Reality Show Bernama Demokrasi

Saya tidak paham bagaimana bisa perhatian saya sampai tersedot ke perkembangan politik AS. Hasil-hasil kaukus dan pemilu pendahuluan di Iowa maupun New Hampshire yang terpampang di koran saya ikuti lekat-lekat. Ketika mendengar tentang “adegan tangisan” Hillary, serta-merta saya cari videonya di Youtube. Lalu saya membaca tentang gaya Obama yang oleh banyak orang disebut kharismatik. Lagi-lagi saya jadi tergoda untuk mengamatinya lewat Youtube. Karena itulah sekarang saya sedikit banyak familiar dengan Huckabee, Giuliani, McCain, selain Obama dan Hillary tentu saja.
Ada perasaan penasaran—itu jelas. Penasaran yang memuncak pada pertanyaan “siapa yang akan memimpin AS dan mempengaruhi dunia 4 tahun ke depan?” Mungkin agak berlebihan, tapi saya merasa bahwa perasaan penasaran ini sedikit banyak mirip dengan perasaan ketika saya mengikuti AFI (Akademi Fantasi Indosiar) beberapa tahun lalu. Semuanya memuncak pada “Mawar, Veri, atau Kia?” Atau juga saat mengikuti Singapore Idol tahun 2006 lalu dengan Hady Mirza dan Jonathan Leong-nya
Ketika kali pertama AFI muncul dulu, gaungnya sampai ke mana-mana. Yang menikmati bukan hanya anak-anak muda, tapi saat itu bisa dengan tiba-tiba ada sekelompok wanita setengah baya yang menjadi pendukung Veri atau sekelompok anak-anak yang berjingkrak-jingkrak sambil berteriak-teriak “Mawar … Mawar” di depan layar TV mereka.
Kalau dipikir-pikir, setidaknya ada 2 hal yang menjadikan acara reality show jenis kontes terlihat begitu menarik. Pertama adalah faktor kejutan yang ditawarkan di setiap episodenya. Tidak salah, karena yang paling menarik di AFI adalah masa-masa eliminasi peserta yang menguras emosi sebagian besar orang. Bahkan, saat itu kata “eliminasi” menjadi bahasa sehari-harinya anak-anak. Yang kedua, proses “pengartisan” orang-orang biasa sebagai peserta. Orang-orang dengan segala macam latar belakang yang selama ini belum pernah muncul di TV “diartiskan”. Saya yakin kalau peserta AFI diganti menjadi artis-artis yang sudah sering muncul di TV, maka nuansanya tidak akan sama dengan AFI yang di tahun pertamanya saat itu bisa meledak dengan merebut perhatian 56.1% pemirsa TV di Jabotabek untuk acara puncaknya.
Dan pada akhirnya kepintaran produser dan sutradara dalam mengemas acara lah yang membuat popularitas reality show jenis kontes belum terlihat akan pudar dalam waktu dekat ini. Lihat saja, American Idol sudah mencapai musim ke-7, So You Think You Can Dance masih panjang umur dengan musim ke-3-nya, dan kalau ingin lebih luas lagi bisa menyebut The Apprentice yang memasuki musim ke-7.
Kalau kita perhatikan sedikit lebih seksama, perasaan saya yang menyamakan pemilu AS dengan reality show menjadi cukup beralasan. Dalam banyak hal, kemiripan keduanya menjadi tampak relevan.
Sifat kontes dengan eliminasi-eliminasinya? Oh jelas, yang paling menarik dari Pemilu Amerika justru di situnya. Malah, ada yang bilang kalau pemilu tahun ini adalah yang paling menarik dalam beberapa periode terakhir karena sudah menawarkan ketegangan bahkan sejak pemilihan calon tingkat partai. Belum ada yang bisa memprediksi siapa yang akan memenangkan konvensi Partai Demokrat di bulan Agustus nanti, walaupun di Republik sudah mengerucut ke beberapa nama.
