Delicate, Delightful, Delicious
~A Blog

Thursday, February 22, 2007

Disini Di Jual Kartu Perdana

Budi Rahardjo, dosen ITB yang cukup populer di dunia blog Indonesia, dalam tulisannya menyebut bahwa banyak sekali kesalahan dalam tulisan mahasiswanya yang dia periksa. Salah satu hal yang menjadi perhatiannya adalah tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, selain tentang format tulisan, fokus target pembaca, dan lainnya.

Kalau Budi Rahardjo fokus pada hal itu, maka saya lebih tertarik untuk menyorot hal yang lebih sederhana, tetapi sudah menjadi penyakit kronis bangsa Indonesia karena terlalu biasa diabaikan. Yang saya maksud adalah tentang kesalahan penggunaan awalan dan kata depan.

Contohnya iklan berikut ini di Kompas. Ini adalah iklan yang dipasang oleh Kompas Cyber Media (KCM), memberitahukan kalau walaupun Kompas nggak terbit pada tanggal 31 Desember dan 1 Januari lalu karena berturut-turut libur Idul Adha dan tahun baru Masehi, pelanggan setia Kompas masih bisa menikmati berita-berita aktual Kompas di KCM. Maksudnya jelas, tapi mata saya cukup sensitif saat itu untuk melihat satu kesalahan tata bahasa di situ. Ya, jelas sekali ada kesalahan penggunaan “di” yang seharusnya menjadi awalan, bukan kata depan. Begitu juga kesalahan serupa di iklan yang dipasang KIA.

Ah, bahkan nggak usah jauh-jauh melihat ke surat kabar. Kalau Anda jalan-jalan sebentar melihat daerah-daerah teramai di kota mana pun, niscaya akan Anda temui kesalahan-kesalahan serupa di papan reklame, petunjuk jalan, papan nama toko, dan masih banyak lagi. Kalau di daftar, akan kita dapati deretan-deretan yang membuat kening kita berkerut: “disini di jual kartu perdana”, “rumah ini di jual”, “di larang masuk kecuali karyawan”, dan lainnya.

Inilah sebabnya saya menyebut kesalahan penggunaan kata depan dan awalan sebagai penyakit kronis orang Indonesia. Padahal ini adalah pelajaran bahasa Indonesia sejak kita SD. Anda bisa mendapati semua lapisan masyarakat, termasuk mahasiswa, dosen, Doktor sering melakukan kesalahan yang sama. Gambar di bawah ini adalah salah satu kesalahan yang saya dapati di Jurnal Teknik Sipil ITB.

Saya pribadi bukan termasuk yang sangat fanatik pada penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar setiap saat. Bahkan di blog saya sendiri, saya membuat standar penggunaan kata “nggak” sebagai pengganti “tidak”. Begitu pula dengan “Singapore”; bukan “Singapura” sesuai dengan EYD. Karena bagi saya, ada 2 hal yang seharusnya bisa ditoleransi di penggunaan bahasa Indonesia, yaitu kesalahan ejaan karena kata serapan, dan kesalahan diksi karena pengaruh kata-kata populer. Seperti kata Remy Sylado, pada dasarnya bahasa Indonesia berasal dari bahasa pasar. Banyak kesalahan transliterasi yang sekarang malah menjadi populer. Masih menurutnya, “Bahasa yang tertib memang harus dijaga. Namun di samping itu bahasa Indonesia dengan istilah-istilah kolokuial juga tidak perlu dianggap dosa.” Tapi jelas, kesalahan-kesalahan yang bukan dianggap dosa olehnya hanya mengacu pada kesalahan diksi dan ejaan karena pengaruh transliterasi.

