Keretaku, Keretamu, Kereta Kita
Bagi saya, KRL adalah sumber inspirasi. Banyak sekali yang bisa ditulis bagi penulis; banyak sekali yang bisa difoto bagi fotografer; atau hal-hal yang bisa diamati, diambil pelajaran bagi orang-orang yang suka mengamati dan atau sedang suntuk. Mungkin juga bisa jadi bahan makalah atau skripsi untuk orang-orang di bidang Psikologi, Sosiologi, Antropologi, atau bidang lain. Jangan kaget kalau saya sebut bahwa ada alumni Planologi ITB yang melanjutkan studinya di bidang per-KRL-an dan meraih gelar MSc (Master of Stasiun and Cereta) lewat tulisan-tulisannya (tentu saja ini nggak serius—pen).
Lebih jauh, sebenarnya KRL dan orang-orang yang ada di dalamnya adalah realitas kondisi Indonesia; atau bisa dibilang cerminnya. Karena hampir semua jenis orang dengan segala kasta ekonomi, dari yang paling rendah sampai menengah yang berkontribusi pada sebagian besar persentase penduduk Indonesia bisa kita jumpai di kereta. Ya, mulai dari orang Cilebut yang sekolah di Depok, orang Depok yang kerja di bilangan Gondangdia, pekerja kantoran, guru SD, sampai segala macam pedagang, segala macam pengemis, dan segala macam copet. Alasannya sederhana: karena hanya dengan uang senilai nasi bungkus dengan lauk tempe orek, semua orang sudah bisa menjelajah dari Bogor sampai ujung Jakarta.
Tapi memang naik kereta, kemudian mengamati sekeliling sambil menemukan hal-hal yang unik itu cukup mengasyikkan; dengan catatan bahwa kereta yang Anda naiki bukan kereta Bogor-Jakarta jam 6 pagi atau kereta Jakarta-Bogor jam 5 sore. Awan Diga sampai mengeluarkan angka 12 jiwa/m2—sebuah angka kepadatan maksimal di KRL pada jam-jam sibuk hasil estimasinya. Saat seperti itu, menurutnya, buat bernapas pun susah. Satu jam di dalam kereta seperti itu dalam perjalanan pulang Anda ke rumah akan membuat Anda basah kuyup. Kemeja yang berwarna coklat muda akan menjadi coklat tua—persis seperti ketika basah kuyup karena hujan deras. Bedanya, ini basah karena keringat. Jangan bayangkan keringat sendiri saja. Karena sebagian besar yang menempel justru keringat orang lain. Waduh.
Salah satu yang menarik diamati adalah pedagang. Tapi dari dulu sampai sekarang, penjual tahu Sumedang, minuman, koran, dan aksesoris-aksesoris tetap ada dan punya pasarnya sendiri di kereta. Terkadang suka juga muncul pedagang salak, mangga, bikang, buku gambar, majalah tertentu, pulpen, tissue, mainan anak-anak, dan banyak lagi. Pokoknya dari yang paling masuk akal sampai yang paling mustahil. Dan pedagang-pedagang ini punya cara-cara khusus buat menarik perhatian pembeli. Dulu pernah saya mendengar pedagang minuman yang berteriak berirama, “Panta, Seprit, Prutang, (Fanta, Sprite, Frutang—pen) yang nggak punya duit boleh ngutang.” Atau ada juga tukang tahu, “tahu, tahu ... beli tahu gratis cabe.” Yang seperti ini biasanya jadi hiburan di sela-sela kesuntukan dan kesumpekan suasana kereta.
Kalau pengamen lain lagi. Memang, yang asal-asalan dengan modal gelas plastik air mineral yang diisi pasir, seperti yang kita jumpai di bis kota juga ada. Tapi yang biasanya banyak ditunggu-tunggu itu sekelompok orang, sekitar 4 atau 5 orang, yang lumayan “modal”. Biasanya ada 2 gitar, satu “drum-drum-an” (ada tambur dan satu simbal), satu bass, dan bisa juga ditambah satu keyboard.