Peserta “reality show” Pemilu AS juga boleh dibilang orang-orang biasa yang sebelum masa kampanyenya di tahun 2007 belum begitu sering muncul di layar kaca maupun media-media lainnya. Hanya setelah berkampanye lah dunia sekarang menjadi tertarik dengan latar belakang Barack Obama, misalnya. Ayah kulit hitam, ibu kulit putih, pernah di Indonesia beberapa lama, dan seterusnya. Mirip dengan tabloid-tabloid gosip yang dulu mengupas Veri dari A-Z. Lulusan STM, anak tukang becak, menjadi salah satu harapan keluarga, dan seterusnya.
Pada akhirnya, Pemilu AS dan juga pemilu-pemilu lain, termasuk yang di Indonesia memiliki batas perbedaan yang semakin tipis dengan reality show. Sama-sama kontes popularitas; hanya kemasannya yang beda.
Tidak ada yang salah dengan kenyataan bahwa pemilu telah menjadi reality show dengan sendirinya. Hanya saja, satu hal yang saya sayangkan adalah bila esensi pemilu benar-benar sama dengan esensi reality show yang hampir semua unsurnya bertujuan hiburan komersial. Politik untuk hiburan? Saya sedikit enggan untuk mengakuinya, tapi kenyataan yang ada di negara kita bisa jadi masih seperti itu.
Sebagian orang menyebut pemilunya kita adalah pesta demokrasi. Dan kalau kita lihat ke jalanan selama pemilu berlangsung, agaknya masyarakat kita benar-benar mengartikan “pesta” dengan makna yang denotatif. Bagi mereka, musim pemilu adalah musim panen uang dan kaos. Sedikit berpanas-panas ria, maka upahnya uang 10 ribu dengan kaos berlambang parpol. Yang sedikit beruntung bisa mendapatkan rompi. Yang punya bisnis percetakan, wah jelas ini laiknya musim panen buah-buahan yang ranum.
Sangat sayang kalau kita menganggap pemilu yang menjadi papan nama demokrasi dilihat tak ada bedanya dengan acara AFI. Padahal uang yang dihabiskan bisa miliaran. PDIP konon menghabiskan 50 miliar untuk belanja iklan TV pada medio 2004. Kalau belanja iklan radio, surat kabar, atribut, transportasi, konsumsi, dan lainnya digabungkan, bisa kita bayangkan berapa sebenarnya “harga” satu kursi di DPR. Pengeluaran AS sendiri untuk Pemilu 2004 lalu mencapai 1.2 milyar Dollar AS.
Idealnya, harus ada manfaat yang diberikan ke masyarakat. Pendidikan politik, lalu proses yang benar, sehingga yang terpilih adalah yang benar-benar berkualitas, diketahui rekam jejaknya oleh orang banyak, dan merepresentasikan pilihan mayoritas.
Tapi rasanya itu masih butuh waktu yang agak lama, terutama masalah pendidikan politik. Perhatikan saja slogan-slogan yang dulu dikumandangkan salah satu pasangan calon di Pilkada Jakarta: “Coblos kumisnya!” Atau mari kita coba telusuri iklan-iklan Pemilu Legislatif dan Presiden 2004 lalu. Ada iklan “Coblos nomor 35; 3 ke kanan, 5 ke bawah” yang masih cukup hangat dalam ingatan kita, lalu ada juga “Ingat, tanggal 5, coblos nomor 5!” dan masih banyak lagi.
Ada pendidikan apa di sana? Tetapi bagaimana pun, kita harus sadar itu adalah cara marketing yang diterapkan oleh tim kampanye parpol-parpol dan calon-calon setelah sekian lama mempelajari demografi beserta karakter calon-calon pemilih. Realitas yang tercermin adalah bahwa calon pemilih kita memang tidak membutuhkan yang mendidik.
Asal ramai, itulah reality show—oh maaf, maksudnya demokrasi.
Singapore,
Sabtu, 19 Januari 2007
Menjelang Kaukus Nevada
Perlu dicoba:
Online flash game: Kung-Fu Election. Credit goes to NEF for the link.
> Ke Google, key in "kung fu election". Pilih yang pertama, AtomFilms. tapi kadang-kadang nggak bisa, jadi silakan klik "cached"nya.
Saya sudah tamat pakai Huckabee dan Edwards :)