Jadi, saya nggak terlalu meradang melihat fenomena “apotik” yang dengan gagah mengungguli “apotek” di hasil pencarian Google, walaupun kita semua tahu kalau “apotek” dan “apotik” adalah contoh paling klasik pelajaran kata baku. Tapi beda kasus kalau saya mendapati fenomena kesalahan penggunaan kata depan dan awalan yang menjamur, menggurita. Karena seharusnya nggak ada alasan bahwa kita bisa salah dalam penggunaan kata depan dan awalan. Ini adalah hal yang sama sekali nggak dipengaruhi bahasa asing atau bahasa populer. Kalau kita membaca ulang tulisan kita sekali saja, saya yakin ada peluang yang sangat besar bagi kita untuk mengidentifikasi kesalahan penggunaan kata depan dan awalan di tulisan kita.

Penelitian sederhana saya menghasilkan fakta menarik bahwa halaman web dengan kata “di mana” dan “dimana” yang berhasil di-indeks oleh Google di semua halaman web berbahasa Indonesia berjumlah hampir sama. Berarti, secara kasar bisa disebut bahwa 1 dari 2 orang Indonesia nggak paham bedanya kata depan dengan awalan.

Bagaimana pun bahasa adalah cermin penggunanya. Dari bahasa kita bisa mengetahui—atau minimal menerka-nerka—kepribadian, cara berpikir, ketelitian, maupun keseriusan orang. Nggak heran bila ada seorang ekspatriat di Jakarta yang sampai menanyakan seberapa serius Adam Air memperhatikan perawatan pesawat-pesawatnya. Ada apa gerangan? Oh, rupanya sang ekspat ini menemukan 10 kesalahan tata bahasa Inggris dari iklan Adam Air selembar penuh di Jakarta Post 19 Desember 2005! Logikanya, kalau sekadar membawa naskah iklan ke Jalan Jaksa untuk diedit saja nggak bisa, bagaimana dengan urusan perawatan pesawat? Makanya saya bisa memaklumi kalau di akhir tulisannya, dia menulis, “Sorry Adam, but for all your expenditure, you've lost at least one potential passenger.”

Dalam konteks yang lebih ketat, Ariel Heryanto juga pernah menyindir kita semua dalam tulisannya di Kompas saat Nadine “Indonesia is a beautiful city” Chandrawinata sedang menjadi topik bahasan yang hangat. Tulisnya, “Indonesia semakin mirip bangsa-bangsa bekas jajahan Inggris. Semakin banyak orang Indonesia yang tidak mampu menulis satu halaman atau bicara lima menit dalam bahasa Indonesia yang mulus, tanpa istilah-istilah bahasa Inggris mutakhir yang sedang pop. Mereka juga tidak mampu menulis satu halaman atau bicara lima menit dalam bahasa Inggris yang mulus, tanpa berlepotan logat dan pengaruh tata-bahasa bahasa Indonesia. Ada banyak Nadine di antara yang menertawakan Nadine.”

Dengan ungkapan Ariel Heryanto seperti itu, seharusnya sudah nggak terkejut lagi kalau kita mendapati salah satu tokoh berbahasa Indonesia lisan terbaik adalah justru Richard Gozney, orang asing.

Oh ya, apakah Anda menemukan satu kesalahan penggunaan awalan di tulisan ini? Selamat, berarti Anda lulus.

Singapore,
Kamis, 22 Februari 2007
NB: Maaf bagi yang kurang berkenan dengan tulisan ini


Bahan bacaan:
Pedoman ejaan, Wikipedia Indonesia
Tulisan Jakartass tentang iklan Adam Air
"Remy Sylado: Bahasa Televisi Harus Luwes", Gatra.com
"Nadine" oleh Ariel Heryanto, Kompas.com
"Panduan Menulis dan Mempresentasikan Karya Ilmiah" oleh Budi Rahardjo, cert.or.id
Blog Polisi EYD

Perlu dicoba:
dimana vs "di mana", apotek vs apotik, Google
dimana vs "di mana", disini vs "di sini", Googlefight

Labels: ,

Saturday, February 10, 2007

The World is Blogging; Are You Not?

Di sepanjang tahun 2006, kita menyaksikan blog-blog politisi bermunculan. Walaupun belum banyak, tapi sudah cukup aneh dan mengherankan rasanya melihat seorang Juwono Sudarsono ngeblog layaknya orang-orang kebanyakan. Juga seorang Yusuf Asy’ari menulis pengalaman-pengalaman perjalanannya yang secara bebas bisa diakses dan dibaca oleh orang banyak.