Pernah ada orang Jepang yang terkaget-kaget melihat KRL yang lewat di depan dia. Melihat orang-orang yang gelantungan di pintu, ia berkomentar, “pintunya terbuka! Apa itu nggak bahaya?” Wah, belum tahu dia. Mungkin begitu tahu kalau ada pedagang dan pengemis di dalamnya, lebih kaget lagi dia.
Nggak heran orang Jepang kaget. Mungkin dalam bayangan dia, yang disebut kereta ya minimal seperti kereta Yamanote Line di Tokyo atau seperti MRT di Singapore. Barangkali orang India yang masih bisa menghargai kondisi KRL kita.
Saat ini armada KRL Jakarta-Bogor ada 3 macam, semuanya hibah. Ada yang buatan Jepang tahun 1983/1984, buatan Belanda-Belgia tahun 1996, dan buatan Jepang tahun 1986/1887. Saat pertama kali didatangkan dari Jepang, kereta-kereta itu masih sebagus kereta ekspres Pakuan. Tapi saat ini, armada KRL ekonomi—semuanya—sudah seperti kaleng bekas dalam arti sebenarnya. Saya sendiri pun kalau melihatnya lewat, suka bertanya-tanya sendiri, “kok barang kayak begini bisa jalan ya?” Anda bisa bayangkan; pintu hilang, lantai ada yang berlubang, debu sudah berlapis-lapis, tembok dan atap kumuh penuh coretan, kursi juga nggak terawat, badan luarnya juga penyok dan penuh coretan, kipas angin dan lampu kadang nggak nyala, beberapa batangan besi juga hilang. Belum kalau kita bicara tentang sampahnya.
Terakhir, bulan Desember lalu saya menyempatkan diri naik KRL lagi untuk ke rumah teman di bilangan Cawang. Saya perhatikan dengan seksama. Lihat kiri, kanan, depan, belakang. Saya amati orang-orang yang ada. Tukang tahu masih ada. Anak kecil dengan sapu lidinya yang menyapu sambil mengemis pun masih ada. Depok-Bogor masih Rp 2500. Coretan-coretan itu masih ada. Kekumuhan itu masih jelas terasa. Bedanya, dulu 2001, dan sekarang sudah 2007.
Walaupun begitu, KRL ini adalah tulang punggung bagi banyak orang. Di dalamnya telah lahir cerita-cerita lucu, unik, aneh, mengharukan. Awan Diga dalam tulisannya mengisahkan cerita-cerita mengharukan komunitas kereta. Ada yang saling berbagi makanan dan minuman saat buka puasa di Bulan Ramadhan, misalnya. Padahal bukan satu keluarga, bukan kenalan; hanya punya satu hubungan: "hubungan perkeringatan".
Yang ingin saya sampaikan adalah: kalau Anda tinggal di Jabotabek dan belum pernah naik KRL, maka sayang sekali. Karena KRL adalah cermin bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Kalau ada turis yang bertanya, “Indonesia itu gimana sih?”, maka salah besar kalau Anda membawanya ke Bali, Ancol, Citos (Cilandak Town Square), atau Pondok Indah. Ajaklah dia naik KRL—atau minimal melihatnya.
Singapore,
Kamis malam, 11 Januari 2007
(disunting pada 18 Januari 2007)
Bahan bacaan:
Coba baca tulisan-tulisan Awan Diga Aristo, MSc di sini. Tulisannya bahkan bersambung sampai 13 episode. Saya merekomendasikan tulisan episode 3 dan episode 7 kalau Anda nggak sampat baca semuanya.
Lalu, yang ini HARUS dibaca. Anda nggak apa-apa kalau setelahnya nggak berkunjung ke blog ini lagi, tapi tulisan ini HARUS dibaca.
KRL di Wikipedia
Labels: Indonesia