Manajemen Masjid Singapore

Barangkali karena itu pula, orang-orang di balik manajemen masjid di Singapore, terutama orang-orang MUIS, menjadi “ketularan”. Benar, banyak kalangan menilai manajemen masjid di Singapore adalah salah satu yang terbaik, sehingga banyak menerima kunjungan studi banding dari negara-negara tetangga.
Saya pribadi melihat Muslim Singapore memanfaatkan dengan betul kekurangan yang mereka miliki sebagai kaum minoritas di Singapore. Sebagai kaum minoritas, maka gerakan Muslim menjadi terbatas, pun untuk kepemilikan masjid.
Kini, jumlah masjid yang ada di Singapore, termasuk yang dibangun dengan Dana Pembangunan Masjid (DPM) adalah 69 yang tersebar di seantero pulau. Jumlah 69 itu sebenarnya cukup, walaupun nggak sampai seperti masjid di Jakarta yang bisa kita temui setiap 100 atau 200 meter. “Cukup” yang saya maksud adalah bahwa setiap Muslim bila pergi ke suatu tempat di pulau yang seluas Jakarta ini, selalu bisa mencari masjid untuk shalat, walaupun terkadang harus dengan sedikit upaya tambahan (masih harus naik bus dari stasiun MRT, misalnya).
Tetapi saya merasa karena keterbatasan jumlah masjid inilah, maka Muslim Singapore jadi bisa lebih menghargai masjid. Setiap keberadaan masjid di simpul kepadatan Muslim menjadi begitu disyukuri, sehingga pemanfaatannya pun maksimal. Mungkin sedikit banyak mirip dengan orang Madura yang berprinsip “rumah jelek nggak masalah, asalkan masjid bagus dan megah.”
Misalnya saja untuk pendidikan keislaman, dari 69 masjid itu, 33-nya memiliki madrasah sambilan (paruh waktu). Di madrasah-madrasah inilah para orang tua mengirimkan anaknya untuk kelas-kelas agama. Ada yang setiap hari, ada yang beberapa kali sepekan. Itu semua di luar kegiatan sekolah umum mereka.
Jadi, hampir setiap masjid di Singapore ini dimanfaatkan dengan betul. Bukan hanya sebagai tempat beribadah saja, tapi juga sebagai tempat aktivitas masyarakat. Ini didukung oleh fasilitas-fasilitas seperti ruang serba guna, ruang rapat, kelas-kelas madrasah, kelas-kelas workshop, ruangan untuk pengurus administrasi masjid, dan lain-lain. Fasilitas-fasilitas seperti ini terutama dimiliki 22 masjid hasil DPM yang dibangun sejak 1975.
Dengan fakta Muslim Singapore yang minoritas, maka karakteristik dakwah mereka pun sedikit beda dengan di Indonesia. Kalau aktivis dakwah di Jakarta umumnya hanya berkonsentrasi pada sesama Muslim saja, maka di Singapore ada tugas tambahan bagi dakwah: syiar ke orang non-Muslim. Sehingga, fungsi masjid di Singapore selain untuk community development adalah sebagai tempat syiar Islam bagi umat lain.
Secara spesifik untuk community development, MUIS sebagai lembaga yang membawahi manajemen masjid-masjid Singapore telah menetapkan 3 strategi bagi masjid, yaitu menjadikan masjid bersahabat dengan remaja, keluarga, dan masyarakat.
Karenanya nggak heran kalau kita bisa dengan mudah menjumpai kegiatan-kegiatan seperti kursus bahasa Inggris, kursus bahasa Mandarin, tuition (bimbingan belajar untuk persiapan ujian sekolah), kelompok qigong untuk makcik-makcik dan masih banyak lagi. Kegiatan-kegiatan seperti ini menargetkan segmen remaja dan masyarakat. Khusus untuk remaja, beberapa masjid seperti masjid Al-Mukminin menyediakan satu ruangan khusus untuk tempat berkumpul remaja. Masjid Kassim bahkan mengosongkan beberapa ruang kelas dengan fasilitas AC dan koneksi internet wireless sebagai tempat belajar bagi pelajar-pelajar menjelang musim ujian.
Untuk segmen keluarga, beberapa masjid seperti masjid Al-Khair menyediakan tempat ibadah jamaah khusus untuk keluarga. Selain itu, nggak jarang kita saksikan program kursus-kursus rumah tangga pra pernikahan yang ditawarkan masjid. Konon program yang dipegang oleh imam eksekutif masing-masing masjid ini nggak hanya lepas tangan setelah pasangan menikah, tapi juga masih memberikan konseling-konseling pasca pernikahan jika dibutuhkan. Dengan kata lain menjadi mentor.
Niat MUIS untuk lebih menjangkau anak-anak muda ke masjid terutama terlihat dari pemilihan imam-imam masjid di Singapore. Faktanya 80% dari semua imam tetap masjid Singapore berusia antara 25-39 tahun yang masih bisa digolongkan muda. Terkadang sesi-sesi bual mesra dengan jamaah juga dilakukan oleh imam-imam tersebut, baik sekadar di masjid atau sambil mengunjungi rumah jamaah.
Sedangkan untuk fungsi syiar Islam, masjid-masjid seperti masjid Sultan atau masjid Moulana Mohd Ali sering dikunjungi wisatawan, domestik maupun asing. Dalam konteks yang lebih besar, MUIS dengan beberapa masjid juga telah mengadakan proyek “rahmatan lil alamin” untuk menonjolkan image Islam yang positif di Singapore. Di antara yang sudah pernah dilakukan adalah penggalangan bantuan untuk korban tsunami di Aceh dan proyek rutin pembersihan pantai Sembawang yang juga melibatkan organisasi-organisasi non-Muslim.
Nggak berhenti sampai di situ, pada bulan Ramadhan lalu, dengan tema “Muslim yang baik adalah jiran yang baik”, masjid-masjid mendasari banyak kegiatannya dengan tema itu. Contohnya, beberapa masjid memberikan makanan-makanan seperti bubur ke rumah-rumah penduduk sekitar, Muslim maupun non-Muslim, sepanjang Ramadhan.
Program-program menarik lainnya adalah seperti Mosque Excellence System buatan MUIS yang fungsinya memberikan patokan-patokan capaian bagi masjid-masjid untuk kategori-kategori tertentu. Sistem ini diiringi dengan pemberian Mosque Excellence Award yang membuat masjid-masjid jadi berkompetisi menjadi yang terbaik.
Tetapi di atas itu semua, yang paling membuat saya terkesan adalah penggarapan beberapa masjid sebagai pusat pendidikan Islam bidang-bidang tertentu. Daftar lengkapnya di bawah ini.
Masjid Kampong Siglap – pengajian Al-Quran/tahfiz
Masjid Omar Kampung Melaka – pengajian Al-Quran/tahfiz
Masjid Assyafaah – pengajian hadits
Masjid Assyakirin – peradaban Islam
Masjid An-Nahdhah – pusat harmoni
Masjid An-Nur – pengajian bahasa Arab
Masjid An-Naeem – pemikiran Islam
Masjid Darussalam – Islam dan pemikiran barat
Masjid Al-Iman – pengajian fiqh
Sebagai contoh, dengan ditetapkannya Masjid Kampong Siglap sebagai pusat tahfiz, maka kegiatan-kegiatannya banyak yang diperuntukkan untuk program tahfiz. Ustadz-ustadz yang spesialis tahfiz pun akan berkumpul di situ, sehingga orang akan tahu harus pergi ke masjid mana kalau ingin mendalami tahfiz.
Contoh lain, dengan status Masjid An-Nahdhah sebagai pusat harmoni, maka kegiatan-kegiatan masjid ini lebih terkonsentrasi pada syiar Islam kepada orang-orang non-Muslim. Sejak berdirinya di awal tahun 2006, masjid ini sudah beberapa kali mengundang orang-orang dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk Lee Hsien Loong dan Wong Kan Seng, untuk berkunjung ke Harmony Centre, semacam museum peradaban Islam di masjid itu.
Singapore,
Jumat, 27 April 2007
Audio file
Belajar Mengelola Masjid di Singapura, Imaji, Odeo.com
Bahan bacaan: