Tingkat kesuburan (fertility rate) adalah salah satu data penting yang digunakan untuk mengetahui karakteristik demografi suatu objek. Misal, Mali yang tercatat berangka 7,34 menunjukkan bahwa setiap wanita di sana melahirkan sebanyak rata-rata 7,34 kali sepanjang hidupnya. Ini adalah angka tertinggi di dunia. Sekadar informasi, angka rata-rata tingkat kesuburan dunia adalah 2,58.
Untuk negara seperti Indonesia dengan tingkat kesuburan 2,34 (tahun 2008), masalah berkurangnya jumlah populasi barangkali tidak pernah terlintas dalam benak para pengambil kebijakan. Tetapi lain halnya dengan negara-negara maju seperti Jepang (tingkat kesuburan 1,27), Jerman (1,36), Korea Selatan (1,21), atau pun Singapore (1,29) karena tingkat kesuburan minimal yang dibutuhkan negara maju agar populasi tidak berkurang drastis dalam jangka panjang adalah sekitar 2,1. Dan jelas, empat negara tadi adalah sedikit dari banyak negara-negara maju yang terancam masalah kependudukan di masa depan.
Memangnya seberapa krusial masalah ini?
Di Korea Selatan, seperti diberitakan Korean Times akhir tahun lalu, 32 persen sekolah dasar di Korsel terpaksa tutup karena begitu rendahnya angka kelahiran.
Sebuah artikel di The New York Times membahas tentang angka 1,29 bagi Singapore. Dengan angka sekecil itu, diproyeksikan populasi negara mini yang jumlah penduduknya setengah dari Jakarta ini akan menciut hingga setengahnya dalam 45 tahun. Lebih jauh, efek penurunan tajam ini disebut mustahil untuk diperbaiki seperti semula.
Pemerintah Singapore bukan berarti berpangku tangan terhadap fakta ini. Sudah berjalan 20 tahun sejak pertama kali Singapore menerapkan kebijakan-kebijakan seputar penambahan jumlah populasi. Harapannya jelas untuk memotivasi masyarakat untuk memiliki anak, tapi kenyataannya hingga saat ini belum memuaskan. Justru beberapa parameter lain mengalami penurunan: rata-rata umur ibu yang melahirkan anak pertama menjadi 29,4 tahun. Pasangan suami istri juga menunggu rata-rata 28 bulan sebelum memiliki anak pertama.
Padahal kalau mau disebut, kebijakan-kebijakan pemerintah perihal kelahiran anak ini akan membuat jutaan ibu Indonesia melongo tidak percaya. Betapa tidak—di tahun 2004, Perdana Menteri Lee Hsien Loong menyebut bahwa anggaran pemerintah sebanyak 300 juta SGD disisihkan untuk keperluan insentif-insentif bagi keluarga. Di antaranya, ada kebijakan baby bonus: pemerintah akan memberi bonus tunai 3000 SGD bagi setiap keluarga untuk kelahiran anak pertama dan kedua, serta 6000 SGD untuk anak ketiga dan keempat.
Belum cukup sampai di situ, kemudahan-kemudahan bagi ibu yang melahirkan pun diberikan. Jika sebelumnya cuti melahirkan bagi ibu yang bekerja hanya boleh sampai 8 pekan, sejak 2004 lalu ditambah menjadi 12 pekan. Orang tua pun diberikan insentif berupa potongan pajak penghasilan hingga 10 ribu SGD untuk anak kedua dan 20 ribu SGD untuk anak ketiga dan keempat. Daftar ini sebenarnya hanya beberapa dari insentif-insentif lain yang kebih banyak lagi.
Tapi sayangnya, memang semua itu belum berhasil. Untuk bisa mencapai "angka keramat" 2,1 berarti harus ada 60 ribu bayi setahun. Sedangkan angka tahun lalu saja hanya 39.490, dengan kecenderungan menurun setiap tahunnya. Keluarga dengan dua anak adalah komposisi yang terbanyak di Singapore saat ini menurut sebuah survei.
Masalahnya di mana?
Paradigma mungkin. Saya mengutip beberapa pendapat orang Singapore yang dikutip The Straits Times 12 Juli 2008:
Karen (bukan nama sebenarnya), 30, direktur di sebuah perusahaan berkomentar, “After all, children cost their parents more in food and college tuition than they bring in.”
“If people want to maximize their subjective well-being, they should stop at one. Progression from one to two children has ramifications for the family finances, time use and the socialization for the parents, and the well-being of the child … I want to nurture myself without neglecting my daughter.”
Walaupun ini hanya pendapat satu orang, jangan kaget kalau ternyata pendapat ini diakui mewakili pemikiran sebagian besar orang Singapore. Pemikiran seperti ini sebenarnya tidak muncul secara tiba-tiba, karena bisa jadi faktor lingkungan adalah yang terbesar yang melahirkan banyak orang dengan pemikiran seperti itu secara pelan-pelan tanpa disadari.
Di Singapore, normanya adalah suami istri bekerja dua-duanya untuk sebuah gaya hidup yang meliputi mobil, wisata tahunan ke luar negeri, dan les-les tambahan untuk pelajaran, musik, dan lainnya bagi anak.
Nuansa persaingan karir di level korporat juga seperti tidak ada henti. Ini membuat pasangan suami istri yang bekerja berpikir bahwa memiliki anak berarti opportunity cost yang sangat besar menanti mereka.
“With three months maternity leave, morning sickness and numerous medical certificates, a mum will be less productive than a peer who is free of the above. Children can slow a woman’s climb up the career ladder,” komentar seorang manajer finansial, 29 tahun.
Memang tidak semua orang Singapore seperti itu. Toh ada juga keluarga yang beranak lebih dari dua, seperti kisah suami istri Peter dan Jilyn Tan yang dianugerahi lima anak.
Harus diakui, resikonya bagi mereka, banyak kemewahan-kemewahan yang harus mereka lupakan, seperti liburan tahunan ke Indonesia atau Malaysia seperti para tetangganya. Anak pertama mereka juga harus rela tidak ikut kursus musik dan sebangsanya di saat kebanyakan teman-temannya ikut. Untuk menghemat uang, mobil serba guna berkapasitas tujuh orang yang awalnya mereka miliki juga terpaksa diganti dengan yang lebih sederhana, Nissan Sunny yang hanya muat untuk 4-5 orang.
Tapi Mrs. Jilyn Tan berkomentar bahwa tidak pernah terpikir penyesalan sedikit pun di benaknya, “The pleasures of seeing them grow up—you can’t put a price to that.”
Singapore,
Sabtu, 16 Agustus 2008
Sumber:
The Straits Times 12 Juli 2008, The State's Lulaby: Baby, come Back,
Wikipedia, List of countries and territories by fertility rate
Kompas.com, Krisis bayi di Korea Selatan
Yang juga menarik:
Link, Irwan Prayitno anaknya 9!
Kompas.com, Indonesia Terancam Baby Booming