak untuk menyebut keras-keras asmaul husna. Hapalan itu ditambah satu demi satu setiap harinya.

Kalau bukan karena penjelasan guru SMP, kita sekarang nggak akan mengerti tentang rantai makanan, rumus Q=mc∆t, atau tentang konsep Pelita (Pembangunan Lima Tahun). Rentetan pelajaran dari guru-guru SD, SMP, SMA lah yang membuat kita hapal tentang tahunnya perang Diponegoro, 1825-1830. Mereka lah yang membentuk konsep pemahaman kita tentang banyak hal-hal yang mendasar.

Iya, memang orang Indonesia masih lebih senang memuji mereka daripada memberikan sesuatu buat mereka. Seperti pada alunan lagu ini

Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa

Dalam menyanyikannya, kita menyebut kata “pahlawan bangsaaaa ..” dengan panjang sampai dengan napas terakhir, dan melanjutkan “tanpa tanda jasa” dengan bisik-bisik, dengan sisa napas kita. Memang begitulah. Tanda jasa tak ada, gaji pun secukupnya.

Padahal, yang menginspirasi penerapan beberapa fasilitas tambahan bagi guru-guru Singapore adalah ucapan Lee Hsien Loong, “everything about our vision for education—every niche, every area of excellence, every approach to cater to a different learning style—is really about teachers.”

Singapore,
Kamis malam, 7 September 2006

Rekomendasi bacaan:
Meningkatkan Mutu Guru, Dari Mana Dimulai? Kompas
Menunggu Kematian Guru De Britto
Agustus, Gaji Guru Sekitar 4 Juta ITS

Labels: ,

Tuesday, September 05, 2006

The Long-Awaited Unsolved Problems

Saat kita masih sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan trivial semacam “lebih dahulu mana, ayam atau telur?”, ilmuwan-ilmuwan di seluruh dunia mungkin sekarang sedang berkutat dengan penelitian-penelitian untuk memecahkan persoalan-persoalan yang masih belum terjawab selama beberapa dekade, atau bahkan beberapa abad.

Tanggal 22 Agustus lalu tiba-tiba saja nama seorang matematikawan Rusia, Grigori Perelman, langsung mencuat ke permukaan. Hampir semua media massa internasional—tak terkecuali di Indonesia—meliput keberhasilan pria berumur 40 tahun itu mendapatkan penghargaan bergengsi Fields Medal atas kontribusinya membuktikan Poincaré conjecture. Namanya menjadi semakin terkenal—atau kontroversial—karena ia menolak menerima penghargaan itu dan juga menolak untuk hadir di kongres. Poincaré conjecture sendiri adalah suatu konjektur yang diajukan oleh Henri Poincaré kira-kira seabad yang lalu.

Bagi matematikawan, penghargaan Fields Medal yang diserahkan 4 tahun sekali di kongres Internasional Matematika adalah yang paling bergengsi. Gengsinya setinggi penghargaan Nobel.

Sebenarnya, di tahun 2006 ini, ada 3 nama selain Grigori Perelman yang berhak mendapatkan penghargaan Fields Medal. Hanya saja, nama Grigori Perelman-lah yang paling mencengangkan dunia matematika Internasional. Ia berhasil membuktikan salah satu dari tujuh persoalan terbesar di dunia matematika yang belum terjawab. Saya tadinya berpikir bahwa dunia matematika sulit untuk berkembang lagi. Semua teorema dan rumus-rumus sudah ditemukan. Rasanya akan sulit untuk bisa menciptakan lagi teori semisal kalkulus yang bisa menjadi sumber inspirasi dunia matematika.

Makanya saya cukup dibuat kaget disodori judul-judul persoalan di matematika yang belum terpecahkan tersebut. Walaupun memang, membaca judulnya saja membuat keriput di dahi semakin bertambah. Daftarnya adalah sebagai berikut: P vs NP, Hodge conjecture, Poincaré conjecture, Riemann hypothesis, Yang-Mills existence dan mass gap, Navier-Stokes existence dan smootness, dan Birch and Swinnerton-Dyer conjecture.