Sebuah terobosan yang unik tentunya di zaman seperti ini. Dengan ciri khas blog yang menyediakan fasilitas komentar, kesan yang langsung bisa ditangkap oleh orang awam seperti saya adalah tentang sebuah usaha mempersempit jarak antara rakyat—apa pun itu artinya—dengan pemimpin-pemimpinnya.

Juwono Sudasono tampaknya berhasil di situ. Memang tulisan-tulisan utama di blog itu adalah opini pribadi Juwono terhadap topik tertentu yang biasanya adalah isu-isu hangat nasional maupun internasional. Tapi dia pun menyertakan beberapa tulisannya yang bersifat pribadi, dengan menceritakan tentang kelahiran cucu pertamanya, misalnya. Tulisan pertamanya ini mendapat respon yang luar biasa. Terakhir saya cek, ada 45 komentar yang sebagian besar mengucapkan selamat. Anda bisa bayangkan, sebelum ada blog seperti ini, kemungkinan buat orang biasa seperti saya dan Anda untuk sekedar berkomunikasi kepada beliau hampir mendekati nol. Lewat SMS? Titip salam lewat satpam di depan rumahnya? Telepon langsung? Yang mana pun terdengar mustahil bagi saya. Tapi kini, tinggal beberapa klik di mouse kita dan mengetik beberapa baris kalimat, selesai. Dan kita bisa berharap bahwa pesan kita dibaca oleh beliau.

Dalam blog Yusuf Asy’ari pun demikian. Walau pun didahului oleh Juwono Sudarsono, tapi dari blognya, minimal orang banyak jadi tahu tentang kegiatan-kegiatan dan rencana-rencana beliau di bidang pembangunan perumahan, seperti yang dituturkan di artikel “Pembangunan Rusunawa di IPB”, misalnya. Tulisan itu sendiri langsung dikomentari oleh mahasiswa IPB dan beberapa orang Bogor yang merasa berkepentingan.

Mungkin begitu terkesimanya Fatih Syuhud mendapati 2 menteri kita membuat blog sehingga baik Juwono Sudarsono maupun Yusuf Asy’ari dianugerahi gelar Blogger of the Week olehnya.

Selain mereka berdua, ada beberapa lagi politisi-politisi Indonesia yang membuat website pribadi. Sebut saja Sutiyoso, Hidayat Nur Wahid, SBY, Zulkieflimansyah, Faisal Basri, Sarwono Kusumaatmadja, dan mungkin masih ada lagi yang kelewatan. Tapi saya lebih suka menyebut website-website mereka sebagai website pribadi; bukan sebuah blog. Kebanyakan hanya kumpulan berita tentang aktivitas mereka ditambah beberapa galeri. Kemunculannya pun bisa jadi dipicu oleh beberapa momen seperti Pilkada Jakarta yang sudah sebentar lagi. Hal ini terutama mengacu pada 2 nama terakhir.

Jelas, fenomena seperti ini bukan hanya di Indonesia. Politisi-politisi negara lain pun nggak sedikit yang memulai ngeblog. Lionel Jospin, yang 2 kali dicalonkan sebagai Presiden Perancis; Mahmoud Ahmadinejad, Presiden Iran; Ségolène Royal, calon kuat Presiden Perancis; Ferenc Gurcsany, Perdana Menteri Hungaria; adalah yang termasuk dalam daftar panjang politisi yang ngeblog.

Selain politisi, mungkin wartawan lah yang juga sekarang banyak meramaikan blogosphere. Sebut saja Ong Hock Chuan, sang mantan jurnalis. Ada lagi Ahiruddin Bin Attan yang sempat membuat ramai Malaysia tempo hari. Bahkan Tempo Interaktif juga mempercayakan inovasi terbaru mereka dalam portal berita melalui sebuah blog. “Sementara situs web tradisional lebih merupakan ‘pusat arsip digital’, situs blog lebih merupakan arena ‘percakapan’,” tulis S. Malela Mahargasarie, Pemred Koran Tempo dalam posting pertamanya di blog Tempo Interaktif.

Artis, sebaliknya, walaupun bisa menjadi media promosi yang sangat mumpuni bagi mereka, tapi belum banyak yang mempunyai blog, khususnya di Indonesia. Padahal di China, menurut paparan teman saya, blog yang paling terkenal dan banyak dikunjungi orang adalah blog milik artis. Rata-rata komentar di setiap postingnya mencapai ribuan.

Sebuah pertanyaan besar yang mungkin melintas di benak kita: ada apa dengan blog sampai figur publik, utamanya politisi tertarik menyentuh dunia yang sama sekali baru bagi mereka? Tentunya ada sesuatu yang menarik di blog sampai mereka rela menginvestasikan waktu, pikiran, tenaga, uang untuk mengembangkan blog mereka.

Walaupun bukan yang terbaru, Dave Sifry, pendiri dan CEO Technorati, dalam blognya memaparkan banyak statistik tentang blogosphere. Per 31 Juli 2006, jumlah blog yang ada mencapai angka 50 juta. Dan di periode sekitar itu, setiap harinya ada 175 ribu blog baru yang lahir—berarti 2 blog setiap detik.

Kita melihat masa depan blog yang masih bisa menjadi 2 sisi mata pedang. Di satu sisi, infomasi akan cenderung menjadi milik publik, nggak dikuasai secara menyeluruh oleh media massa arus utama (mainstream), tapi sisi lainnya memberikan pertanyaan dan tantangan baru buat kita: sejauh mana kredibilitas informasi yang tersebar di blogosphere bisa dipertanggungjawabkan?

Tetapi saya lebih melihat blog dari sisi yang pertama—sisi positif yang membuat dunia menjadi lebih rata, meminjam istilah Thomas Friedman dalam bukunya The World is Flat. Persaingan dunia jurnalistik yang sudah diisi pemain-pemain lama nan mapan seperti Kompas, Republika, detikcom, dan lainnya akan dibuat rata kembali.

Sekarang sudah ada blogger-blogger seperti Priyadi, Nofie Iman, atau Yosef Ardi yang secara rutin membahas isu-isu kontemporer dalam kacamata lain—beda dengan media massa arus utama. Priyadi dalam blognya seringkali memaparkan penipuan-penipuan yang terjadi di sekitar kita, terutama tentang hoax atau kabar bohong, dan secara komprehensif mengupasnya tuntas—hal yang tentunya jarang bisa kita jumpai di Kompas. Sebut saja tentang email kode produk babi yang sangat meyakinkan, atau tentang air heksagonal yang mendadak jadi obrolan ibu-ibu di Indonesia. Lita Mariana lain lagi. Lewat blognya, BananaTalk, Lita lebih fokus membahas tentang dunia kesehatan, ibu, dan anak. Pernah ada keluhan tentang bonus biji jarak dari Bobo yang dimuat di salah satu surat pembaca di koran. Tapi isu dan tulisannya justru menyebar cepat lewat blog dan milis, juga jadi topik bahasan yang menarik di BananaTalk.

Saya menyebutnya media alternatif. Ya, blog adalah media alternatif. Tapi nggak lama lagi mungkin sudah menjadi media pelengkap, bukan lagi sebagai substitusi dari media massa mainstream. Karena kecenderungan ke arah itu sudah tampak. Banyak berita yang kini “terpaksa” dimunculkan di surat kabar karena sudah sangat meledak dan menjadi bahasan yang hangat di blogosphere.

Jadi, pertanyaan saya buat Anda adalah: are you not blogging?

Singapore,
Sabtu, 10 Februari 2007


Bahan bacaan:
Tulisan Ong Hock Chuan di The Jakarta Post: blog level field for corporations and governments
Dari Blog Tempo Interaktif: Mengapa Tempo Ngeblog?

Labels: ,