Clay Mathematics Institute (CMI) menyebut ketujuh pertanyaan tadi sebagai Millenium Prize Problems. Mereka menjanjikan hadiah tunai 1 juta US Dollar bagi siapa pun yang pertama bisa memecahkan persoalan tersebut. Dan, Grigori Perelman berhasil memecahkannya! Menurut Terry Mart, dosen Fisika UI, karya-karyanya diklaim oleh dia sendiri bisa menyelesaikan 2 persoalan Matematika topologi terbesar abad ini, yaitu Poincaré conjecture dan Thurston geometrization conjecture.

Majalah ilmiah Nature sudah meramalkan bahwa ia akan mendapatkan penghargaan Fields Medal tersebut. Menariknya, para reviewernya membutuhkan 3 tahun sejak tahun 2003 saat karya Perelman diajukan untuk bisa membuktikan kebenaran hasil karya Perelman itu.

Saya begitu terkesan mengetahui seluk beluk dunia science dan the long-awaited unsolved problems yang sama sekali jarang terekspos oleh media ini. Bahkan, ketika mengetahui ada 7 persoalan matematika yang belum terpecahkan, saya jadi tertarik untuk mencari tahu apabila ada hal serupa untuk Fisika. Dan, ternyata Wikipedia mendokumentasikan semuanya dengan cukup komprehensif.

Ada banyak rupanya fenomena-fenomena alam yang masih dicari penjelasan ilmiahnya di bidang Fisika, seperti accelerating universe, Baryon asymmetry, corona heating problem, electroweak symmetry breaking, high-temperature superconductors, universe symmetry, dan masih banyak lagi. Rupanya pertanyaan-pertanyaan seperti “apa yang menyebabkan sesuatu memiliki massa?”; “mungkinkah struktur turbulensi dipetakan?”; “apa asal ketidaksimetrisan alam semesta ini?”; “mengapa korona memiliki suhu lebih panas dibandingkan permukaan matahari?” adalah yang membuat sibuk fisikawan-fisikawan sekarang.

Tapi yang paling menarik dalam dunia Fisika saat ini adalah perlombaan perumusan Theory of Everything (TOE). Ini adalah teori hipotesis yang bisa menjelaskan dan menghubungkan semua fenomena di Fisika, termasuk menghubungkan 4 gaya utama dalam Fisika: gravitasi, elekromagnet, interaksi lemah, dan interaksi kuat. Ada banyak yang mencoba merumuskan TOE ini selama 1 abad terakhir, tapi sampai sekarang belum ada yang bisa menghasilkan teori yang bisa dicoba hasilnya secara eksperimen. Banyak kalangan yang mengemukakan bahwa keberhasilan perumusan TOE akan merubah cara pandang manusia terhadap alam semesta dan isinya.

Dari itu semua, yang paling merangsang saraf imajinasi saya adalah fakta di biografi Grigori Perelman yang menyebutkan bahwa dia adalah peraih medali emas di olimpiade Matematika Internasional ketika usianya 16 tahun. Seketika itu juga harapan-harapan saya membuncah. Suatu hari nanti, Indonesia pun akan seperti itu. Nanti nama-nama seperti Jonathan Pradana Mailoa, Pangus Ho, Irwan Ade Putra, Andy Octavian Latief, dan M. Firmansyah yang akan muncul di headline berita-berita internasional sebagai penerima Nobel atau Fields Medal. Kalau bukan sekarang, minimal satu generasi lagi.

Atau, barangkali Anda juga tertarik? Mungkin menciptakan lawannya Theory of Everything, Theory of Nothing?

Singapore,
Senin malam, 4 September 2006

Bahan bacaan:
http://www.newyorker.com/printables/fact/060828fa_fact2
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0608/28/ilpeng/2906089.htm
http://en.wikipedia.org/wiki/Poincar%C3%A9_conjecture
http://en.wikipedia.org/wiki/Millennium_Prize_Problems
http://en.wikipedia.org/wiki/Unsolved_problems_in_physics

Labels: